PERKENALAN AWAL BAHASA FILANTROPIS: (Bidal-bidal Beserta Konstruksinya)

Oleh: Iqbal Nurul Azhar

FISIB Universitas Trunojoyo Madura

Iqbalnurulazhar@yahoo.com

Diterbitkan dalam Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Bahasa dan Sastra, 2013. Diterbitkan atas kerjasama Sastra Inggris Unijoyo dan Penerbit PMN.

Abstrak:

Tulisan ini adalah proposal teori bahasa filantropis melalui perspektif linguistik. Bahasa filantropis adalah ”style bahasa yang  menunjukkan ungkapan cinta kasih kepada sesama manusia.” Ada dua bidal dari bahasa filantropi yaitu, bidal proposisi dan bidal afeksi.  Bidal proposisi memiliki enam ciri yaitu: (1) tunjukkan perasaan cinta dan kasih sayang, (2) tunjukkan subjek yang dibahas sebagai milik bersama, (3) persepsikan pembuat serta pembaca wacana adalah bersaudara, (4) jangan serang muka orang lain, (5) masukkan ajakan pembaharuan tapi bentuk ajakan tidak melanggar bidal 1, 2, 3, dan 4. (6) berikan sesuatu kepada orang lain meskipun itu hanya berupa sebuah harapan. Bidal afeksi memiliki tiga ciri yaitu memberikan perasaan nyaman karena: (1) menuruti proposisi untuk bersikap positif, (2) menuruti proposisi untuk tidak bersikap negatif, dan (3) tidak melakukan apa-apa untuk menghindari sikap negatif. Bahasa filantropis memiliki kekhasan secara leksikal. Leksikal-leksikal seperti contoh: cinta, sayang, damai, sejahtera, tentram, kebersamaan, kebenaran, persamaan, persahabatan, kebahagiaan, kemakmuran, persatuan, kita, kita semua, anda dan saya, dan masih banyak lainnya adalah penanda dari bahasa filantropis. Bahasa filantropis juga memiliki struktur yang khas yaitu “pelanggaran kaidah-kaidah tatabahasa segera daripada mengatakan sesuatu yang kejam sama sekali kepada orang lain”.

Kata-kata kunci: bahasa filantropis, bidal, konstruksi

PENDAHULUAN

Terinsiprasi oleh beberapa pertanyaan mahasiswa yang masuk ke kotak email penulis yang menanyakan tentang adanya pola-pola bahasa yang mengandung muatan cinta, kasih sayang dan welas asih, artikel ini ditulis. Pola bahasa ini pernah penulis angkat dalam artikel penulis yang dipublikasikan pada tahun 2008 (lihat Azhar, 2008). Berikut ini salah satu contohnya :

Mari Kita Wujudkan Jawa Timur Yang Makmur, Aman, Tenteram, Bersama (Manteb) Merdeka (Azhar, 2008)

Surat elektronik tersebut menanyakan bidang kajian linguistik yang manakah yang dapat menampung diskusi tentang pola-pola bahasa ini. Setelah menelusuri kembali beberapa literatur cetak maupun elektronik yang ada di perpustakaan dan e-perpustakaan, di jumpai fakta bahwa pola-pola ini dapat ditampung dalam sebuah terminologi khusus yang disebut sebagai “bahasa filantropi,” atau tepatnya style bahasa filantropi karena bahasa ini bersifat khas dan dimunculkan oleh orang-orang tertentu untuk tujuan tertentu pula. Ini adalah sebuah pola bahasa unik yang oleh Fusari (2006) dianggap memiliki kekuatan untuk memanusiakan manusia dengan cara menyingkirkan kesengsaraan dan mengembangkan cinta kasih antarsesama. Dengan kata lain, informasi yang mungkin diinginkan penulis surat elektronik tersebut adalah penjelasan tentang teori style bahasa filantropis (dalam artikel ini kita sebut saja bahasa filantropis).

Meskipun telah ditemukan payung kajian untuk pola-pola bahasa ini, ada sedikit kekecewaan di hati penulis terkait dengan informasi yang ada pada literatur-literatur yang berhubungan dengan topik ini. Kekecewaan ini muncul karena dua hal. Pertama, rata-rata, informasi tersebut sangatlah terbatas serta kurang komprehensif karena hanya berupa artikel-artikel yang dimuat di jurnal sehingga kurang mumpuni untuk digunakan menjawab pertanyaan ilmiah di atas, yang secara eksplisit menginginkan jawaban teoretis. Kedua, literatur-literatur tersebut kurang berhubungan dengan ranah filantropi yang diinginkan penulis yaitu ranah linguistik sedangkan literatur-literatur tersebut hampir semuanya terkait ranah sosial-kemanusiaan.

Beberapa studi terkait filatropi telah dilakukan seperti yang dilakukan oleh Bhativa (1997), Bhatiava (1998), Connor (1997), Connor dan Wagner (1998), Crismore (1997), Lauer (1997), Myers (1997), Payton, Rosso, dan Tempel (1991), Fusari (2005), Fusari (2006) dan Amabile (2012). Studi tersebut memberikan gambaran terkait protret filantropi yang ada di masyarakat melalui perspektif analisis wacana. Meskipun demikian, tidak ada satupun dari studi tersebut yang benar-benar memotret bahasa filantropi dalam cakupan linguistik teoretis. Seluruhya mengkaji bahasa-bahasa yang ada pada teks-teks yang berhubungan dengan kegiatan filantropis. Kajian-kajian tersebut ditujukan untuk urusan sosial yaitu tentang bagaimana mengolah bahasa sehingga dapat menghasilkan donasi untuk kegiatan-kegiatan filantropi.

Satu kajian yang sedikit bersinggungan dengan linguistik adalah kajian  McCagg (1997) yang mengkaji filantropi melalui cakupan linguistik. Kajian inipun oleh penulis masih kurang bisa menjawab pertanyaan mahasiswa karena hanya membahas tentang moral metafora yang ada dalam wacana filantropi.

Atas latar belakang inilah artikel ini di tulis. Tulisan ini membahas tentang bahasa atau tepatnya style bahasa filantropis. Karena literatur-literatur teoretis terkait bahasa filantropi jumlahnya sangat sedikit, bisa jadi, tulisan ini adalah proposal teori bahasa filantropis.

Karena adanya keterbatasan waktu penulis untuk merampungkan tulisan ini, jenis studi yang dipilih penulis adalah studi pustaka. Pustaka yang dimaksud adalah artikel-artikel ilmiah yang membahas wacana kampanye politik selama satu dasa warsa ke belakang. Karena membahas wacana kampanye politik, maka artikel-artikel ilmiah tersebut pastinya memuat jargon, atau slogan-slogan yang mengandung style bahasa filantropis.  Jargon, atau slogan-slogan yang mengandung style bahasa filantropis inilah yang diadopsi menjadi data studi ini. Karena berjenis kajian pustaka, metode pengambilan data yang digunakan tentu saja metode observasi nonpartisipan (yang oleh Sudaryanto (2001) disebut sebagai metode simak), dengan teknik dasar teknik sadap yang disambung dengan teknik lanjutan yaitu teknik rekam. Instrumen yang digunakan untuk mengambil data adalah penulis sendiri. Metode analisis data adalah Metode Padan dengan Teknik Dasar PUP (Pilah Unsur Penentu) dengan unsur penentunya adalah wacana. Metode penyajian hasil analisis data adalah metode informal. Karena belum pernah ada linguis yang mengangkat tema ini, maka pendekatan studi ini adalah buttom up (grounded) yaitu dari data ke teori. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis-hipotesis/teori-teori.

PEMBAHASAN

Bidal-bidal Bahasa Filantropis

Secara etimologis, kata filantropi (philanthropy) berasal dari kata dalam bahasa Yunani ‘philos’ yang berarti cinta dan anthropos yang artinya manusia. Gabungan dari kedua kata tersebut menghasilkan makna “Mencintai atau cinta kasih kepada manusia”. Filantropi dalam sejarah filosofisnya sebenarnya terkait erat dengan semangat kebebasan manusia. Bermula dari kisah tirani dewa Zeus yang membelenggu manusia dalam kebodohan, ketakutan, kegelapan, ketakberdayaan dan sebagainya, seorang dewa yang baik bernama Prometheus datang menyelamatkan manusia dengan memberi mereka api dan harapan. Dalam kisah perlawanan Prometheus tersebut, api adalah simbolisasi teknologi, keterampilan, ilmu pengetahuan. Sedang harapan selalu dikaitkan dengan semangat perbaikan kondisi manusia. Dan dari situlah keberadaban kisah manusia bermula yang berawal dari kecintaan “philanthropia” sang Prometheus pada manusia (http://ditpolkom.bappenas.go.id).

Kata Philanthropy sering juga dimaknai sebagai “ungkapan cinta kasih kepada sesama manusia”. Kamus Webster tidak memberi batasan pengungkapan cinta kasih ini apakah dalam bentuk uang atau barang, melainkan “pekerjaan atau upaya yang dimaksudkan untuk meningkatkan rasa cinta pada sesama dan kemanusiaan”.

Definisi filantropi ini dalam perkembangannya telah bercabang menjadi dua yaitu cabang definisi gerakan (cabang pertama) dan cabang definisi konsep (cabang kedua). Cabang pertama masih tetap mengakar kuat dan dapat dilihat dalam berbagai wadah gerakan kemanusian seperti the Philantropic Will Company, Dompet Duafa, Rumah Zakat, BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia) dan lain sebagainya. Filantropi pada cabang pertama ditafsirkan sebagai tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia dengan menyumbangkan sumber daya yang dimilikinya. Artinya dalam bahasa sehari-hari, filantropi dipraktekan sebagai sedekah, asuh/pengasuhan, zakat, persepuluhan, derma, kebajikan, sumbangan, infak dan padanan atau tindakan lain yang semakna. Filantropi dalam cabang pertama ini juga dimaknai sebagai “perpindahan sumber daya secara sukarela untuk tujuan sedekah, sosial, dan kemasyarakatan, yang terdiri atas dua bentuk utama yaitu pendayagunaan hibah sosial dan pembangunan2.”

Cabang kedua, meskipun masih menjadi arus minor, lambat laun makin menampakkan diri seiring dengan maraknya bermunculan wacana filantropi. Cabang kedua bergeser dari yang semula berupa tindakan, menjadi sebuah konsep yang berorientasi pada ”tujuan-tujuan cinta kasih dan welas asih kepada sesama” baik itu dilakukan secara individu maupun kelompok. Karena bersifat konsep (kebanyakan bersifat seperti adjektif), maka kata filantropi dapat melekat pada kata lain untuk membentuk sebuah entitas baru. Dengan demikian, berdasarkan wujudnya yang konseptual, dikemudian hari dikenal lema-lema baru seperti sastra filantropis, seni filantropis, drama filantropis, style bahasa filantropis dan lain sebagainya.

Pada cabang kedua ini, kita dapat melihat adanya pergeseran fundamental definisi filantropi dari yang semula hanya berbicara tentang sebuah tindakan konkret kelompok masyarakat untuk bekerja demi kemanusiaan menjadi konsep perasaan cinta dan kasih sayang individu.  Pergeseran definisi ini juga bersifat retrononmaterialistik karena muatan cinta, kasih sayang dan welas asih yang dalam definisi Yunani berwujud abstrak, kemudian beralih menjadi konkret yang berwujud kegiatan pemberian materi-materi yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain untuk tujuan mulia, kemudian diwujudkan kembali menjadi abstrak yaitu sebuah konsep yang melekat pada lema-lema tertentu dalam bahasa.

Menggunakan definisi filantropi pada cabang pertama untuk membahas bahasa-bahasa seperti yang ditunjukkan oleh surat elektronik yang diterima penulis, jelas tidak tepat. Definisi filantropi cabang pertama tidak memiliki hubungan sama sekali dengan topik artikel ini. Ada tiga hal yang menyebabkan definisi terkini filantropi dan topik ini tidak memiliki hubungan yaitu: (1) cabang pertama lebih cenderung berada dalam naungan ranah sosial, kemanusiaan dan relijius, sedangkan topik artikel ini hanya berfokus pada ranah bahasa, (2) cabang pertama membahas filantropi dan produknya yaitu materi yang bisa digunakan untuk tujuan kemanusiaan, sedangkan topik ini membahas produk bahasa yang mengandung cinta dan welas asih manusia, (3) cabang pertama membahas tindakan, sedangkan topik artikel ini membahas ungkapan, (4) cabang pertama membicarakan bagaimana memberdayakan manusia untuk bisa bermanfaatkan pada orang lain, topik artikel ini membahas bagaimana bahasa bisa berdaya sehingga mampu menunjukkan muatan cinta, kasih sayang dan welas asih.

Filantropi yang kita bahas adalah filantropi pada cabang kedua. Definisi bahasa filantropis yang kita gunakan sebagai parameter pada artikel ini adalah ”style bahasa yang  menunjukkan ungkapan cinta kasih kepada sesama manusia.” Definisi bahasa filantropis tersebut memunculkan dua bidal yaitu, bidal proposisi (isi), dan bidal afeksi (pengaruh).

Bahasa filantropi memiliki muatan yang khas yaitu cinta, welas asih dan kedermawanan. Meskipun struktur kalimatnya berbeda-beda asalkan secara umum memiliki proposisi tersebut, satu style bahasa dapat dikatakan sebagai bahasa filantropis. Ada enam ciri yang dapat membedakan proposisi style bahasa filantropis dengan proposisi style bahasa lainnya. Ciri-ciri tersebut adalah: (1) tunjukkan perasaan cinta dan kasih sayang, (2) tunjukkan subjek yang dibahas sebagai milik bersama, (3) persepsikan pembuat serta pembaca wacana adalah bersaudara, (4) jangan serang muka orang lain sehingga bahasa filantropis tidak akan menyakiti perasaan orang lain, (5) masukkan ajakan pembaharuan tapi bentuk ajakan tidak melanggar bidal 1, 2, 3, dan 4. (6) berikan sesuatu kepada orang lain (dermawan) meskipun itu hanya berupa sebuah harapan. Adapun contoh style bahasa filantropis yang memenuhi bidal proposisi dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 1: contoh wacana yang memenuhi bidal proposisi

No

 Wacana

1.1

Mari kita wujudkan Indonesia yang mandiri dan sejahtera, Rakyat harus terlepas dari belenggu penderitaan, kemiskinan dan ketidakadilan tanpa membedakan suku, ras dan golongan (Azhar, 2009)

1.2

Mari Berkarya Bersama Rakyat (Azhar, 2009)

1.3

Bersama Kita Bisa (Azhar, 2009)

Tiga data di atas dimasukkan dalam kategori bahasa filantropis karena memenuhi bidal proposisi. Contoh 1.1, 1.2, dan 1.3 secara jelas menunjukkan cinta kasih pada sesama (ciri 1). Contoh 1.1 menunjukkan cinta pada Indonesia dan rakyat, contoh 1.2 menunjukkan cinta pada karya, kebersamaan dan rakyat, dan nomor 1.3, cinta pada kebersamaan. Contoh 1.1, 1.2, dan 1.3 memiliki proposisi bersama yaitu perubahan untuk Indonesia dan rakyat, kerja untuk rakyat, dan kebersamaan untuk melakukan sesuatu. Contoh 1.1, 1.2, 1.3 juga memenuhi bidal proposisi ciri 2 karena topik Indonesia, rakyat dan kebersaman adalah topik yang menjadi milik bersama dan bukan milik perorangan. Contoh 1.1, 1.2, 1.3 memenuhi ciri 3 yaitu  karena ketiga wacana di atas mengajak pada persahabatan bukan perpecahan. Ketiga contoh di atas juga  memenuhi bidal proposisi ciri 4 karena tidak menyerang muka orang lain dan tidak membuat marah. Ketiga contoh di atas memenuhi bidal proposisi ciri 5 karena mengajak pada perubahan masyarakat untuk menjadi lebih baik, tetapi tidak bersifat agresif karena tidak menyerang siapapun. Ketiga contoh di atas memenuhi bidal proposisi ciri 6 karena ketiganya memberikan harapan pada orang lain berupa perubahan dan perbaikan kondisi di masa yang akan datang.

Bidal kedua adalah bidal afeksi. Afeksi dalam konteks ini dimaknai sebagai respon pembaca atau pendengar bahasa filantropi berupa perasaan nyaman tenang dan bahagia.  Setidaknya terdapat tiga ciri yang berada dalam ruang lingkup bidal ini yaitu pembaca merespon wacana dengan: (1) menuruti proposisi untuk bersikap positif, (2) menuruti proposisi untuk tidak bersikap negatif, dan (3) tidak melakukan apa-apa untuk menghindari sikap agresif dan negatif.

Adapun contoh wacana yang memenuhi bidal afeksi beserta ciri-cirinya dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 2: contoh wacana yang memenuhi bidal afeksi (juga proposisi)

No

Bentuk Wavaca yang Bermodi Filantropis

2.1

Menjelang pagi dan malam Tuhan membuka dan menutup jendela  bumi. . . kemudian, TUHAN melihatku, lalu bertanya . . . Apa  yang engkau inginkan? Kemudian,  akupun menjawab, SAYANGI  orang yang membaca tulisan ini  selamanya, AMIN (Sulistyaningtyas,  2009)

2.2

Impianmu impianku impian kita  Bersama (Sulistyaningtyas,  2009)

2.3

Bersih itu damai (Sulistyaningtyas,  2009)

Tiga data di atas dimasukkan dalam style bahasa filantropis karena memenuhi bidal afeksi. Contoh 2.1, 2.2, dan 2.3 secara jelas bagi para pembaca memberikan perasaan nyaman. Contoh 2.1 memberikan perasaan nyaman karena pembaca merasa di sayangi oleh pembuat wacana. Contoh 2.2 memberikan perasaan nyaman pada para pembaca karena pembuat wacana menganggap para pembaca adalah teman yang memiliki mimpi yang sama. Contoh 2.3 memberikan perasaan nyaman karena pembaca merasa bahwa meskipun ada kegiatan bersih-besih, tapi bersih-bersih yang dimaksud masih berada dalam koridor damai.

Kekhasan Leksikal dan Struktural Bahasa Filantropis

Selain memiliki bidal, bahasa filantropi juga memiliki kecendrungan bentuk yang khas yaitu pernyataan dan ajakan (baik itu afirmatif maupun negatif). Meskipun demikian, konstruksi kalimat imperatif maupun interogatif dapat juga mengandung filantropi asalkan proposisinya juga mencirikan filantropi.

Bahasa filantropis memiliki kekhasan secara leksikal. Konstruksi bahasa ini, selain dikenali lewat pematuhan terhadap bidal-bidalnya, juga dikenali melalui pilihan leksikalnya. Leksikal-leksikal seperti contoh: cinta, sayang, damai, sejahtera, tentram, kebersamaan, kebenaran, persamaan, persahabatan, kebahagiaan, kemakmuran, persatuan, untuk manusia, untuk kedamaian, persamaan derajat, dan masih banyak lainnya adalah penanda dari bahasa filantropis. Selain itu, pronomina seperti kita, kita semua, anda dan saya, juga banyak dijumpai dalam konstruksi bahasa filantropis.

Struktur bahasa filantropis juga memiliki satu ciri struktural yaitu “pelanggaran kaidah-kaidah tatabahasa untuk menghindari mengatakan sesuatu yang kejam sama kepada orang lain”. Adapun contoh struktur style bahasa filantropis khas dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 3: contoh wacana yang memenuhi bidal modi (juga proposisi)

No

Bentuk Wavaca yang Bermodi Filantropis

Bentuk Wavaca Tanpa Modi Filantropis

3.1

Jika orang benar bertambah (tidak menyebutkan nama), bersukacitalah rakyat. Jika orang fasik memerintah (tidak menyebutkan nama) berdukacitalah rakyat (Azhar, 2009) Jika orang benar bertambah (seperti Bapak A), bersukacitalah rakyat. Jika orang fasik memerintah (seperti bapak B) berdukacitalah rakyat

3.2

Jangan lihat orangnya, lihat yang telah

diperbuat (Sulistyaningtyas,  2009)

Jangan lihat orangnya (yaitu bapak/ibu A), lihat yang telah diperbuat  (melakukan A atau B)

Bentuk satuan lingual di atas adalah kalimat (contoh 3.1) atau gabungan kalimat (3.2). Dua wacana di atas sedikit melanggar tata bahasa (kaidah semantis bahkan pragmatis) karena tidak menyebutkan nama sehingga terkesan samar siapa yang dimaksud. Pelanggaran ini bertujuan untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan dan membuat perpecahan. Pada 3.1, pada satuan lingual “Jika orang benar bertambah, bersukacitalah rakyat” terjadi fenomena “divertis” yaitu penghindaran penyebutan secara langsung nama orang yang benar. Jika disebutkan, kesan yang akan timbul adalah kesan negatif (sombong, congkak, sok) baik pada yang disebut, maupun pada yang tidak disebut. Demikian juga pada satuan lingual “Jika orang fasik memerintah, berdukacitalah rakyat” juga tidak disebutkan nama persona yang memiliki sifat fasik. Jika disebutkan, tentu saja akan membuat orang yang tersebut akan tersinggung. Demikian juga pada 3.2 pada satuan lingual “jangan lihat orangnya, lihat yang telah diperbuat” juga berusaha menghindarkan diri/mendivert nama persona untuk menghindari efek negatif. Demikian juga penghindaran dari penyebutan hal-hal baik yang telah diperbuat seseorang juga meminimalisir efek negatif ini.

Aplikasi Konstruksi Bahasa Filantropis pada Wacana Lain

Teori Style Bahasa Filantropis pada bagian sebelumnya di atas (sesuai dengan batasan kajian artikel) ini difokuskan pada data-data yang berhubungan dengan wacana politik. Dari paparan di atas, teori style bahasa filantropis dapat diterapkan (applicable) pada konteks ini. Pertanyaan lebih jauh adalah, apakah teori ini dapat digunakan untuk menganalisis bentuk wacana jenis lainnya?

Pada praktiknya, ternyata teori bahasa filantropis ini dapat digunakan juga untuk membedakan wacana, seperti pada empat wacana lirik lagu pada tabel 4 berikut. Pada tabel tersebut dapat dilihat empat lirik lagu. Dua lirik lagu menggunakan style bahasa filantropis (karena memenuhi dua bidal filantropis) sedangkan dua lirik lagu lainnya tidak mengandung style bahasa filantropis dan karenanya tidak dapat dikatakan sebagai wacana yang berbahasa filantropis.

Tabel 4: perbandingan lirik lagu filantropis dan nonfilantropis

No

Lirik Filantropis

Lirik Nonfilantropis

4.1

(a)

heal the world, make it a better place, for you and for me, and the entire human race, there are people dying, if you care enough, for the living, make a better place, for you and for me (sumber:, http://lirikdansair.blogspot.com)

Terjemahan bebas:

(sembuhkan dunia, jadikanlah dunia tempat yang lebih baik, untuk mu dan untukku dan untuk seluruh ras manusia, ada banyak manusia sedang sekarat kamu perduli pada kehidupan manusia, jadikan dunia tempat yang lebih baik, untuk mu dan untukku)

(b)

Dirty Diana, nah, Dirty Diana, nah, Dirty Diana, no, Dirty Diana, Let me be! Sumber: (http://www.rizkyonline.com)

Terjemahan bebas:

Diana yang kotor, nah, diana yang kotor, Diana yang kotor, nah, Diana yang kotor, nah, biarkan aku menjadi..

 

4.2

(c)

(’cause we all live under the same sun, We all walk under the same moon, Then why, why can’t we live as one) (http://lirik.kapanlagi.com)

Terjemahan bebas:

(Karena kita semua hidup dibawah mentari yang sama, kita semua, berjalan di bawah bumi yang sama, lantas mengapa, kita tidak dapat bersatu)

 

(d)

(Here I am, Will you send me an angel, Here I am, In the land of the morning star) (http://lirik.kapanlagi.com)

Terjemahan bebas:

(Disinilah aku, akankah kau kirim padaku seorang malaikat, disinilah aku, di daerah tempat bintang pagi berasal)

Contoh 4.1 (a) dan 4.1 (b) adalah refrain dari dua lagu michael Jackson (4.1 (a) heal the world, 4.1 (b) dirty Diana). Kedua refrain lagu tersebut meskipun merupakan refrain lagu Michael Jackson tetapi berstyle berbeda. 4.1 (a) mengandung bahasa filantropis sedangkan 4.1 (b) tidak. 4.1 (a) memenuhi bidal proposisi. Demikian juga 4.2 (c) dan 4.2 (d). Dua wacana tersebut adalah refrain dari lagu yang dinyanyikan grup musik Scorpion. Meskipun dari grup yang sama, tapi style bahasanya berbeda. Pada 4.2 (c) mengandung bahasa filantropis sedangkan 4.2 (d) tidak

Dalam konteks bidal proposisi, contoh 4.1 (a) dan 4.2 (c) menunjukkan cinta kasih pada dunia dan sesama. Dunia dan keperdulian pada sesama adalah topik yang menjadi milik bersama dan bukan milik perorangan. Wacana di atas juga mengajak pada persahabatan bukan perpecahan. Contoh 4.1 (a) dan 4.2 (c) di atas juga tidak menyerang muka orang lain dan membuat marah. Selain itu, 4.1 (a) dan 4.2 (c) mengajak pada perubahan masyarakat untuk menjadi lebih baik. 4.1 (a) dan 4.2 (c) juga memberikan harapan pada orang lain berupa perubahan  akan masa depan. Di lain pihak, 4.1 (b) dan 4.2 (d) tidak mengandung bidal-bidal filantropis. 4.1 (b) dan 4.2 (c) tidak mengandung ungkapan cinta pada dunia dan sesama. Dua wacana inipun bersifat pribadi karena menggunakan pronomina “aku (me dan I) ” sebagai subjek kalimatnya, dan proposisi yang dibahaspun bersifat pribadi yaitu masalah “I” dan bukan masalah bersama. Meskipun tidak menyerang muka orang lain, tapi wacana ini juga tidak memberikan harapan pada perubahan yang lebih baik.

Dalam konteks bidal afeksi, contoh 4.1 (a) dan 4.2 (c) memberikan perasaan nyaman karena pembaca merasa diajak untuk memperbaiki masa depan baik itu memperbaiki dunia maupun memperbaiki persahabatan. Contoh 4.1 (a) dan 4.2 (c) juga memberikan perasaan nyaman pada para pembaca karena pembaca merasa bahwa pembuat wacana perduli pada masalah dunia yang juga merupakan masalahnya yaitu kedamaian, perbaikan dunia dan persahabatan. Sedangkan pada 4.1 (b) dan 4.2 (d), dua wacana ini tidak mengandung bidal afektif karena meskipun tidak merasa terancam, tapi pembaca juga tidak merasa nyaman karena tidak dilibatkan pada topik yang dibicarakan.

SIMPULAN

Filantropi adalah ”style bahasa yang  menunjukkan ungkapan cinta kasih kepada sesama manusia.” Ada dua bidal dari style bahasa filantropi yang dapat membedakan satu wacana dengan wacana yang lain yaitu, bidal proposisi (isi), dan bidal afeksi (pengaruh).  Bidal proposisi memiliki enam ciri yaitu: (1) tunjukkan perasaan cinta dan kasih sayang, (2) tunjukkan subjek yang dibahas sebagai milik bersama, (3) persepsikan pembuat serta pembaca wacana adalah bersaudara, (4) jangan serang muka orang lain sehingga bahasa filantropis tidak akan menyakiti perasaan orang lain, (5) masukkan ajakan pembaharuan tapi bentuk ajakan tidak melanggar bidal 1, 2, 3, dan 4. (6) berikan sesuatu kepada orang lain (dermawan) meskipun itu hanya berupa sebuah harapan. Bidal afeksi memiliki tiga ciri yang berada dalam ruang lingkup bidal ini yaitu bidal memberikan perasaan nyaman karena: (1) menuruti proposisi untuk bersikap positif, (2) menuruti proposisi untuk tidak bersikap negatif, dan (3) tidak melakukan apa-apa untuk menghindari sikap negatif.

Bahasa filantropis memiliki kekhasan secara leksikal. Konstruksi bahasa ini, selain dikenali lewat pematuhan terhadap bidal-bidalnya, juga dikenali melalui pilihan leksikalnya. Leksikal-leksikal seperti contoh: cinta, sayang, damai, sejahtera, tentram, kebersamaan, kebenaran, persamaan, persahabatan, kebahagiaan, kemakmuran, persatuan, untuk manusia, untuk kedamaian, persamaan derajat, dan masih banyak lainnya adalah penanda dari bahasa filantropis. Selain itu, pronomina seperti kita, kita semua, anda dan saya, juga banyak dijumpai dalam konstruksi bahasa filantropis.  Selain memiliki leksikal yang khas, bahasa filantropis juga memiliki struktur yang khas. Struktur style bahasa filantropis memiliki satu ciri yang harus dipenuhi yaitu “langgarlah kaidah-kaidah tatabahasa segera daripada mengatakan sesuatu yang kejam sama sekali kepada orang lain”.

REFERENSI

Amabile, Laurel. 2012. Teaching Philanthropy To Children And Youth: A Resource for Unitarian Universalist Religious Educators. www.uua.org/documents/stew-dev/apf/teaching_philanthropy.doc

Azhar, Iqbal Nurul. (2008) Political Language Used by Female Candidate in the Campaign for East Java Governor Election 2008” dalam Prosiding berjudul  GENDER DAN POLITIK. Jogjakarta: Pusat Studi Wanita Universitas  Gajahmada dan penerbit Tiara Wacana.

Azhar, Iqbal Nurul. (2009) Bahasa Jargon Calon Legislatif 2009 dalam Face Book dalam prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 7: Tingkat Internasional. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atmajaya.

Bhatia, V. K. 1997. Discourse of philanthropic fund-raising. Written discourse in philanthropic fund raising. Issues of language and rhetoric (pp. 27-44). Indiana University Center on Philanthropy. Working Papers, 98-13. Indianapolis, IN.

Bhatia, V. K. 1998. Generic patterns in fundraising discourse. New Directions for Philanthropic Fundraising, 22, 95-110.

Connor, U. 1997. Comparing research and not-for-profit grant proposals. Written discourse in philanthropic fund raising. Issues of language and rhetoric (pp. 45-64). Indiana University Center on Philanthropy. Working Papers, 98-13. Indianapolis, IN.

Connor, U. & Wagner, L. 1998. Language use in grant proposals by nonprofits: Spanish and English. New Directions for Philanthropic Fundraising: Understanding and Improving the Language of Fundraising, 22, 59-73.

Crismore, A. 1997. Visual rhetoric in an Indiana University Foundation “Annual Report.” Written discourse in philanthropic fund raising. Issues of language and rhetoric (pp. 64-100). Indiana University Center on Philanthropy. Working Papers, 98-13. Indianapolis, IN.

Frumpkin, P. (2003). Inside venture philanthropy. Society, 40(4), 7-15.

Fusari, Sabrina. (2005). “Philanthropic Direct Mail in An English-Italian Perspective”. Paper presented at the seminar Research on Fundraising Letters: Focus on Research Methods, World Conference of the International Association of Applied Linguistics (AILA 2005), Madison, Wisconsin, 25 July 2005.

Fusari, Sabrina. 2006. The Discourse Of Philanthropy in Italy And The United States:A Case Study Of Interparadigmatic Translation. University of Bologna at Forl Italy. http://www.immi.se/jicc/index.php/jicc/article/view/81/50

http://lirikdansair.blogspot.com/2009/07/michael-jackson-heal-word.html

http://lirik.kapanlagi.com/artis/scorpions/under_the_same_sun

http://www.rizkyonline.com/barat/michael-jackson/dirty-diana-lyrics.html#ixzz2VrJp9o8a

Klik untuk mengakses BAB%20II_Bappenas_Final1.pdf

Lauer, J. 1997. Fundraising letters. Written discourse in philanthropic fund raising. Issues of language and rhetoric (pp. 101-108). Indiana University Center on Philanthropy. Working Papers, 98-13. Indianapolis, IN.

McCagg, P. 1997. Metaphorical morality and the discourse of philanthropy. Writtendiscourse in philanthropic fund raising. Issues of language and rhetoric (pp. 109-120). Indiana University Center on Philanthropy. Working Papers, 98-13. Indianapolis, IN.

Myers, G. 1997. Wednesday morning and the millenium: Notes on time in fund-raising texts. Written discourse in philanthropic fund raising. Issues of language and rhetoric (pp. 121-134). Indiana University Center on Philanthropy. Working Papers, 98-13. Indianapolis, IN.

Payton, R. L., Rosso, H. A., & Tempel, E. R. (1991). Toward a philosophy of fund raising. In D. E. Burlingame & L. J. Hulse (Eds.), Taking fundraising seriously: Advancing the profession and practice of raising money (pp. 3-17). San Francisco: Jossey-Bass.

Sulistyaningtyas, Tri.  Bahasa Indonesia dalam Wacana Propaganda Politik Kampanye Pemilu 200. Satu Kajian Sosiopragmatik  Jurnal Sosioteknologi Edisi 17 Tahun 8. Agustus 2009

Sudaryanto (2001), Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta. Duta Wacana University Press.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: