Oleh: Iqbal Nurul Azhar
Artikel ini dipublikasikan tahun 2009 di proceeding of KOLITA 7: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 7: Tingkat Internasional, ISBN No. 978-602-8474-13-9, by Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atmajaya.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Artikel ini berusaha mengupas secara lugas penggunaan bahasa dalam kancah politik. Beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengangkat ranah politik sebagai bahan kajian adalah; (1) adanya penggunaan bahasa yang superintensif dalam dunia politik (2) adanya kekhasan repertoar bahasa politik pada setiap periode pemerintahan (3) terdapatnya kekhasan reportoar bahasa politik dalam persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dan (4) terdapatnya berbagai ragam teks politik yang berpola pada setiap institusi politik.
Empat faktor di atas dapat dibuktikan keberadaannya dalam kancah Pemilihan Umum Legislatif 2009. Pemilihan Umum Legislatif ini memunculkan banyak fenomena linguistik yang layak untuk didiskusikan. Salah satunya adalah banyaknya jargon politik yang dimunculkan oleh para calon wakil rakyat yang akan bertarung di kancah pemilihan umum tersebut (dasar pemikiran 1). Jargon-jargon politik tersebut dimunculkan dengan harapan dapat meraih dukungan dan simpati massa yang pada akhirnya memilih mereka sebagai anggota legislatif yang akan duduk di DPR pusat maupun daerah. Untuk meyakinkan masyarakat, jargon ini dibuat sedemikian menariknya dengan ditambahi bumbu ulasan atau kritikan terhadap isu sosial yang ada dalam masyarakat, seperti isu KKN, naiknya harga BBM dan kemerosotan moral bangsa (dasar pemikiran 3). Jargon-jargon seperti “Bersih, Berwibawa, dan Peduli Rakyat” adalah salah satu contoh jargon yang mengangkat isu KKN dan naiknya harga BBM. Hampir semua partai memiliki kekhasan bahasa Jargon tersendiri dan semuanya tidak lain adalah untuk menarik perhatian rakyat sebanyak-banyaknya. Apabila dicermati dengan seksama, bahasa Jargon ini mengandung beberapa pola yang memiliki kesamaan semisal penggunaan singkatan, (PKS, Partai Kita Semua) penggunaan kata sebagai simbol (“Patriot” Jiwaku), penggunaan modal operator “bisa” dan penggunaan kata-kata persuasif seperti “ayo” dan “mari” (dasar pemikiran 4)
Agar dapat diketahui banyak orang, jargon-jargon politik tersebut disebarkan di banyak media seperti surat kabar, poster, spanduk, baliho, radio, dan TV. Satu hal yang membedakan Pemilihan Umum Legislatif 2009 dengan pemilihan legislatif di tahun-tahun sebelumnya adalah pengunaan internet. Para Calon Legislatif ternyata tidak hanya pandai mengolah bahasa menjadi alat kampanye, namun mereka juga cukup tanggap terhadap perkembangan jaman. Banyak di antara mereka menggunakan internet sebagai salah satu media kampanye mereka. (dasar pemikiran 2). Di internet, jargon-jargon tersebut di muat dalam berbagai blog, website, dan beberapa diantaranya di Face Book, sebuah situs pertemanan yang beranggotakan masyarakat dari berbagai latar belakang. Face book, sama halnya dengan Frienster, adalah salah satu media komunikasi modern yang mampu membina dan mempererat persahabatan masyarakat dunia tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu.
Keberadaan Face book yang menampilkan jargon-jargon politik ini sangat menarik untuk dikaji. Ada tiga hal yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan mengapa analisa wacana jargon politik di Face Book perlu dilakukan. (1) Penggunaan Face Book untuk kampanye menyalahi fungsi awalnya yang hanya diperuntukkan untuk pertemanan dan bukan untuk media kampanye, dan dari kebaruan konsep inilah maka sangat dimungkinkan konsep penggunaan bahasa untuk jargon berbeda dengan konsep penggunaan bahasa untuk jargon dalam poster, surat kabar, baliho, spanduk, atau konsep penggunan bahasa secara umum (2) persamaan dan perbedaan pola bahasa jargon dari para calon legislatif yang dimuat dalan Face Book apabila dianalisa dapat memperkaya perbendaharaan keilmuan linguistik, (3) memberikan informasi pada praktisi bahasa bahwa bahasa telah jauh berkembang, dan perkembangan itu telah merambah dunia maya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
- Bagaimanakah struktur-struktur kata bahasa Indonesia didayagunakan dalam bentuk Jargon dalam Face Boook oleh Calon Legislatif?
- Adakah persamaan dan perbedaan pola bahasa jargon dari para calon legislatif yang dimuat dalan Face Book?
C. Batasan Penelitian
Agar pembahasan terhadap permasalahan di atas tidak melebar, maka Jargon yang akan dianalisa adalah Jargon Calon Legislatif yang menjadi suporter grup Face Book dengan kata kunci Caleg. Ada 100 dari sekitar 140-an Caleg yang berkampanye dalam grup ini yang dijadikan sampel penelitian. Dari 100 Caleg yang dijadikan sampel, hanya 69 Jargon dari Caleg tersebut yang akan dianalisa. Ke 68 Jargon dapat dikaji karena memenuhi persyaratan untuk dianalisa seperti: tulisan Jargon terbaca jelas dan isinya tidak sama dengan Jargon Caleg yang lain. Sisanya yang 32 tidak bisa dianalisa karena tidak memenuhi persyaratan seperti yang telah disebutkan.
D. Tujuan Penelitian
Secara umum artikel ini mencoba untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan struktur-struktur teks dalam Jargon politik di Face Book. Secara khusus artikel ini memberikan informasi tentang:
- Bagaimanakah struktur-struktur kalimat bahasa Indonesia didayagunakan dalam bentuk Jargon dalam Face Boook oleh Calon Legislatif?
- Adakah persamaan dan perbedaan pola bahasa jargon dari para calon legislatif yang dimuat dalan Face Book?
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fungsi Bahasa Dalam Politik
Bahasa tidak hanya memiliki fungsi sebatas alat komunikasi saja, tapi lebih dari itu bahasa memiliki peranan kuat untuk menggerakkan seluruh aspek kehidupan manusia. Bahasa mampu menjalankan fungsi-fungsi regulatif yang amat kompleks.
Dalam dunia politik, peranan bahasa sangatlah yang signifikan. Proses politik bukan hanya persoalan praktis kerja, mengatus dan membagi tugas yang banyak, tetapi juga praktik komunikasi, bagaimana mendayagunakan bahasa sebagai alat komunikasi politik yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks sosial, politik dan kultural, bahasa digunakan untuk mengontrol dan mengendalikan masyarakat melalui pengontrolan makna. (Birch, 1996:68)
Dalam aspek yang lain, Panggabean (1981:VII) menyebutkan bahwa tokoh-tokoh politik mempergunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan pendapatnya melainkan juga untuk menyembunyikannya. Ia harus menyembunyikan pikirannya karena di balik pikiran itu terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan. Untuk menyembunyikan pikiran-pikiran politik tersebut maka bahasa politik haruslah ditata sedemikian rupa karena di dalamnya penuh dengan muatan-muatan kekuasaan yang tersembunyi di dalam struktur-struktur lingistik (Ibrahim&Santoso, 2003). Jika bahasa tersebut tidak ditata, maka signifikansi bahasa menjadi tidak terlihat.
Bahasa adalah kekuasan. Karena bahasa adalah kendaraan menuju tahta penguaa dunia politik. Barnes (2004) meyebutkan bahwa ‘Politik adalah sesuatu seni, atau kegiatan untuk memperoleh kekuasaan dan merambah kekuasaan’. Politikus seharusnya menguasai bahasanya untuk alasan penting, karena siapapun yang menguasi bahasa maka dia akan mempunyai kekuasaan. Dalam cakupan nasional kita bisa melihat bagaimana Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat ’blunder bahasa’ dengan memanggil anggota DPR sebagai ‘taman kanak-kanak’, Satatemen ini menyebabkan anggota DPR gerah ini dan akhirnya DPR berbalik melawan Gus Dur, Kontroversi bahasa ini pada akhirnya membuat Gus Dur jatuh dari kekuasan (Mudjia, 2002). Hal yang sebaliknya terjadi pada Khofifah. Karena bahasa pulalah maka Khofifah mendapatkan reputasinya. Nama Khofifah mulai populer di panggung nasional setelah membacakan pidato sikap Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) dalam SU MPR 1998. Pidato Khofifah itu sangat monumental karena merupakan pidato kritis pertama yang menohok Orde Baru di ajang resmi selevel Sidang Umum MPR. Karena keberaniannya menggunakan bahasa pedas bernada mengkritisi Orde Baru inilah menyebabkan Khofifah dikenal sebagai politikus yang berani. (Jawa Pos, 18 Mei 2008)
B. Perkawinan Bahasa dan Media untuk Mencapai Tujuan Politik
Dalam prakteknya, bahasa tidak mungkin dipisahkan dari media massa. Bahasa sebagai salah satu mesin politik tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya blow up dari media. Seorang politikus tidak akan pernah dikenal secara luas kehandalannya tanpa ada media yang memberitakannya. Seperti yang terjadi pada Barack Obama, tokoh ini tidak akan mungkin menjadi fenomenal dan di kenal luas di Amerika atau bahkan dunia jika dia hanya menggunakan metode konvensional dalam berkampanye yaitu orasi di depan publik. Ia butuh sesuatu yang lebih dari itu untuk mengangkat namanya agar dikenal, dan ia telah menemukannya yaitu melalui media website, e-mail berantai dan SMS yang ditujukan kepada pemilih prospektif. Dari superioritasnya dalam menguasai tiga media inilah ia unggul dalam segala polling. Dan karena media ini pulalah Obama pada akhirnta terpilih sebagai presiden Amerika. Fenomena Obama inilah seakan membisikkan pesan pada kita bahwa kemampuan menguasai media massa dapat mengantarkan politikus tersebut untuk mengawasi bahasa (Barnes, 2004). Ketika seorang politikus telah menguasai sejumlah media, bahasa politiknya akan mampu menjadi senjata yang luar biasa karena dapat disebarkan keseluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Fenomena serupa namun tidak sama terjadi dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008. Fungsi media massa yang penting ini dimanfaatkan dengan optimal oleh salah satu pasangan kandidat Gubernur Jawa Timur 2008 yaitu Karwo dan Safullah Yusuf (KarSa). KarSa menggunakan surat kabar sebagai media promosi, dan bahkan KarSa harus rela mengeluarkan biaya lebih untuk menampilkan segala hal yang berhubungan dengan kegiatannya melalui rubrik iklan KomuniKarSa yang di muat setiap hari di Jawa Pos. Promosi ini sangat mengena sehingga tidak ada satupun pembaca setia Jawa Pos terutama yang pembaca setia kolom Mengejar Jatim 1 yang tidak mengenal siapa KarSa. Keunggulan Karsa dalam Pilgub 2008 yang menggunakan bahasa dan media sebagai alat kampanye ini sempat diteliti oleh Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (Laksnu) dan dimuat di Jawa Pos tertanggal 9 Oktober 2008. Keunggulan ini pulalah yang mengantarkan KarSapun untuk memenangi pemilihan gubernur Jawa Timur.
C. Face Book
Face Book, laman di internet yang akan kita diskusikan banyak dibicarakan di Indonesia pada 3 tahun terakhir ini. Facebook adalah situs web jejaring sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke sekolah lain di wilayah Boston (Boston College, Boston University, MIT, Tufts), Rochester, Stanford, NYU, Northwestern, dan semua sekolah yang termasuk dalam Ivy League. Banyak perguruan tinggi lain yang selanjutnya ditambahkan berturut-turut dalam kurun waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya, orang-orang yang memiliki alamat surat-e suatu universitas (seperti .edu, .ac.uk, dll) dari seluruh dunia dapat juga bergabung dengan situs ini. (http://id.wikipedia.org/wiki/Facebook)
METODOLOGI
Jargon para caleg adalah data utama yang dikaji dalam penelitian ini. Untuk menganalisa data tersebut bisa dilaksanakan dengan menggunakan beberapa kerangka berpikir seperti Kerangka berpikir Orwel, analisis struktur pembentuk Jargon, dan analisis nuansa makna
PEMBAHASAN
A. Penggunaan Face Book sebagai alat kampanye
Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat kesadaran Caleg Indonesia akan fungsi media sudah cukup tinggi. Ini dibuktikan dengan adanya fakta bahwa tidak ada satupun Caleg yang berniat menang dalam Pemilihan Umum yang tidak menggunakan media. Mereka menggunakan banyak sekali media mulai dari yang sederhana dan murah yaitu pamflet, spanduk dan poster sampai yang paling mahal yaitu dengan mengiklankan diri di televisi.
Namun sayangnya, tidak semua Caleg mampu menangkap potensi yang sangat besar dari internet sebagai media kampanye sehingga tidak banyak Caleg yang memiliki website yang berfungsi untuk mengkampanyekan. Hal ini salah satunya mungkin disebabkan oleh teknologi komunikasi via internet masih merupakan teknologi yang relatif baru. Terminnologi khas internet seperti website, blogg, mail, chatting, frienster dan Face Book, adalah terminologi yang masih baru dikenal masyarakat Indonesia utamanya masyarakat pinggiran.
Dari hasil browsing penulis dalam laman Face Book, ketika penulis memasukkan kata kunci Caleg, ada lebih dari 446 komunitas/group/supporter yang berbeda di jumpai di aktif di laman tersebut. Ke 446 group tersebut memiliki anggota mereka sendiri yang rata-rata berjumlah lebih dari 50 orang. Mereka memberi nama group mereka berdasarkan pada partai yang mereka dukung seperti grup Caleg Demokrat yang beanggotakan 118 orang, Caleg Partai Kedaulatan 117 orang, Caleg partai Gerindra 98 orang, Caleg Muda Demokrat 74 orang, Caleg Muda Hanura 45 orang, Caleg Muda Partai Patriot 481 orang, Pemenangan Caleg Golkar Kota Medan dan masih banyak lagi. Apabila dihitung secara kasar, maka jumlah member Face Book yang memiliki keterkaitan dengan kata kunci Caleg melebihi 22.300 orang. Jika jumlah massa ini di tambah oleh massa dari member kata kunci lain semisal Kampanye, yang memiliki 329 group dengan anggota diperkirakan 19.740 member, dan kata kunci Pemilu dengan 500 anggota, maka kita bisa memprediksikan berapa banyak massa yang berkumpul di laman Face Book ini. Jumlah massa yang cukup besar ini apabila dimanfaatkan dengan baik akan mampu mengantarkan seorang Caleg menduduki kursi.
Namun anehnya, meskipun massa yang tergabung dalam laman Face Book sangatlah besar, tidak banyak Caleg yang yang mengiklankan diri secara serius di Face Book. Hasil browsing penulis mendukung pernyataan ini. Dari perkiraan kasar 22.300 orang anggota Face Book dengan kata kunci Caleg, hanya sekitar 145 orang yang serius mengkampanyekan diri. Keseriusan ini dapat dilihat dari bentuk isian Basic Info yang berupa type, Description dan Contact Info. Caleg yang serius menggunakan Face Book akan mencantumkan informasi yang sejelas-jelasnya dalam form ini yang biasanya berupa daftar riwayat hidup, visi dan misi, dan contact person. Dan biasanya pula dipojok kanan atau kiri atas akan disertakan Poster diri Caleg tersebut plus Bahasa Jargon mereka.
Beberapa temuan lain yang bisa diangkat dalam aartikel ini adalah sebagian besar Caleg yang menggunakan Face Book sebagai media kampanye memiliki usia yang relatif muda. Hal ini dapat dilihat dari foto dalam poster mereka yang kebanyakan memang masih muda. Selain ini, nama-nama group yang banyak bernuansa muda seperti yang disebutkan di atas turut memperkuat simpulan bahwa Face Book banyak dimanfaatkan Caleg Muda untuk berkampanye. Temuan yang lain juga menjelaskan bahwa Face Book banyak digunakan untuk media kampanye oleh partai-partai baru yang memiliki basis massa kaum muda. Partai-partai lama seperti PDI perjuangan, PKB, Golkas, PPP yang memiliki basis massa tradisional kurang bisa memanfaatkan media ini. Padahal, andaikata partai-partai besar ini ikut berkampanye dalam media ini, banyak hal menarik yang muncul dan pembahasan artikel ini bisa jadi meluah kearah perbandingan bahasa Jargon partai besar dan partai kecil/baru.
B. Struktur Bahasa Jargon dalam Face Book
Jargon Caleg yang ada di dalam Face Book berdasarkan struktur pembentuknya dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu Lexical Jargon, Phrasal Jargon, dan Clausal Jargon
Lexical Jargon adalah Jargon yang terbentuk dari kata-kata/lexicon yang dibingkai frame wacana yang membentuk kesatuan makna dalam poster. Lexicon yang digunakan para Caleg biasanya memiliki cakupan makna luas sehingga meskipun hanya berbentuk deretan kata, jargon ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki Jargon jenis lain yaitu maknanya yang multidimensional. Sang pembaca harus mampu menginterpretasikan makna di balik kata untuk bisa memahami konsep yang ada di balik Jargon tersebut. Dari daftar Jargon yang telah dikumpulkan penulis, ada 4 jargon yang menggunakan struktur ini. Jargon Muda Bersih Peduli Kompeten Konsisten Berdedikasi, Jargon Aspiratif Bersih dan Jujur dan Bersih Peduli Profesional adalah contoh jargon yang memakai konsep ini
Phrasal Jargon strukturnya sedikit lebih sempurna dari Lexical Jargon. Phrasal Jargon terdiri dari 2 kata yang yang bersinergi untuk menghadirkan sebuah makna. Patriot jiwaku 30 pilihanku dan Tulus Mengabdi adalah contoh Jargon jenis ini. Lebih dari separuh Jargon yang ada dalam daftar penulis, memiliki pola seperti ini.
Jargon jenis ketiga adalah Clausal Jargon yang bila dilihat dari namanya kita akan bisa langsung menyimpulkan bahwa Jargon ini memiliki struktur Klausa. Klausa adalah kalimat sederhana yang biasanya berstrukturkan S-P. Contoh dari Jargon jenis ini adalah Katakan Tidak Pada Korupsi dan Jika Orang Benar Bertambah, Bersukacitalah Rakyat. Jika Orang Fasik Memerintah Berdukacitalah Rakyat
C. Kriteria Orwel
Orwel dalam Ibrahim (2003) mengajukan enam kriteria yang harus dipenuhi sebuah teks atau jargon politik agar layak dikatakan baik dan mampu menarik perhtian masyarakat. Keenam kriteria tersebut adalah; (1) Jangan menggunakan metafora, simile atau gaya bahasa yang sudah usang yang tidak memberikan pencerahan terhadap sesuatu. (2) Jangan menggunakan kata yang panjang sementara ada kata pendek yang bisa dipakai. (3) Jika memungkinkan, apabila ada kata yang mubadzir dalam teks atau jargon, maka potong kata itu. (4) Jangan gunakan kalimat kalimat pasif jika bisa kalimat aktif. (5) Jangan pakai kata asing jika bisa memakai kata dalam bahasa sehari-hari, dan (6) Langgarlah kaidah-kaidah segera daripada mengatakan sesuatu yang kejam sama sekali. Berdasarkan Kriteria di atas dijumpai hasil:
ASPEK | PENGGUNA & CONTOH | NON PENGGUNA& CONTOH |
Penggunaan metafora/simile yang memberikan pencerahan terhadap sesuatu
|
0 Jargon | 69 Jargon |
Penggunaan kata pendek
|
64 Jargon
Berkarya Bersama Rakyat |
5 Jargon
APBN diguamakan untuk subsidi pendidikan danan kesehatan gratis. Memperjuangkan perubahan RUU anti rakyat (UUPM,UU Migas, UU BHP, UUK). Cukup sudah jadi rakyat miskin, hidup persatuan dan gerakan rakyat miskin |
Pemotongan kata
|
63 Jargon
Ayo (kita) bangun Jabar |
6 Jargon
Saatnya perempuan tampil memperjuangkan nasib perempuan. |
Penggunaan kalimat aktif
|
37 Jargon
Berjuang untuk rakyat |
1 Jargon
Rakyat harus terlepas dari belenggu penderitaan, kemiskinan dan ketidakadilan tanpa membedakan suku, ras dan golongan |
Penggunaan bahasa lokal
|
65 Jargon
Ojo kelalen! |
4 Jargon
The power of creativity |
Pelanggaran kaidah untuk memperhalus makna
|
3 Jargon
Jika orang benar bertambah, bersukacitalah rakyat. Jika orang fasik memerintah berdukacitalah rakyat |
66 Jargon |
Dari tabel yang memuat Jargon Caleg dapat disimpulkan bahwa pada aspek penggunaan kata pendek, pemotongan kata, penggunaan kalimat aktif dan pemakaian bahasa lokal, sebagian besar dari Caleg memenuhi kaidah ini. Ini menunjukkan bahwa sense of marketing mereka cukup baik. Namun sayangnya, pada aspek yang pertama yaitu penggunaan metafora dan simile, tidak ada satupun caleg yang menggunakan pola ini. Ini memberikan gambaran bahwa penggunaan simile dan metaphor dalam pembuatan Jargon ternyata masih menjadi pilihan utama. Disamping itu ada kesan bahwa bahasa majas tidak cocok diterapkan dalam Jargon.
D. Bahasa Filantropis, Maskulinis dan Direktif
Berdasarkan dari nuansa maknanya, maka Jargon Caleg dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu Jargon dengan menggunakan bahasa Filantropis, Jargon dengan bahasa Maskulin, dan Jargon dengan bahasa Direktif.
Kata filantropis (phylantrophy) dalam kamus Cambridge diartikan sebagai generous and charitable, yaitu seseorang yang memiliki kebaikan hati dan jiwa dermawan yang tinggi. Sedang bahasa filantropis adalah bahasa yang mengandung muatan cinta, kasih sayang dan welas asih. Kita bisa membedakan bahasa kampanye Caleg-caleg yang bersaing dalam kancah Pemilu 2009 melalui konsep bahasa ini. Dari keseluruhan Jargon yang dianalisa, sebanyak 26 Jargon menunjukkan makna Filantropis. Contoh Jargon Filantropis ini adalah: Mari kita wujudkan indonesia yang mandiri dan sejahtera, Rakyat harus terlepas dari belenggu penderitaan, kemiskinan dan ketidakadilan tanpa membedakan suku, ras dan golongan dan
Bahasa Maskulin yang dimaksudkan disini adalah bahasa Jargon yang ”meledak-ledak,” agressive, dan cenderung revolusionaris. Contoh Jargon jenis ini adalah Indonesiaku Berkibarlah. Hukum Mati Koruptor, Harga Mati Seorang Patriot dan Pilih Saya Apa Adanya ”Berjuang Untuk Rakyat” James A. Tahir.
Sedang Jargon dengan bahasa Directive adalah Jargon yang memiliki tendensi untuk mengajak khalayak ramai untuk melakukan sesuatu seperti Jargon: Ayo bangun Jabar dan Mari Maju Bersama
E. Trend Kata Dalam Jargon Caleg 2009 di Face Book
Temuan lain menunjukkan bahwa banyak diantara Caleg menggunakan beberapa kata yang sama untuk membangun aura pada Jargon mereka. Kata yang mendominasi daftar Jargon penulis adalah kata Rakyat yaitu sebanyak 13 buah dan kata Muda yaitu 9 buah. Simpulkan yang bisa diambil adalah trend dari Jargon Caleg 2009 adalah para Caleg sangat perhatian kepada rakyatnya. Bentuk perhatian itu mereka wujudkan dalam bentuk janji-janji. Mereka menjanjikan perhatian penuh kepada rakyat karena mereka berusaha mendapatkan suara rakyat sebanyak-banyaknya. Simpulan lain yang bisa diambil dari trend yang ke dua yaitu kata Muda adalah; para pemuda Indonesia telah mulai sadar akan kondisi bangsa, dan mereka berlomba-lomba menyelamatkan bangsa ini dengan cara duduk sebagai Anggota Legislatif.
SIMPULAN
Studi literatur yang dilakukan oleh penulis menjumpai adanya perbedan dan persamaan antara bahasa Jargon Caleg yang dimuat dalam laman Face Book. Perbedaan mendasar Jargon tersebut terletak pada struktur Jargon itu sendiri, pada piranti untuk membangun sebuah Jargon agar dapat menarik, pada aspek maskulititas, pilantropis dandirektif, serta dari lexicon pembangun jargon. Sebenarnya masih banyak alat analisa yang dapat dipakai untuk mengkaji bahasa Jargon ini, semisal dengan menggunakan alat analisa AWK (Alisis Wacana Kritis), namun karena keterbatasan waktu, penulis hanya mampu mengulasnya sejauh ini.
Dengan adanya temuan ini diharapkan hasil penelitian ini tidak hanya bermanfaat bagi para pengamat linguistik, namun juga dapat bermanfaat bagi para politikus yang hendak menjadi Caleg di masa yang akan datang agar dapat lebih kreatif untuk memunculkan bahasa Jargon yang lebih baik lagi.
REFERENSI
Barnes, Melanie, 2004. Bahasa Dan Politik: Wacana Politik Dan Plesetan. Artikel ACICIS Australian Consortium For In-Country Indonesian Students bekerjasama dengan UMM.
Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process dalam James, J.E (Ed). The language-Culture Connection, Singapore: SEAMEO Regional Language Context hal. 64-85.
http://id.wikipedia.orgFacebook. Face Book. Diakses 4 April 2009
Jawa POS. 2008. Karsa Unggul Sosialisasi, Kaji Menang Popularitas. Terbit Jawa Pos 9 Oktober.
Panggabean, M.H. 1981. Prakata. Dalam Panggabea, M.H (Ed). Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Orwel dalam Ibrahim, Syukur&Anang. 2003. Struktur Teks-teks Politik Era Pasca Orde Baru: Perspektif Wacana Kritis. Laporan Penelitian