Pengaruh Latar Belakang Sosial Mahasiswa Terhadap Kehidupan Akademik Di Kampus

Oleh: Iqbal Nurul Azhar

Sebuah artikel yang berjudul Dialect and Influences on the Academic Experiences of College Students yang ditulis oleh Dunstan dan Jaeger dan diterbitkan di The Journal of Higher Education pada tahun 2015. memotret pengalaman mahasiswa penutur bahasa Inggris dialek Appalachia selama mereka menumpuh pendidikan di sebuah kampus di Amerika Serikat. Selama ini, orang-orang selatan Amerika Serikat (para penutur bahasa Inggris dialek Appalachia) dianggap sebagai orang-orang yang tidak berpendidikan, tidak cerdas, terbelakang, malas, berpikiran tertutup, dan sederhana. Demikian juga dialek mereka yang mereka tuturkan dianggap sebagai salah satu “bahasa Inggris yang buruk.” Dunstan dan Jaeger (2015) berusaha menggali lebih dalam tentang pengaruh latar belakang sosial dan bahasa dari mahasiswa-mahasiswa tersebut terhadap kehidupan mereka di kampus.

Bagian pengantar dari artikel Dunstan dan Jaeger ini membahas tentang stigma negatif yang dilekatkan kepada mahasiswa penutur bahasa Inggris Appalachia yang mana mereka diberi label sebagai kelompok mahasiswa yang berkualitas rendah karena banyak dari mereka yang lulus dengan nilai yang rendah.  Mereka juga dianggap memiliki kemampuan finansial yang kurang baik sehingga seringkali kelompok mahasiswa ini ditandai sebagai kelompok “yang berbeda” dari mahasiswa lainnya. Stigma ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para mahasiswa tersebut  karena mereka dipaksa harus bernegosiasi dengan stigma ini selama mereka belajar di kampus.

Bagian kedua dari artikel ini merupakan literature review yang didalamnya berisi penjelasan beberapa literature-literatur terdahulu yang berhubungan dengan studi yang dilakukan oleh Dunstan dan Jaeger. Literatur-literatur tersebut membahas tentang konsep-konsep dialek dan pendidikan, informasi khusus tentang dialek Appachian, dialek dan kode kekuasaan dalam dunia pendidikan serta kajian-kajian dialek yang terstigmatisasi di perguruan tingi. Dipenutup bagian dua ini, para penulis menjelasan kerangka pikir mereka yang terinspirasi dari konsepsi interaksi antara ideologi bahasa standar yang dipopulerkan oleh Lippi-Green, hegemoni linguistik oleh Gramsci  dan Suarez, serta kode kekuasaan dalam pendidikan oleh Delpit.

Di bagian metodologi, mereka mengumpulkan data dari 26 informan yang berstatus mahasiswa yang berasal dari daerah pedesaan Appalachia Selatan yang sedang menempuh pendidikan di Southern State University (SSU). Ke-26 mahasiswa tersebut direkrut berdasarkan data diaplikasi mereka. Mereka di kirimi email untuk memastikan bahwa mereka memenuhi kriteria sebagai informan penelitian yaitu mereka harus tinggal di daerah Apalachia sejak masa kanak-kanak dan memiliki setidaknya satu orang tua yang lahir dan besar di Appalachia. Ke-26 mahasiswa tersebut diwawancara secara semi-terstruktur di mana mereka diminta untuk mendiskusikan adanya kemungkinan pengalaman kuliah mereka telah dipengaruhi oleh dialek yang mereka Apalachian yang mereka gunakan. Peneliti menggunakan  metode kualitatif interpretatif dasar yang diusulkan oleh Merriam (dalam Dunstan &Jaeger, 2015) dan metode analisis sosiolinguistik oleh Labov (dalam Dunstan &Jaeger, 2015) untuk mengeksplorasi pengaruh bahasa pada pengalaman kuliah siswa tersebut serta untuk mengetahui deskripsi linguistik yang berhubungan dengan bahasa yang mereka tuturkan.  Pengkodean awal dilakukan oleh peneliti menggunakan perangkat lunak analisis kualitatif NVIVO (QSR International Pty Ltd. Versi 10, 2012) dengan transkrip wawancara. Data diverivikasi melalui verifikator eksternal untuk meningkatkan kredibilitas dan transferabilitas. Data kemudian dianalisis secara linguitik untuk menemukan variasi morfosintaksis dan variasi-variasi linguistik lainnya. Peneliti juga menggunakan analisis dan deskripsi pola bicara partisipan dalam hubungannya dengan deskripsi pengalaman informan. 

Pada bagian ketiga, para peneliti menampilkan hasil analisis mereka yang terbagi menjadi dua bagian. Adapun kedua bagian tersebut  adalah 1) pengaruh dialek terhadap elemen partisipasi dan kinerja di kelas, dan 2) peran dialek dalam pembentukan identitas akademik

Pada bagian pertama, para peneliti menemukan fakta bahwa dialek Appalachia yang dimiliki para informan memberikan pengaruh yang cukup terlihat pada partisipasi dan produktivitas para informan di kelas. Pada domain ini para informan menyebutkan bahwa latar belakang bahasa mereka mempengaruhi keinginan mereka untuk berbicara dan tampil ke kelas. Beberapa informan bahkan percaya bahwa menahan diri untuk berbicara di depan unum adalah tindakan terbaik karena hal tersebut dapat meminimalisir anggapan bahwa mereka kurang cerdas, kurang berpendidikan dan kurang kredibel. Mereka seringkali tidak nyaman ketika professor mereka meminta mereka mengulang perkataan karena tidak paham apa yang mereka katakana, karena hal ini mereka anggap dapat menurunkan nilai mereka. Beberapa informan bahkan mengalami senderi pengalaman ditertawai atau atau diejek secara terbuka di kelas karena dialek mereka.

Para peneliti juga menemukan bahwa dialek dan latar belakang yang mereka miliki membuat mereka merasa tidak nyaman.  Beberapa informan menyebutkan ketika mereka sedang berada di kelas dan membahas sebuah topik yang berhubungan dengan sejarah daerah mereka, mereka seakan-akan merasa menjadi musuh bersama. Informan lain juga menyebutkan, ketika ia mengambil kelas fonologi dan diminta mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris secara tepat, kegiatan merupakan sebuah beban karena pelafalan itu sangat berbeda dengan apa yang biasa ia lafalkan.

Pada domain pembahasan kedua, para peneliti menemukan bahwa latar belakang dialek dapat mempengaruhi identitas akademik. Para informan dapat  melihat apakah mereka cocok atau tidak dengan dengan komunitas akademik dengan melihat tanggapan orang-orang yang ada disekitanya terhadap diri mereka. Jika para mahasiswa merasa bahwa gaya bicara yang mereka gunakan tidak dihargai dalam lingkungan akademik, mereka akan merasakan tekanan untuk berubah dan berjuang untuk mendapatkan identitas akademik yang mereka sukai. Para informan sering merasakan adanya tekanan untuk mengubah gaya bicara mereka dan mengakomodasi norma-norma bahasa yang ada di universitas. Beberapa informan dalam banyak situasi bahkan benar-benar mengubah gaya bicara mereka dengan bantuan alih kode. Informan yang bahasanya lebih standar biasanya tidak terlalu merasakan tekanan ini meskipun pada kenyataannya, mereka dibandingkan teman-temannya yang lain telah lebih dulu merasakan tekanan dan berhasil dalam penyesuaian diri mereka untuk menghindari stigma.

Secara umum, artikel ini memiliki dua aspek berharga yang menjadikannya layak untuk dibaca. Adapun kedua aspek tersebut adalah aspek bahasa serta aspek metodologinya. Dari segi bahasa, penulis menggunakan bahasa yang cukup komunikatif dengan menyajikan alur berpikir yang runtut dan tanpa menggunakan bahasa yang terlalu teknis. Dengan menggunakan gaya penyampaian yang demikian, penulis telah menggakomodasi para pembaca yang tidak memiliki latar belakang linguistik, sosiolinguistik dan dialektologi untuk dapat memahami isi artikeel ini. Saya juga tidak menemukan kesalahan ketik dan istilah ilmiah yang membebani pembaca untuk memahami isi kajian.

Aspek kedua yang menjadikan artikel ini layak untuk dibaca adalah kekuatan metodologis serta kontribusi teoretisnya bagi dunia pengetahuan, khususnya ilmu sosiolinguistik dan pendidikan. Dalam konteks linguistik, upaya para penulis untuk menyajikan latar belakang permasalahan yang muncul karena adanya kepemilikan dialek Apalachia perlu diapresiasi. Mereka juga cukup bijak mencantumkan informasi sekilas tentang dialek Apalachia dan stereotipe terkait dengan dialek ini kepada pembaca. Dengan demikian, pembaca memiliki cukup background untuk memahami isi dari artikel ini dengan baik. Mereka juga membangun kerangka pikir yang cukup sistematis dengan memadukan beberapa pandangan yang berasal dari domain yang berbeda seperti ideologi bahasa standar yang dipopulerkan oleh Lippi-Green, hegemoni linguistik oleh Gramsci dan suarez, serta kode kekuasaan dalam pendidikan oleh Delpit. Adanya pandangan yang berasal dari domain yang berbeda inilah yang menyebabkan artikel ini kaya akan perspektif yang berbeda. Para penulis juga menggunakan instrument yang cukup up-to-date untuk membantu menganalisis data mereka yaitu   perangkat lunak analisis kualitatif NVIVO (QSR International Pty Ltd. Versi 10, 2012). Upaya mereka untuk menjadikan data mereka valid dengan meminta verivikator eksternal untuk memverifikasi data juga layak untuk di apresiasi. Ini menunjukkan perhatian dari penulis tentang adanya kemungkinan bias dan keraguan dalam menyebut status data mereka.

Meskipun secara umum penelitian ini memiliki kekuatan yang menjadikannya layak untuk dibaca, namun ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan agar artikel ini menjadi tambah kuat. Catatan pertama terkait dengan kerahasiaan dari para informan. Dalam artikel tidak disebutkan komitmen dari para peneliti untuk menjaga kerahasiaan dari para informan yang merupakan mahasiswa. Kerahasiaan ini sangatlah penting mengingat beberapa dari informan memberikan input pengalaman negatif yang dapat mendegradasi citra positif kampus mereka sendiri yaitu SSU, sehingga jika tidak ada jaminan kerahasiaan, otoritas kampus dapat menelusuri identitas mereka dan pada akhirnya membuat mereka merasa semakin tidak nyaman belajar di SSU karena selalu merasa terancam sanksi. Kondisi ketidaksetaraan kuasa ini akan melahirkan permasalahan lain yang berhubungan dengan diskriminasi yang dapat memperburuk citra mahasiswa yang berlatar belakang Apalachia.   

Kedua adalah terkait dengan kevalidan korelasi antara latar belakang dialek dari informan yaitu dialek Apalachia dengan pengalaman mereka selama belajar di kampus. Apakah korelasi tersebut bersifat positif yang absolud ataukah dimungkinkan adanya interupsi dari variable lain seperti latar belakang personaliti dari informan, kebijakan kampus, kondisi keluarga, dan lain-lain yang dapat menginterferensi korelasi tersebut karena bisa jadi variabel-variablel yang tidak diinginkan tersebut dapat mengganggu kevalidan dari hasil penelitian. Salah satu pertanyaan yang mungkin bisa muncul terkait dari relevansi keduanya adalah apakah pengalaman mahasiswa yang memiliki latar belakang dialek Aphacia di kampus lain juga sama? Jika berbeda, bisa jadi faktor yang mempengaruh pengalaman dari informan bukanlah karena latar belakang dialek Apalachia mereka namun karena kebijaksanaan dari kampus yang kurang dapat mengakomodasi perbedaan.

Catatan ketiga berhubungan dengan keterbatasan skope dari hasil penelitian ini yang bersifat kasuistis karena hanya berlaku pada satu kampus saja yaitu SSU. Karena bersifat terbatas, maka hasil kajian ini sulit untuk dapat digeneralisasi ke konteks yang lebih besar. Selain itu, teori standard language ideology oleh Lippi-Green (1997, 2012) yang dijadikan sebagai salah satu pembentuk kerangka pikir dalam artikel ini perlu ditekankan pembahasannya agar pembaca memahami bagaimana teori ini beroperasi dalam penelitian para penulis. Dengan demikian, akan terlihat bagaimana peranan standard language ideology dalam membentuk stigma terhadap sebuah variasi bahasa.

Saya melihat bahwa hasil dari penelitian Dunstan dan Jaeger (2015)  ini merupakan sebuah otokritik kepada sistem pendidikan yang ada kampus dan kondisi sosial masyarakat di US yang hingga sekarang masih tidak dapat melepaskan lepas dari keberadaan diskriminasi. Dengan adanya studi ini, semua stakeholder pendidikan di US diharapkan dapat melakukan perbaikan mutu dan pelayanan kepada pelajar khususnya yang berasal dari latar belakang sosial minoritas.

Kurath (in Wolfram & Schilling, 2016) menyebutkan bahwa ada tiga kategori sosial berdasarkan latar belakang lapangan kerja, dan para informan penelitian ini saya anggap merupakan kelompok yang termasuk dalam Type III yaitu mereka yang memiliki “latar belakang pendidikan yang superior, bahan bacaan yang bervariasi, serta kontak sosial yang ekstensif.” Tipe III ini seharusnya beranggotakan orang-orang yang superior karena posisinya paling tinggi dalam strata sosial. Seharusnya pula kelompok masyarakat yang masuk dalam kelompok sosial ini memiliki posisi yang sangat kuat sehingga mereka tidak rentan pada stereotype dan diskriminasi. Sayangnya, kesuperioritasan posisi para informan dalam kelas sosial tidak menjamin bahwa mereka aman dari stereotipe. Hasil penelitian ini secara implisit berusaha merekomendasikan kepada Kurath bahwa ia perlu untuk membagi Tipe III ini kedalam dua kelompok yang lebih kecil yaitu mereka yang termasuk dalam kelompok dominan serta memiliki otoritas dan berkuasa serta mengontrol opini publik, dan satu lagi yaitu mereka yang termasuk dalam kelompok minoritas yang tidak memiliki otoritas, serta tidak dapat mengontrol opini publik. 

Perasaan yang tidak nyaman yang dimiliki para informan karena latar belakang sosial mereka sebagai Apalachian merupakan ekses negative dari keberadaan linguistic marketplace (lihat Wolfram & Schilling, 2016). Secara tidak langsung para informan percaya bahwa lingkungan kampus mereka  mewajibkan untuk menggunakan sebuah variasi bahasa (dalam hal ini merujuk pada Bahasa Inggris Main Stream/MAE), yang menyebabkan mereka merasa berbeda karena tidak menggunakan language variety yang diharapkan oleh kampus mereka. Perasaan inilah yang mendorong beberapa informan untuk avoid berbicara di depan kelas karena dengan itu mereka akan terlihat sebagai mahasiswa yang kurang berpendidikan. Secara tidak langsung mereka telah terjebak dalam perangkap apa yang disebut Kubota (2019) sebagai Rasisme Bahasa Epistimologis.

Sikap para informan yang berbeda-beda dalam menyikapi kondisi sosial yang ada dikampus dapat melahirkan konsekuensi yang berbeda. Beberapa informan yang mengambil inisiatif menyesuaikan diri dengan gaya bahasa mainstream secara pragmatis akan membuat mereka menjadi aman dan nyaman. Namun diskresi ini dapat membawa konsekuensi yang tidak menyenangkan pada kelompok sosial dimana para informan ini biasa berada. Wolfram & Schilling (2016) mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki variasi bahasa biasanya lahir dan tumbuh besar dalam kelompok sosial yang solid yang tingkat interaksi anggotanya cukup tinggi.  Ketika informan tersebut merubah gaya bicaranya, dan kembali lagi kedalam kelompok sosial asal, maka ia akan dianggap aneh dan bisa jadi ia mendapatkan stigma negative karena dianggap telah membuang gaya hidup nenek moyangnya.

Adapun para informan yang gigih mempertahankan gaya bicara Apalachian mereka, biasanya mereka akan membangun jaringan dengan mahasiswa dengan latar belakang yang sama sebagai bagian dari tindakan bertahan hidup. Dikomunitas ini, mereka akan bebas menggunakan dialek Apalachian tanpa khawatir akan dipermalukan. Komunitas inilah oleh  Wolfram & Schilling (2016) disebut sebagai grup eksklusif karena para penuturnya menggunakan fitur-fitur bahasa yang tidak digunakan oleh kelompok yang lain.

Keberadaan grup eksklusif ini juga melahirkan masalah baru. Stigma sosial yang di lekatkan pada para mahasiswa Apalachia akan makin kuat karena mereka telah membangun image yang dikonotasikan secara negatif. Wolfram & Schilling (2016) mengatakan bahwa kelompok yang mempertahankan fitur-fitur linguistik yang berbeda dapat membawa konsekuansi stigma dan dan jejak karakter seperti “keutentikan/keaslian, kenativan, dll.

Beberapa keluhan terhadap pengalaman kurang mengenakkan yang dialami mereka menyiratkan bahwa mereka telah mengalami tindakan diskriminatif. Keluhan ini muncul bisa jadi disebabkan karena mereka secara psikologis berada dalam kondisi tertekan melihat kondisi sosial yang menurut mereka kurang kondusif karena latar belakang mereka sebagai penutur Apalachian dialek. Kondisi ini bisa jadi diperparah dengan aksi, baik itu disengaja ataupun tidak, para penutur  MAE yang  cenderung menutup diri ketika para informan ini berada dalam sebuah setting komunikasi (Lihat Derwing et al. dalam Lippi Green, 2012). Adanya tindakan negatif dari native MAE ini bisa jadi beresonansi dengan apa yang dikatakan oleh Lippi-Green bahwa mereka berhalusinasi tentang adanya sebuah aksen, padahal sebenarnya tidak ada (Lippi-Green, 2012).

Dari apa yang diceritakan oleh para informan, saya dapat menyimpulkan bahwa mereka telah terkungkung dalam sebuah proses subordination yang mana otoritas telah diklaim dan mereka dianggap bukan sebagai ahli bahasa Inngris yang menyebabkan mereka harus berlatih berbicara dengan menggunakan MAE. Mereka juga telah terbawa pada kondisi dimana misinformasi dibentuk yang membuat mereka merasa apa yang mereka katakan dalam bahasa Apalachia menjadi tidak akurat, tidak superior, tidak indah, dan tidak logis (Lippi Green, 2012).

Sistem yang ada dikampus SSU saya rasa juga mempengruhi pengalaman dari para informan. Sistem pendidikan yang diterapkan masih menggunakan pendekatan Additif yang melanggengkan ideologi monoglosik yang memposisikan monolingualisme sebagai norma dan bilingualisme sebagai monolingualisme ganda (Flores and Rosa (2015). Ideologi inilah yang menurut Sledd (in Lippi-Green, 2012) dianggap sebagai sumber dari keberadaan hadirnya kebijakanan institusional yang memantik para pelajar untuk memiliki praduga linguistik. (Sledd in Lippi-Green, 2012). Ideologi ini jugalah yang masih menjadi penghambat dari mahasiswa untuk menjalani proses pembauran di lingkungan kampus.

Para penulis secara hati-hati memformulasikan implikasi yang muncul dari studi mereka. Mereka menunjuk bahwa meskipun dialek merupakan sesuatu yang dianggap alami dalam tatanan sosial rakyat Amerika, namun tidak semua orang sepakat tentang bagaimana cara memperlakukannya, termasuk di dalamnya dalam konteks kehidupan akademik di perguruan tinggi. 

Referensi

Dunstan, S.B & Jaeger, A.J (2015) Dialect and Influences on the Academic Experiences of College Students. The Journal of Higher Education, Vol. 86, no. 5: Ohio State University. DOI: https://doi.org/10.1353/jhe.2015.0026

Flores, N & Rosa, J (2015)Undoing Appropriateness: Raciolinguistic Ideologies and Language Diversity in Education in Harvard Educational Review Vol. 85 No. 2 Summer

Kubota, R (2019) Confronting Epistemological Racism, Decolonizing Scholarly Knowledge: Race and Gender in Applied Linguistics. Applied Linguistics 2019: 0/0: 1–22. DOI:10.1093/applin/amz033

Lippi-Green, R. (2012)  English with an accent: language, ideology and discrimination in the United States. New York: Routledge Wolfram, W & Schilling, N (2016)  American English: Dialects and Variation, Third Edition: John Wiley & Sons, Inc.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: