KONSTRUKSI GENDER DALAM BUKU AJAR MUATAN LOKAL BAHASA MADURA

Konstruksi Gender dalam Buku Ajar Muatan Lokal Bahasa Madura

(Studi Isu Gender Dalam Bahasa Madura)

Published in 2009, in PROSODI journal, Vol.3, No.1, ISSN 1907-6665.

Iqbal Nurul Azhar[1]


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbedaan gender dalam masyarakat Madura adalah sebuah fenomena yang umum terjadi. Secara kodrati, laki-laki dan perempuan Madura berbeda, baik itu ditinjau dari aspek fisik maupun fungsi sosial mereka di masyarakat. Dalam hal fisik, laki-laki Madura lebih kuat dari perempuannya. Stamina merekapun lebih tangguh. Tidak berlebihan apabila laki-laki Madura kemudian selalu dijadikan pemimpin bagi perempuan dalam hal melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan fisik. Dalam kehidupan sosialpun laki-laki Madura lebih dominan. Hampir seluruh pranata sosial yang ada di masyarakat mulai dari keluarga hingga kepala daerah, dipimpin oleh laki-laki Madura. Masyarakatpun memperlakukan laki-laki dan perempuan dengan perlakuan yang berbeda. Perbedaan perlakuan inilah yang kemudian memberikan image bahwa isu ketidaksetaraan Gender banyak terdapat di Madura.

Isu perbedaan genderpun muncul dalam bahasa Madura. Perbedaan ini bukan dimaksudkan bahwa mereka memiliki bahasa yang berbeda, namun perbedaan ini lebih dimaksudkan pada variasi-variasi yang muncul dalam penggunaan bahasa ini. Perbedaan ini muncul karena kedudukan laki-laki dan perempuan Madura berbeda dalam masyarakat. Peranan laki-laki yang berfungsi sebagai pemimpin keluarga, pencari nafkah, pelindung perempuan, otak keluarga, dan tempat diambilnya keputusan  menyebabkan laki laki Madura memiliki prilaku yang berbeda dari perempuan. Prilaku yang dibentuk dari fungsi laki-laki ini adalah prilaku tegas, keras kepala, cekatan, dan cerdas. Demikian juga fungsi perempuan Madura yang lebih berperan sebagai ibu rumah tangga, pengasuh anak, pengatur keuangan, dan penjaga harta suami ketika suami pergi, akan melahirkan perilaku yang lembut, penyabar, bertanggungjawab dan penuh kasih. Perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan Madura inilah yang kemudian berimbas terhadap penggunaan bahasa mereka. Bahasa komunikasi laki-laki Madura identik dengan bahasa yang singkat, tegas, to the point, instruktif, lebih menitik beratkan pada penyampaian isi informasi daripada cara penyampaian informasi itu sendiri. Di lain pihak, bahasa wanita Madura cenderung lebih lembut, lebih kompleks strukturnya, berbelit-belit, ekspresif dan lebih mengutamakan cara penyampaian informasi dari pada isi informasi itu sendiri. Bahasa mereka sama, namun yang membedakan adalah variasi yang muncul dalam penggunaan bahasa tersebut.

Bahasa Madura, sebagai bahasa yang akan kita kaji dalam artikel ini memiliki banyak sekali keunikan. Selain karena banyak memiliki kosakata yang berbunyi letup, bahasa ini juga memiliki tiga strata yaitu Enja’-Iyah (bahasa kasar), Enggi-Enten (bahasa menengah) dan Enggi-Bunten (bahasa halus). Keunikan ini kemudian diajarkan dari generasi kegenerasi dalam bentuk informal yaitu lewat keluarga maupun formal yaitu lewat sekolah. Di sekolah, bahasa Madura diajarkan dalam bentuk muatan lokal sejak tahun 1994. Pada saat itu posisi muatan lokal bahasa Madura masih belum jelas apakah menjadi sebuah mata pelajaran yang diwajibkan ataukah tidak. Baru ketika Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan pada tanggal 8 Juli 2003, posisi bahasa ini resmi menjadi salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah (dasar dan menengah).  Resminya bahasa Madura menjadi bahasa yang wajib dipelajari di Sekolah Dasar dan Menengah di seluruh pulau Madura menyebabkan Pemerintah Kabupaten memiliki kewajiban yang penuh untuk mendukung program ini. Kewajiban itu kemudian dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten setempat dengan membentuk tim perancang dan pengembang kurikulum bahasa daerah. Tim perancang dan pengembang kurikulum bahasa daerah lokal ini pada akhirnya menerbitkan buku ajar yang dipakai oleh seluruh siswa SD maupun SMP setempat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah yang diangkat adalah:

  1. Apakah isu ketidaksetaraan Gender muncul dalam buku ajar muatan lokal bahasa Madura?
  2. Apabila ada, di manakah letak ketidaksetaraan Gender tersebut?

C. Batasan Masalah

Agar pembahasan terhadap permasalahan di atas tidak melebar, maka buku ajar muatan lokal bahasa Madura yang didiskusikan dalam makalah ini adalah: Kembang Babur, Kaangguy Kellas 1 SLTP, Malathe Pote Kangguy SMP Kellas VIII, dan Malathe Pothe Kangguy SMP Kellas IX.

D. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:

  1. Untuk mendapatkan gambaran apakah isu ketidaksetaraan Gender ada dalam buku ajar muatan lokal bahasa Madura.
  2. Untuk mendapatkan gambaran letak isu ketidaksetaraan Gender yang ada dalam buku ajar muatan lokal bahasa Madura tersebut.

PEMBAHASAN

A. Kemunculan Isu Ketidaksetaraan Gender dalam Buku Teks

Gaff (1989) dan Helinger (1982)  mempublikasikan temuannya tentang kemungkinan adanya ketidaksetaraan Gender dalam banyak buku teks dan buku ajar di negara Inggris dan Jerman. (Gaff, 1982 dan Hellinger 1989). Mereka menyatakan bahwa banyak diantara buku tersebut mengandung pola-pola bahasa yang membedakan laki-laki dan perempuan, serta ketidak simetrisan representasi Gender di banyak buku tersebut.

Fenomena inipun terjadi juga di wilayah Asia. Meskipun tidak banyak studi dilakukan, namun beberapa studi menyebutkan bahwa perkembangan kesadaran terhadap kesetaraan Gender masih belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Kondisi ini dapat dirubah dengan cara meningkatkan kajian terhadap Gender di wilayah asia dan mempublikasikannya pada khalayak ramai, sehingga persamaan Gender dapat diwujudkan ( Damayanti, 2008). Tulisan ini adalah salah satu kajian untuk menempatkan Gender dalam sebuah posisi yang setara utamanya dalam konteks Indonesia-Madura.

B. Isu Ketidaksetaraan Gender dalam Buku Teks Bahasa Madura

Untuk membuktikan temuan Gaff dan Helinger yang menyatakan bahwa banyak diantara buku teks dan buku ajar mengandung pola-pola bahasa yang membedakan laki-laki dan perempuan, serta ketidak simetrisan representasi Gender di banyak buku, maka penelitian ini dilakukan.

Adapun aspek yang  dijadikan kriteria untuk menilai adakah kesetaraan Gender dalam buku teks ajar muatan lokal bahasa Madura antara lain: 1) tingkat persentase kemunculan nama laki-laki dan perempuan dalam buku teks, 2) tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam dialog berdasarkan nama yang muncul 3) jenis tindak tutur yang dipakai tokoh dalam dialog 4) jumlah kemunculan ilustrasi yang menggambarkan laki-laki dan perempuan, dan yang terakhir 5) jumlah topik teks bacaan yang mendiskusikan laki-laki dan perempuan.

A. Tingkat persentasi kemunculan nama laki-laki dan perempuan dalam buku teks

Data ini didapat dari buku teks pelajaran bahasa Madura dengan melihat nama-nama orang yang muncul, baik di dalam teks membaca, dialog, atau yang muncul sebagai contoh. Dilihat dari jumlah nama-nama orang yang muncul dalam tiga buku tersebut, baik nama laki-laki dan perempuan, keduanya muncul dalam ke tiga buku teks. Namun, meskipun keduanya muncul, terlihat adanya ketidak seimbangan jumlah antara nama-nama untuk laki-laki dan nama-nama untuk kaum perempuan. Nama-nama laki-laki muncul lebih banyak dari nama-nama perempuan dengan meraih porsi 74%.  Nama-nama untuk kaum perempuan mendapatkan porsi sebanyak 26%. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.

Table 1. Persentasi Kemunculan Nama Laki-laki dan Perempuan

Laki-laki Perempuan
Kembang Babur

Malathe Pote VIII

Malathe Pote IX

30

49

17

12

18

4

TOTAL 96 34

2) Tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan berdasarkan jumlah tokoh yang muncul dalam dialog

Pada tingkat partisipasi ini, data yang diambil adalah didasarkan pada jumlah pelaku dalam dialog. Tokoh laki-laki lebih mendominasi dialog. Ini terlihat dari jumlah kemunculan tokoh laki-laki dalam dialog yang mencapai 63%. Untuk tokoh perempuan, kemunculan tokoh ini hanya 37%. Bahkan pada buku Malathe Pote IX, tidak satupun tokoh perempuan yang muncul dalam dialog. Tabel 2 di bawah ini menjelaskan dengan rinci.

Table 2. Partisipasi Laki-laki dan Perempuan Dalam Dialog

Laki-laki Perempuan
Kembang Babur

Malathe Pote VIII

Malathe Pote IX

23

5

5

14

6

TOTAL 33 20

3) Jenis Tindak Tutur Yang Dipakai Tokoh Dalam Dialog

Untuk menganalisa jenis tindak tutur yang muncul dalam dialog, maka alat ukur yang digunakan adalah konsep jenis tindak tutur dalam dialog yang dimunculkan oleh Seale (1976) yang kemudian diperkuat oleh Reis (1985). Seale menyebutkan bahwa tipologi dari tindak tutur yang ada dalam dialog terbagi dalam empat tipe yaitu representatives, direktives, commissives, exspressives dan deklaratives. (Searle dan Reis dalam Damayanti, 2008:110). Ke lima tipe dapat dijelaskan dalam bentuk bagan seperti dibawah ini:

TIPE TINDAK TUTUR CONTOH DALAM DIALOG
Representatives

tindak tutur yang dikeluarkan pembicara sesuai dengan apa yang ada dalam benak pembicara tersebut

menyatakan sesuatu, bersikeras, menyumpah, memprotes, menyimpulkan, membanggakan diri
Directives

tindak tutur yang dipakai untuk membuat lawan bicara melakukan sesuatu

memerintahkan sesuatu, meminta, menyarankan, memperingati, menantang, mengundang, memohon, menanyakan sesuatu
Commissive

tindak tutur yang menyatakan bahwa pembicara akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang

menjanjikan, mengancam, menawarkan, mengijinkan, menolak, menerima tawaran, menyetujui
Expressive

menyatakan sesuatu yang berhubungan   dengan aspek psikologis dan perasaan

berterimakasih, mengucapkan selamat, meminta maaf, menyapa, memuji
Declarations

Menyatakan pengumuman yang dampaknya adalah perubahan yang terjadi dengan segera

menamai, mengundurkan diri, menyatakan perang, mengutuk, memberikan doa, memutuskan benar dan salah, memberikan definisi

Diantara ke tiga buku yang dikaji, terlihat jelas bahwa buku Malathe Pote IX, bila dibandingkan dengan dua buku yang lain, memberikan porsi tindak tutur lebih banyak kepada tokoh laki-laki dari tokoh perempuan. Dalam buku ini persentasi tindak tutur yang dilakukan tokoh laki-laki adalah 100%, karena dalam buku ini tidak terlihat adanya tokoh perempuan muncul dalam dialog. Demikian juga dalam buku Kembang Babur. Buku ini juga memberikan lebih banyak porsi kepada laki-laki (yaitu 71%) dari pada kepada perempuan (39%). Disusul kemudian oleh buku terakhir yaitu buku Malathe Pote VIII. Berbeda dengan dua buku sebelumnya, di buku ini porsi tokoh perempuan melakukan tindak tutur mengambil porsi lebih banyak dari laki laki yaitu sekitar ( ). Meskipun pada buku terakhir porsi tindak tutur yang dilakukan perempuan lebih banyak dari pada yang dilakukan laki-laki, namun secara keseluruhan dari tiga buku yang dikaji, porsi leki-laki dalam melakukan tindak tutur lebih banyak dari pada perempuan () Ini memberikan gambaran bahwa dalam pemilihan peran yang muncul dalam dialog, dan juga terjadinya tindak tutur, kaum perempuan agak sedikit termarginalkan. Dari ke lima aspek yang dikajipun juga terlihat bahwa tindak tutur laki-laki lebih dominan dari perempuan. Kesimpulan dari fakta tindak tutur yang ada dalam dialog di buku ini sejalan dengan pernyataan Halliger (1980) tentang kemungkinan adanya inferioritar perempuan dalam percakapan. Halliger menyatakan bahwa kebanyakan perempuan ketika terlibat percakapan dengan laki-laki lebih cenderung pasif dan terabaikan

Tabel 3 Jenis Ungkapan Yang Dipakai Tokoh Dalam Dialog di buku teks

Representa-tives Directives Commissives Expresive Declarations
L P L P L P L P L P
KB 37 19 38 12 7 3 5 2 4 1
MP VIII 9 9 3 6 2 1 1
MP IX 13 9 4 1
Total 59 28 50 18 13 4 5 3 5 1

4) Jumlah Kemunculan Ilustrasi Gambar Laki-laki dan Perempuan

Dari hasil temuan, kita bisa melihat bahwa gambar laki-laki, lebih banyak dimunculkan dari pada gambar perempuan. Gambar laki-laki mendominasi jumlah kemunculan gambar dari total selurul kemunculan gambar yang berjumlah 32 kali kemunculan. Jumlah kemunculan laki-laki adalah sebanyak 68% dan jumlah kemunculan perempuan sebanyak 32%. Data ini bisa dilihat pada tabel 3.

Table 3. Kemunculan Ilustrasi Gambar Laki-laki dan Perempuan

Laki-laki Perempuan
Kembang Babur

Malathe Pote VIII

Malathe Pote IX

19

2

1

9

1

TOTAL 22 10

4) Jumlah Topik Teks Bacaan Yang Mendiskusikan Laki-Laki dan Perempuan.

Pada aspek ini, topik yang dinilai adalah topik yang bersinggungan dengan laki-laki dan perempuan. Dari 19 topik yang muncul dalam 3 buku teks, 4 topik atau 21% membahas topik yang berhubungan dengan laki-laki. Sedang 2 topik, atau sebanyak 11% membahas topik yang berhubungan dengan peempuan.

Table 4. Jumlah Topik Teks Bacaan Yang Mendiskusikan Laki-Laki Dan

Perempuan.

Laki-laki Perempuan
Kembang Babur

Malathe Pote VIII

Malathe Pote IX

4

1

1

TOTAL 4 2

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil kajian terhadap tiga buku teks yang dipakai dalam pengajaran muatan lokal bahasa daerah yaitu Kembang Babur, Malathe Pote VIII, dan Malathe Pote IX, dapat disimpulkan bahwa isu yang berhubungan dengan ketidaksetaraan Gender ternyata terdapat dalam tiga buku tersebut. Semua aspek yang dijadikan kriteria untuk menilai apakah isu ketidaksetaraan Gender ada dalam satu buku, ternyata membenarkan fakta ini. Dari lima pon yang dijadikan tolak ukur untuk menilai buku yaitu 1) tingkat persentase kemunculan nama laki-laki dan perempuan dalam buku teks, 2) tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam dialog berdasarkan nama yang muncul 3) jenis tindak tutur yang dipakai tokoh dalam dialog 4) jumlah kemunculan ilustrasi yang menggambarkan laki-laki dan perempuan, dan yang terakhir 5) jumlah topik teks bacaan yang mendiskusikan laki-laki dan perempuan, semua poin menunjukkan bahwa laki-laki dalam tiga buku tersebut posisinya lebih superior karena aspek kelaki-lakian lebih banyak muncul dari pada aspek yang berhubungan dengan perempuan. Potret ini dapat memberikan efek negatif terhadap perkembangan kompetensi siswa perempuan di dalam kelas. Kita ambil contoh, apabila siswa diminta untuk berlatih berbicara dan dialog yang digunakan adalah dialog yang ada di dalam buku tersebut, padahal kita tahu, tokoh yang ada dalam dialog adalah kebanyakan tokoh laki-laki, maka hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya kesempatan siswa perempuan untuk berlatih berbicara karena tokoh perempuan yang seharusnya mereka mainkan terbatas. Andaikata mereka diminta untuk berperan menjadi tokoh laki-lakipun mereka secara psikologis akan tidak nyaman, karena apa yang diucapkan laki-laki dalam dialog terkadang tidak sama dengan apa yang biasa diucapkan perempuan dalam percakapan sehari-hari.

B. Saran

Membuat atau menulis buku adalah pekerjaan yang tidak mudah, apalagi jika tujuan dari pembuatan buku tersebut adalah untuk dapat memuaskan seluruh pihak. Jelas tersebut dirasakan sangat sulit untuk dilakukan, karena tiap manusia memiliki  persepsi yang berbeda-beda terhadap kualitas satu buku. Perbedaan persepsi inilah yang kemudian memunculkan penilaian-penilaian kekurangan dan kelebihan sebuah buku, termasuk yang penulis lakukan saat ini. Berdasarkan kajian tiga buku bacaan untuk muatan lokal bahasa Madura, yang dihubungkan dengan konstruksi Gender, maka dapat ditemukan sebuah kelemahan yang didapat pada tiga buku tersebut yaitu ketiganya kurang memberikan porsi kepada perempuan dan segala aspek yang terkait dengannya untuk muncul lebih banyak dalam tiga buku tersebut. Harapannya, apabila ketiga buku tersebut direvisi sebelum diterbitkan lagi, maka keseimbangan porsi maskulin dan feminin harus dapat dijadikan sebagai sebuah pertimbangan agar kualitas ketiga buku tersebut semakin meningkat.

REFERENSI

Damayanti, Lestari, Ika. 2008. The Analysis of Speech Acts on Gender Construction in Dialoges Presented in English Textbooks for Primary  School Students in Indonesia. Poceeding. International Conference on Applied Linguistics

Drajid, M, dkk. 2002. Pengajaran Basa Madura Kaangguy SLTP Kellas 1: Kembang Babur, Surabaya: Yudistira

Gaff, R. 1282. “Sex-stereotyping in Modern Language Teaching, an aspect of thehidden curriculum.” British Journal of Language Teaching xx (2): 71-78

Hellinger, M. 1980. For Men Must Work and Women Must Weep: Sexism in  English Language Texbooks used in German Schools.” Women’s Studies International Quarterly 3:267-275

Rahayu, Timbul, dkk. 2002. Malathe Pote, Pangajharan Bhasa Madhura Kaangguy SMP Kellas VIII. Bangkalan: Amanah

Rahayu, Timbul, dkk. 2002. Malathe Pote, Pangajharan Bhasa Madhura Kaangguy SMP Kellas IX. Bangkalan: Amanah


[1] Iqbal Nurul Azhar adalah dosen Universitas Negeri Trunojoyo dan Praktisi Ethnolinguistics

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: