Disiapkan Oleh: Iqbal Nurul Azhar
Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) mengacu pada situasi di mana orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda bertemu satu sama lain dalam sebuak kontak komunikasi. Meskipun beberapa pakar membedakan Komunikasi antarbudaya dengan komunikasi lintas budaya (yaitu studi perbandingan pola komunikasi dalam budaya yang berbeda), namun akhir-akhir ini, semakin banyak pakar yang menggunakan istilah ‘komunikasi antarbudaya’ sebagai istilah umum untuk memasukkan tidak hanya interaksi antara orang-orang dari budaya yang berbeda namun juga studi komparatif pola komunikasi lintas budaya. Dengan demikian, Komunikasi antarbudaya oleh pakar dimasa sekarang mulai dianggap sebagai paying yang tidak hanya menaungi kajian tentang kmunikasi antarbudaya sendiri namun juga komunikasi lintas budaya.
Pendekatan-pendekatan Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya merupakan domain yang cukup luas untuk dikaji. Para pakar percaya bahwa tidak akan mudah memahami segala bentuk aktivitas komunikasi antarbudaya hanya melalui satu perspektif saja. Oleh sebab itu, para pakarpun kemudian mencoba bersikap realistis dan berinisiatif untuk menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam rangka lebih memahami domain besar ini. Berikut ini adalah beberapa pendekatan yang banyak dilakukan pakar untuk lebih memamahi esensi dari komunkasi antarbudaya.
Pendekatan Nilai Budaya. Pendekatan pertama adalah Pendekatan Nilai Budaya. Beberapa psikolog telah mengusulkan sejumlah nilai budaya dalam upaya mereka untuk mengkategorikan serta membedakan budaya nasional dan budaya etnis. Salah satu dari model pendekatan nilai budaya yang banyak dikutip msayarakat adalah model lima dimensi budaya yang diusulkan oleh Hofstede (2001). Adapun kelima dimensi budaya tersebut adalah: 1) individualisme vs kolektivisme; 2) jarak kuasa tinggi vs dan jarak kuasa rendah; 3) maskulinitas vs feminitas; 4) penghindaran ketidakpastian yang tinggi vs rendah; dan 5) orientasi jangka panjang vs jangka pendek.
Nilai-nilai budaya memiliki pengaruh yang menentukan terhadap gaya komunikasi individu. Orang-orang yang berasal dari masyarakat yang memiliki budaya individualistis yang tinggi sering dijumpai memiliki gaya komunikasi verbal eksplisit atau langsung. Keinginan, kebutuhan dan hasrat orang-orang ini, disampaikan melalui moda pesan lisan. Sebaliknya, orang-orang yang berasal dari masyarakat yang memiliki budaya kolektivistik, cenderung berkomunikasi secara tidak langsung di dalam kelompok itu sendiri. Mereka juga lebih memanfaatkan media tulis dalam menyampaikan keinginan mereka.
Para pakar yang menggunakan pendekatan ini dalam mendekati domain komunikasi antarbudaya, memiliki kesamaan pandangan bahwa keharmonisan dan kerja sama antarpribadi adalah tujuan penting dari komunikasi. Meskipun pendekatan ini telah sangat dikenal masyarakat akademisi, namun pendekatan ini juga tidak dapat lepas dari kritik. Salah satu kritik terhadap pendekatan nilai budaya ini adalah pandangan ini dinilai sangat esensialis dan terlalu umum tentang budaya, yaitu, anggota kelompok budaya diperlakukan sama. Pandangan ini juga dinilai sangat homogeny karena berbagi karakteristik komunikasi masyarakat dapat ditentukan apa pun konteksnya. Padahal menurut pandangan banyak pakar, komunikasi manusia itu adalah unik dan dinamis, yang menyebabkan setiap saat, cara manusia berkomunikasi pasti akan berubah berdasarkan konteks dan situasinya.
Pendekatan Komunikasi Antar Budaya sebagai Komunikasi Antar Pribadi dan Antar Kelompok. Beberapa pakar mengalihkan perhatian mereka dari pendekatan nilai budaya kepada proses komunikasi antarbudaya yang dibawa pada teori-teori komunikasi umum tentang interaksi antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Mereka menganggap bahwa komunikasi antarbudaya merupakan kasus khusus dari komunikasi antarpribadi dan antarkelompok, dan dengan demikian mereka mencoba untuk mendekati domain komunikasi antarbudaya melalui pendekatan ilmu komunikasi. Melalui pendekatan ini, mereka kemudian berusaha untuk bersikap fokus dengan mengkaji beberapa hal yang spesifik dalam dunia komunikasi seperti adaptasi budaya, efektivitas dan kompetensi komunikatif, manajemen konflik dan manajemen kecemasan/ketidakpastian hingga teori akomodasi komunikasi, negosiasi dan manajemen identitas, dan keragaman budaya dan etika antarbudaya.
Pendekatan Wacana untuk Komunikasi Antarbudaya. Pendekatan wacana memberikan perhatian penuh pada proses investigasi mendalam dan sistematis tentang interaksi baik dalam situasi Komunikasi antarbudaya atau dari perspektif komparatif dengan metode yang tidak dapat dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Para pakar yang aktif menggunakan pendekatan ini melakukan sejumlah penelitian yang berfokus pada aspek-aspek penggunaan bahasa yang mungkin berbeda antar satu budaya ke budaya yang lain, antar bahasa ke bahasa yang lain, misalnya istilah panggilan yang berbeda, turn-taking, penanda wacana, manajemen topik, dan tindak tutur, permintaan maaf, salam, penolakan, dan sebagainya.
Pembelajaran Antarbudaya dan Kompetensi Komunikatif Antarbudaya. Sejak 1950-an, telah muncul sejumlah peneliti yang sangat tertarik untuk mengeksplorasi cara-cara di mana Kompetensi Komunikatif Antarbudaya, yaitu kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan tepat dalam pertemuan antar budaya, dapat lebih efektif dikembangkan. Para peneliti ini membuat kajian terhadap domain komunikasi antarbudaya menjadi makin berwarna.
Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Pendekatan selanjutnya untuk lebih memahami komunikasi antarbudaya adalah melalui pembelajaran dan pengajaran bahasa. Pendekatan ini dilakukan karena munculnya keyakinan dari para pakar bahwa seseorang tidak dapat menjadi pengguna bahasa kedua yang kompeten tanpa memiliki pengetahuan yang baik tentang budaya L2. Oleh sebab itulah, maka pengetahuan tentang budaya L2 mutlak dimiliki agar komunikasi antarbudaya dapat menjadi lancar.
Pendekatan ini juga diambil sebagai langkah antisipatif terhadap kemungkinan adanya ekses negatif dari komunikasi antarbudaya. Ada banyak keyakinan yang menyebet bahwa begitu seseorang mulai mempelajari bahasa dan budaya baru, bahasa dan budaya baru tersebut akan berdampak pada bahasa dan budaya pertama si pembelajar. Oleh sebab itulah, hal-hal ini harus diketahui dan diantisipasi.
Komunikasi Antarbudaya dalam Konteks. Para peneliti yang tertarik pada pendekatan ini sangat menggandrungi kajian yang berhubungan dengan pertemuan antarbudaya dalam konteks yang berbeda, seperti bisnis, politik, hukum, media, kesehatan, tempat kerja, pertemuan layanan, pernikahan, pariwisata, pendidikan, Internet, dan sebagainya serta dalam dalam genre-genre yang variatif seperti obrolan ringan, rapat, menelepon, humor, lamaran kerja, penulisan bisnis, dan sebagainya. Pndekatan ini makin popular mengingat beberapa tahun terakhir telah terlihat adanya peningkatan jumlah penelitian yang meneliti komunikasi antarbudaya yang berhubungan dengan praktik multibahasa dan praktik transbahasa (translanguaging).
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya
Usaha untuk melakukan komunikasi antarbudaya tidak selamanya berjalan sukses. Terkadang, usaha-usaha tersebut berujung pada kegagalan yang pada akhirnya menimbulkan trauma komunikasi. Kegagalan-kegagalan ini kebanyakan muncul karena masyarakat seringkali mengabaikan beberapa factor yang menjadi pemicu dari munculnya penghambat komunikasi antarbudaya.
Norma Interaksi yang Berbeda. Budaya yang berbeda tentu saja memiliki aturan yang berhubungan dengan cara berinteraksi, serta nilai-nilai yang mengatur kesesuaian dan efektivitas dalam komunikasi. Aturan, atau norma interaksi ini, mencakup isyarat paralinguistik (seperti bagaimana sesuatu dikatakan, seperti tekanan, intonasi, ritme, dll.), fitur-fitur kesopanan (seperti bagaimana mengatasi ‘keinginan terhadap wajah’ (face want) dalam percakapan) khususnya yang mengacu pada kekuasaan, jarak sosial dan keakraban, hingga aspek-aspek nonverbal percakapan (seperti keheningan, kontak mata, gerak tubuh, proksemik, dll.). Pengetahuan tentang hal-hal tersebut di atas sangatlah penting dalam rangka mendukung kelancaran komunikasi antarbudaya. Kompetensi Komunikatif Antarbudaya secara garis besar, mengacu pada kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan tepat dalam pertemuan antarbudaya
KAA terdiri atas: 1. Kesadaran dan pengetahuan budaya: informasi, pemahaman, perhatian, dan evaluasi kritis terhadap perbedaan budaya, kelompok, dan individu serta nilai, keyakinan, dan praktik diri sendiri (kesadaran diri). 2. Sikap dan motivasi: keterbukaan, rasa ingin tahu, toleransi, empati dan kesiapan untuk belajar tentang sesuatu yang berbeda dan baru, dan kemauan untuk bekerja sama. 3. Keterampilan: kemampuan untuk beroperasi di bawah batasan komunikasi dan interaksi waktu nyata. KAA bukanlah sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang, tetapi sesuatu yang dikembangkan dari waktu ke waktu melalui pengalaman antarbudaya
Perbedaan dalam Keyakinan dan Nilai. Dalam komunikasi antarbudaya, terkadang proses komunikasi menjadi lancar disebabkan karena mereka yang berkomunikasi memiliki banyak persamaan. Beruntunglah bagi mereka yang memiliki kesamaan ini karena persamaan ini akan langsung membuat komunikasi menjadi terpandu. Meskipun demikian, tidak lantas mereka yang tidak memiliki persamaan akan gagal dalam melakukan komunikasi antarbudaya. Banyak contoh kasus masyarakat yang berlatar belakang berbeda ternyata malah mampu melakukan komunikasi dengan baik dengan masyarakat lain yang berbeda yang disebabkan karena mereka memiliki pengetahuan terhadap perbedaan-perbedaan yang mungkin akan terjadi dalam komunikasi serta kebijaksanaan dalam memandang perbedaan-perbedaan tersebut. Kebijaksanaan dalam berkomunikasi yang akan menyebabkan proses komunikasi berjalan dengan lancar.
Kemampuan Bahasa. Dalam komunikasi antarbudaya, seringkali kita jumpai para komunikan (orang yang berkomunikasi), menggunakan bahasa lain selain bahasa ibu mereka. Mereka sering dijumpai menggunakan bahasa lingua franca, atau bahasa internasional. Pengetahuan bahasa penjembatan ini sangat penting mengingat dengan menguasai bahasa tersebut, komunikan dapat mengungkapkan apa yang ada dalam benak dan hati mereka dengan mudah. Tanpa penguasaan bahasa ini, komunikan akan menjumpai hambatan untuk berbicara secara lancer. Selain itu, bisa jadi lawan bicara dapat salah paham dengan apa yang disampaikan oleh komunikan.
Pengetahuan yang Berbeda. Setiap orang pasti memiliki pengetahuan dan pengalaman berbeda dalam menjalani hidup, dan terkadang, pengetahuan ini dapat mempengaruhi sukses tidaknya komunikasi antar budaya seseorang.Seseorang yang telah terbiasa dan memiliki pengalaman berkomunikasi lintas budaya, pastinya akan lebih memiliki kesiapan untuk menghadapi komunikasi lintas budaya yang lain. Pengetahuan yang telah dipelajari ini dikumpulkan dan disimpan dalam ingatan. Pengetahuan ini sangat membantu untuk mengantisipasi dan menafsirkan sebuah peristiwa sosial, situasi dan kondisi yang unik, serta kepribadian orang lain. Pengetahuan ini dapat membimbing para komunikan untuk lebih memaahami dunia dan bersikap lebih dewasa dalam berkomunikasi dengan orang-orang dengan latar belakang berbeda.
Skema Komunikasi. Kurangnya skema komunikasi yang relevan dapat mempengaruhi lancar tidaknya komunikasi antarbudaya. Ini ibarat seseorang yang ingin berangkat ke sebuah destinasi tetapi ia tidak merencanakan skema transportasi apa yang akan ia gunakan untuk mencapai destinasi tersebut. Oleh sebab itu, penting kiranya sebelum melakukan komunikasi antarbudaya untuk sedikit merencanakan skema komunikasi tersebut agar tidak tersendat di tengah jalan.
Perbedaan Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Kuantitas Informasi dalam Komunikasi
Komunikasi pada umumnya memiliki tiga level. Level pertama adalah ‘meta komunikasi’ yang mencakup apakah yang akan dikatakan, siapakah yang berbicara, kapan dan dimana harus berbicara, dan bagaimana caranya bergiliran ketika berbicara. Level kedua adalah ‘meta pragmatik’, yang mencakup ‘wilayah informasi’ (yaitu siapa di antara pembicara dan pendengar, tahu lebih banyak tentang informasi) dan untuk mengakui perbedaan melalui ekspresi yang disampaikan melalui modalitas yang berbeda (yaitu unsur-unsur gramatikal dalam bahasa yang merinci sumber informasi seperti yang diberitakan).
Gudykunst dan Ting-Toomey (1988) mengusulkan empat gaya komunikasi verbal yaitu 1) langsung vs tidak langsung; 2) rumit vs ringkas; 3) pribadi vs kontekstual, dan 4) instrumental vs afektif. Lebih jauh mereka juga menyampaikan bahwa berdasarkan budaya yang dimiliki masyarakat, masyarakat memiliki perbedaan dalam tingkat keterusterangan untuk mengungkapkan niat dan ide mereka melalui komunikasi. Mereka juga dapat berbeda dalam kuantitas dan volume bicara. Selain itu, gaya komunikasi pribadi vs. kontekstual mampu membedakan sejauh mana penekanan peran, status sosial, dan hubungan antar pembicara. Lebih lanjut, Gudykunst dan Ting-Toomey menyampaikan bahwa gaya instrumental vs afektif memiliki perbedaan dalam tujuan komunikasi.
Aliran informasi dapat terjadi dengan cara yang berbeda dalam komunikasi sebuah bahasa. Dalam komunikasi bisnis berbahasa Inggris, orang cenderung mengutamakan informasi yang paling penting dan meninggalkan informasi yang paling tidak penting terakhir dalam bentuk piramida terbalik.
Meningkatkan Pengalaman Komunikasi Antarbudaya
Pengalaman antar budaya dapat meningkatkan pengetahuan komunikan tentang budaya lawan bicaranya/budaya dimana ia tinggal ditempat baru, meningkatkan kefasihan dalam bahasa negara tuan rumah, mengurangi kecemasan dalam berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda, serta mengembangkan kepekaan. Untuk meningkatkan pengalaman ini, ada banyak cara yang bisa dilakukan seseorang saat mereka berada dalam lingkungan dan kehidupan budaya yang baru.
Belajar Budaya Melalui Kontak. Efek positif dari kontak antarkelompok membutuhkan empat kondisi utama: status kelompok yang setara dalam situasi tersebut; tujuan bersama; kerjasama antarkelompok; dan dukungan otoritas
Belajar Budaya Melalui Akulturasi. Akulturasi menggambarkan proses dimana seseorang yang baru mengenal suatu budaya belajar untuk beradaptasi dengan budaya tuan rumah. Beberapa orang mengalami reaksi negatif, yang disebut sebagai ‘keterkejutan budaya’ (cultural schock) yaitu perasaan cemas atau kehilangan yang biasa muncul saat kita hidup dalam lingkungan budaya baru.
Belajar Budaya sebagai Sarana Sosialisasi dan Pembuatan Identitas. Mempelajari budaya baru erat kaitannya dengan belajar bersosialisasi dengan masyarakat di budaya baru, belajar mempelajari bagaimana hal-hal tertentu dilakukan dalam budaya tuan rumah, serta belajar mengembangkan dan membangun identitas sosial seseorang dalam ruang budaya barus. Belajar berbicara dengan menggunakan bahasa asing tidak hanya tentang belajar menyusun kalimat-kalimat yang benar secara tata bahasa. Kegiatan ini juga mencakup hal-hal apa yang harus dikatakan dengan cara yang sesuai dalam perspektif budaya bahasa asing tersebut, serta proses pengembangan dan pembanguna identitas sosiokultural baru.
Sumber-sumber:
Gudykunst, W. B., Ting-Toomey, S., & Chua, E. (1988). Culture and interpersonal communication. Sage Publications, Inc.
Hofstede, G. (2001), Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations, 2nd ed. Sage, Thousand Oaks, CA.