Bahasa Media Massa Tidak Membuat Pusing

Ditukil dari: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=218663&actmenu=39

22/06/2010 08:24:52 Tahu ‘gentong babi’? Bagi yang suka berita politik, pasti tahu istilah tersebut. Memang sebuah istilah baru, yang muncul berkaitan dengan usul dari sebuah partai untuk memberi sejumlah dana kepada daerah pemilihan anggota DPR. Kata itu aslinya dari bahasa Inggris pork barrel dan diterjemahkan dengan serta merta ‘gentong babi’.

Di sini kita tidak ingin membahas masalah yang aslinya disebut ‘politik gentong babi’ (pork barrel politics) itu. Yang ingin saya bahas adalah peran media massa dalam penyebaran kata itu. Bermula dari tulisan J Kristiadi di harian Kompas, kini istilah itu masuk ke bahasa Indonesia. Sebelum ini, yang tersebar adalah peniup peluit yang terjemahan dari whistle blower. Kedua istilah itu terjemahan apa adanya, kata demi kata.

Beberapa hal dapat dipetik dari penggunaan kedua istilah itu di media massa. Pertama, media massa serta merta saja menerima istilah itu tanpa ada usaha untuk memadankan dengan istilah atau kata yang ada di Indonesia, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Kedua, media massa tidak sadar bahwa istilah itu sangat aneh atau asing bagi masyarakat. Babi pada gentong babi misalnya punya tekanan yang tidak sama bagi seluruh masyarakat kita, dengan sebagian besar tidak menyukainya. Lalu peniup peluit tergambar lai dalam benak kita

Ada sisi lain dari kecenderungan menerjemahkan langsung istilah-istilah itu, yaitu media massa cenderung kurang memperhatikan lagi bahasa. Bahkan, media massa tidak kritis terhadap bahasa yang disampaikan oleh narasumber. Ketika dalam kasus Bilqis (penderita kelainan hati), narasumber  mengatakan memerlukan pendonor, semua media massa menuliskan kata pendonor. Padahal yang diperlukan bukanlah pendonor, melainkan donor, karena makna donor adalah pemberi. Pendonor tidak ada artinya.
Juga ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan akan membuat pedestrian di Jalan Moh Husni Thamrin, media massa menulis tanpa memahami arti kata itu. Padahal pedestrian adalah pejalan kaki, bukan kawasan pejalan kaki. Kesalahan memahami makna kata itu juga yang terjadi dengan impeachment, prabayar, busway, fabrikan dan lain-lainnya.

Selain kurang berusaha memberi makna yang tepat atas kata atau istilah narasumber, media massa kini juga cenderung gegabah memilih kata. Bergulat setiap hari dengan kata-kata, media massa (terutama pembuat berita, wartawan) kadang-kadang bosan dengan kata yang itu-itu saja dan ingin menampilkan kata baru. Maka kita jumpai kata lain yang kadang-kadang aneh bagi semua atau sebagian orang. Kita temukan pemain sepakbola merumput, pertemuan itu dihelat, partai Golkar menggadang XYZ sebagai calon presiden, atau wartawan ini mengintili.

Memang Sutan Takdir Alisjabana membolehkan seniman dan wartawan bereksperimen dengan bahasa, tetapi yang melakukan hal itu perlu memahami selain seluk-beluk bahasa termasuk kosakata daerah lain juga kondisi masyarakat, termasuk adat istiadatnya. Agar tidak bertabrakan, dan lebih dari itu, dianggap menghina atau merendahkan bahasa daerah lain.

Di daerah eksperimen bahasa ini sering tertuang dalam media massanya, meskipun dengan tetap dalam kerangka bahasa Indonesia. Tentu saja ini ikut memperkaya bahasa Indonesia. Hanya kadang-kadang tidak tepat benar .

Salah satu contoh adalah penggunaan kata for sebagai ganti untuk atau bagi, yang digunakan di Gorontalo. Sebuah surat kabar menulis Riyanti Katili for PAN 1 atau Hasil Lobi Dekab Rp 1 M for Diknas. Di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat menulis geruduk. Hanya saja, KR pernah dalam satu edisi menulis geruduk dan gruduk. Kamus bahasa Jawa baik oleh Megandaru W Kawungan maupun Dr Purwadi menulis grudug (dengan g) dan artinya dikeroyok atau dikejar secara bersama-sama. Tulisan di KR bisa jadi bukan dalam makna yang sama dengan kedua kamus, karena yang saya pahami dari tulisan di KR adalah mendatangi bersama-sama bukan mengejar bersama-sama. Dalam KBBI 2008 dan KUBI 2006 tidak ada geruduk.

Surat kabar di Cirebon, menulis kata dioncog dalam makna yang sama dengan geruduk. Apakah yang terjadi di daerah-daerah itu memudahkan orang memahami bahasa media massa ? Tentu kita perlu ingat prinsip-prinsip bahasa jurnalistik. Untuk itu perlu saya mengetengahkan pendapat tokoh pers yang memperhatikan khusus bahasa jurnalistik. Selain Rosihan Anwar yang membuat buku Bahasa Jurnalistik dan Komposisi, tokoh pers nasional asal Yogyakarta, Madikin Wonohito (almarhum), sangat memperhatikan bahasa media massa. Dalam dua buku yang saya miliki, Sistim Pers Pancasila (tidak ada lagi tahun dan penerbitnya) dan Berita, Sifatnja, Mentjarinja, dan Menyusunnja (Penerbit NVBP Kedaulatan Rakjat Cetakan 1960), beliau secara khusus membuat bab tersendiri tentang bahasa ini. Beliau juga menulis ‘Pers dan Pembinaan Bahasa’ dalam buku Almanak Pers Antara 1976.

Baik Rosihan maupun Wonohito terutama berpendapat bahwa bahasa pers hendaklah memudahkan orang memahami yang disampaikan media massa. Di sini saya ingin membahas yang disampaikan Wonohito. Inilah pesan-pesannya: Bahasa pers harus bisa mencapai semua orang. Juga harus bisa dibaca segera. Gunakan bahasa umum, bahasa standar, dan bahasa yang oleh umum dianggap sopan.

Menurut Wonohito, orang surat kabar belum boleh bersenang hati jika tulisannya dimuat. Mereka baru boleh berteriak senang apabila orang memahami tulisannya. ‘Aku dipahami pembaca. Aku dipahami pembaca’. Semangat berbahasa yang ‘harus mencapai semua orang’ itulah inti pesan Wonohito. Agar orang tidak pusing mendengar atau membaca media massa. q-g-(1098-2010).

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: