Mozaik Caréta Dâri Madhurâ: Jokotole, Legenda Dari Madura

Oleh: Iqbal Nurul Azhar

Kisah ini diambil dari buku Mozaik Caréta Dâri Madhurâ dengan penulis: Iqbal Nurul Azhar, Hani’ah dan Erika Citra Sari H, yang terbit di Kota Malang, 2018 dengan penerbit Intelegensia Media, ISBN: 978-602-5562-80-8. Adapun buku tersebut telah tercatat di Dirjen HKI dengan hak kekayaan intelektual jatuh kepada tiga penulis tersebut dengan nomor dan tanggal permohonan HKI: EC00201933330, 20 Maret 2019, serta Nomor perncataatan adalah 000137926

Setelah Arya Wiraraja meninggalkan Sumenep untuk menjadi raja di kerajaan Lumajang Tigang Juru, serta anaknya yang bernama Ronggolawe yang tidak tertarik menjadi penguasa Madura pindah ke Tuban, menjadi bupati dari kota yang memiliki pelabuhan utama Jawa Timur saat itu, daerah paling timur pulau Madura itu mengalami kemunduran.

Kekuasaan Sumenep lantas diserahkan pada saudara Arya Wiraraja yang bernama  Arya Bangah. Keratonnyapun pindah dari Batuputih ke Banasare, masih di wilayah Sumenep. Arya Bangah selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Lembu Suranggana Danurwendo dan keratonnyapun pindah ke Desa Tanjung. Kekuasaan selanjutnya diganti oleh anak Arya Lembu Suranggana Danurwendo, yang bernama Arya Araspati, yang selanjutnya diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. Dari Panembahan Djoharsari, selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu dan adiknya yang bernama Pangeran Baragung.

Kraton yang ditinggalkan Panembahan Djoharsari di Madura dipecah menjadi dua untuk dua orang puteranya. Satu bagian yaitu kraton Bukabu, diserahkan kepada Pangeran Notoprojo, yang kemudian pangeran ini dikenal sebagai Pangeran Bukabu. Sedangkan bagian yang lain yaitu kraton Baragung, diserahkan kepada puteranya yang lain yaitu Pangeran Notoningrat yang kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Baragung.

Pangeran Baragung mempunyai seorang puteri bernama Endangkilangen. Puteri Endangkilangen ini kemudian mempunyai seorang putera bernama Wagungru’yat. Setelah Wagungru’yat dinobatkan jadi raja, kratonnya pindah  ke Bânasarè dan Wagungru’yat kemudian diberi gelar Raja Seccaadiningrat.

Raja Seccaadiningrat ini kemudian menikah dengan puteri Pangeran Bukabu yang bernama Dewi Sarini. Dari pernikahannya ini, raja ini dikaruniai seorang putri bernama Dewi Saini yang lebih dikenal sebagai Raden Ayu Potre Koneng karena kecantikannya yang luar biasa dan kulitnya yang kuning halus.

Sejak kecil, Potre Koneng memiliki sikap yang baik. Ia rajin beribadah pada Yang Maha Kuasa tanpa ketinggalan sekalipun. Setelah dewasa, Sang Permaisuri meminta putrinya yang cantik untuk menikah. Ia memperbolehkan putrinya untuk menikah dengan siapa saja yang ia sukai asalkan calon dari putrinya itu memiliki sifat dan karakter yang baik, minimal setara tingkatannya dengan Sang Putri. Namun sayangnya, permintaan Sang Permaisuri ditolak oleh Sang Putri.  Ia menolak karena ia ingin berbakti pada Tuhan terlebih dahulu. Jika ia merasa Tuhan mengijinkannya menikah, maka Potre Koneng akan dengan senang hati menerima permintaan tersebut.

Setelah Potre Koneng  dewasa, ia dilamar oleh Pangeran Bribin (Adipoday), putera dari penguasa di Pulau Sapudi. Namun walaupun  Potre Koneng  mau bersuamikan Pangeran Bribin tetapi ayahandanya tidak menyetujui. Karena itulah kemudian Potre Koneng berjanji untuk seterusnya tidak mau menikah. Ia menolak menikah karena beralasan ingin berbakti pada Tuhan terlebih dahulu. Jika ia merasa Tuhan mengijinkannya menikah, maka Potre Koneng akan dengan senang hati menerima permintaan tersebut.

Suatu ketika, Potre Koneng berpamitan pada kedua orang tuanya untuk bertapa di sebuah gua di sebuah gunung di Semenep. Kedua orang tuanya mengijinkan Potre Koneng bertapa meskipun hati mereka bersedih karena akan ditinggalkan untuk beberapa waktu oleh puteri kesayangan mereka tersebut.

Ketika bertapa, Potre Koneng ditemani oleh seorang emban bernama Toya. Hari demi hari ia lewati dengan tenang dalam pertapaannya. Pada hari ke tujuh tepatnya tanggal empat belas, Potre Koneng bermimpi. Dalam mimpinya ia berjumpa dengan seorang laki-laki pertapa yang ternyata adalah Pangeran Adipoday, putera dari penguasa di Pulau Sapudi yang dulu pernah melamarnya (versi lain menyebutkan bahwa Adipoday sebenarnya juga bertapa di gunung tersebut. Mereka berdua bisa bertapa di tempat yang sama karena ditengara, mereka berdua sebelumnya telah melakukan janji untuk bertemu. Mereka berjanji bertemu di gua tempat Potre Koneng berada dan karenanya gua itu kemudian diberi nama gua Payudan/Pajhuddan yang berarti perjodohan).

Konon dikisahkan, setelah lamaran Adipoday ditolak Raja Saccadiningrat. Adipoday memilih menghapus luka hatinya dengan cara melajang dan bertapa. Ia kemudian bertapa di Gunung Geger.  Ia memiliki seorang adik yang bernama Adirasa yang juga senang bertapa yang melakukan pertapaan di Ujung Gelagah.

Potre Koneng dan Adipoday melakukan pertapaan tingkat tinggi hingga dapat membuat keduanya bertemu di dalam mimpi. Dalam alam gaib pertapaan, hati mereka yang sempat terkait namun lepas, kemudian mendapatkan jalan untuk bersatu. Mereka melakukan hubungan perkawinan dalam mimpi.

Potre Konengpun terbangun dari mimpinya. Ia terheran-heran akan mimpinya yang terasa begitu nyata. Akibat dari mimpinya itu, Potre Koneng merasa pertapaannya tidak mungkin dapat diteruskan lagi. Ia merasa, jodohnya telah tiba. Ia lantas memutuskan kembali ke Sumenep.    

Sepulangnya dari pertapaan, perut Potre Koneng makin hari makin besar. Atas pemeriksaan tabib istana, diketahuilah bahwa Potre Koneng sedang hamil. Rajapun marah besar dan hendak menghukum mati Potre Koneng. Untungnya, emban Toya memberikan kesaksian yang membuat Potre Koneng terhindar dari hukum pati. Mendengar kesaksian ini, kemarahan Raja berangsur surut. Iapun meminta Putrinya itu disembunyikan agar tidak terlihat oleh orang banyak jika sedang hamil.

Beberapa bulan kemudian, Potre Koneng melahirkan bayi laki-laki yang tampan yang wajahnya seperti wajah Adipoday. Anehnya Potre Koneng melahirkan si bayi tanpa ari-ari dan tanpa mencucurkan darah setetespun. Potre Koneng menjadi takut akan kelahiran yang aneh ini dan menyangka bayinya akan mendatangkan keburukan pada kerajaan. Ia lantas menyuruh emban Toya membuang bayinya ke hutan. Toyapun  pergi ke hutan dan meletakkan bayi tersebut di bawah pohon dan ditutup dedaunan untuk membuat bayi itu terhindar dari panas dan hujan, serta mudah ditemukan oleh orang yang lewat.

Bayi tak berdaya itu  ditemukan oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng  yang tinggal di Bluto. Pandai besi ini, lama hidup berumah tangga dengan istrinya yang berasal dari lereng gunung Dieng, tapi belum dikaruniai keturunan. Dikisahkan bahwa Empu Kelleng memiliki lima belas ekor kerbau. Karena banyaknya kerbau di sekitar rumahnya, daerah tempat Empu Kelleng berada disebut Pekandangan. Kelak, Pekandangan akan menjadi nama sebuah desa untuk merujuk pada tempat yang ditingggali Empu Kelleng. Empu Kellengpun mendapatkan julukan empu Pekandangan.

Empu Kelleng dapat bertemu dengan bayi Potre Koneng karena salah satu kerbaunya sering tidak kembali dari hutan kecuali pada waktu malam. Kerbau itupun secara aneh juga bertambah kurus. Khawatir akan kondisi kerbaunya, Empu Kelleng menyusul ke hutan dan menjumpai  bahwa ternyata si kerbau sering terlambat pulang karena menjaga seorang bayi dan menyusuinya setiap hari (versi lain menyebutkan bahwa sebenarnya Empu Kelleng adalah pegawai kerajaan Sumenep yang bertugas membuat keris dan menjaga hewan-hewan peliharaan istana. Potre Koneng dan Emban Toya menitipkan bayi itu pada Empu Kelleng karena mereka merasa Empu Kelleng adalah orang yang bisa diberi amanah yang besar).

Empu Kellengpun membawa bayi itu ke rumahnya dengan perasaan gembira luar biasa. Anak itupun ia beri nama “Tole,” yang berarti anak laki-laki.  Kata Tole muncul kali pertama dari mulut istrinya yang dengan wajah bahagia memanggil bayi itu dengan sebutan “Tole”. Sejak Empu Kelleng mengangkat Tole sebagai anak, keluarga Kelleng semakin bahagia dan sejahtera.

Di lain pihak, kebahagiaan tidak kunjung menghampiri Potre Koneng. Setelah melepas bayinya pergi, Potre Koneng sangat menyesal. Tiada hari dilewati tanpa tangis dan sesal. Suatu ketika, ia bermimpi bertemu lagi dengan Adipoday. Dalam mimpinya, Potre Koneng mencurahkan segenap perasaaannya. Adipoday menghibur Potre Koneng dan menceritakan banyak kisah yang menyenangkan. Dalam kehangatan percakapan mereka, merekapun tanpa terasa hanyut dalam perasaan dan melakukan perkawinan yang kedua.

Ketika Potre Koneng terbangun, serta merta ia menangis takut peristiwa yang dulu terjadi lagi. Mendengar tangisan Potre Koneng, emban Toya merasa khawatir dan bertanya ada apa gerangan. Serta merta Potre Koneng menceritakan mimpinya serta kekhawatiran akan apa yang akan terjadi di masa datang. Benar saja, tidak berapa lama, Potre Koneng kembali hamil. Dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi ini wajahnya mirip dengan  wajah Jokotole kakaknya. Peristiwa yang samapun terjadi lagi. Bayi inipun dibuang dari istana.

Bayi inipun dibawa ke hutan untuk dibuang. Sama seperti sebelumnya, bayi ini selamat karena ditemukan oleh seorang penggembala yang bernama Kiai Pademmawu. Bayi itupun diberi nama “Wedi” atau Jokowedi atau Aguswedi.  Dengan perawatan Keluarga Pademawu, bayi Wedi tumbuh menjadi Joko (pemuda) yang cekatan dan kuat.

Waktu berjalan demikian cepat. Jokotole genap berusia enam tahun. Suatu saat Jokotole memaksa untuk ikut bekerja membantu Empo Kelleng. Empu Kelleng tidak mengijinkan karena ia tahu, anak angkatnya itu tidak bisa diam. Karena Jokotole terus merengek, Empu Kelleng akhirnya mengijinkan Jokotole. Tapi hanya sekedar mengamati saja.

Ketika Empu Kelleng dan para pekerja yang lain beristirahat, mereka lupa Jokotole kecil masih ada di situ. Jokotole yang sedari tadi mengamati pekerjaan Empu Kelleng, mulai meniru apa yang dilakukan Ayah angkatnya itu. Ia menyulut api dan membuat keris berdasarkan ingatannya terhadap apa yang dikerjakan ayahnya. Dengan ajaiban yang dimilikinya, Jokotole menggunakan lututnya sebagai alas, dan tangannya sebagi palu, jari-jarinya sebagai jepit dan kikir. Ia membuat keris dengan cara itu. Hasil dari pekerjaannya jauh lebih bagus dari buatan Empu Kelleng.

Empu Kelleng tidak menyangka kalau yang membuat itu adalah Jokotole. Ia jadi paham jika keris yang bagus itu adalah hasil kerja Jokotole saat melihat sebagian wajah Jokotole ada yang menghitam karena jelaga. Sejak saat itu, Empu Kelleng dan para pekerjanya sadar bahwa Jokotole bukanlah anak sembarangan

Berita tentang Empu Kelleng didengar oleh Prabu Wikramawardhana yang bergelar Brawijaya V (versi lain menyebut, raja yang dimaksud adalah Brawijaya VII), yang merupakan penguasa Majapahit saat itu. Waktu itu Brawijaya bermaksud membuat pintu gerbang raksasa yang terbuat dari besi untuk menggantikan gerbang lama yang terbuat dari batu dan kayu yang telah lapuk karena waktu.

Semua pandai besi yang ada di Jawa setelah bersusah payah bekerja membangun pintu yang pengerjaannya tersisa pada bagian menyambung plat besi dengan timah. Para empu menyerah karena merasa pekerjaan pintu itu terlalu berat. Timah hitam yang digunakan untuk mematri ternyata tidak kuat. Prabu Brawijaya kecewa dan memerintahkan para patihnya untuk mencari kabar tentang pandai besi yang diperkirakan akan dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Mendengar berita kemahiran Empu Kelleng, Prabu Brawijaya memerintahkan pasukannya untuk menjemput Kelleng. Empu Kelleng yang terpanggil membantu, berpamitan pada Jokotole dan istrinya. Jokotole melepas Empu Kelleng pergi. Sejak saat itu, Jokotole kecil bekerja mandiri di tempat Empu Kelleng dengan dibantu para pekerja Empu Kelleng. Ia dalam waktu singkat telah menjadi pandai besi muda yang karyanya diakui banyak orang.

Jokotole menunggu Empu Kelleng empat tahun lamanya. Selama empat tahun, Jokotole menghabiskan waktunya membantu ibu angkatnya membuat perkakas. Suatu ketika, seorang musafir datang melewati rumahnya dan bercerita tentang kondisi pembangunan pintu gerbang raksasa di Majapahit. Kata musafir itu, pembangunan itu mengalami kendala, yaitu pada proses pengelasan, bagian-bagian pintu tidak mau menyatu. Banyak pandai besi yang bekerja membangun pintu itu di sana menjadi sakit. Bahkan Empu Kelleng pun juga diketahui jatuh sakit karena kelelahan.

Khawatir akan keselamatan ayah angkatnya, Jokotole bermaksud menyusul ke Majapahit. Dengan berat hati, Nyai Kelleng mengijinkan Jokotole berangkat. Iapun berangkat  tetapi  tidak tahu jalan ke Majapahit. Di tengah perjalan, Jokotole bertemu dengan seorang pertapa yaitu Adirasa. Adirasa memiliki firasat bahwa Jokotole ini memiliki hubungan darah dengannya. Selama tiga hari, Adirasa kemudian berusaha menahan Jokotole untuk tidak melanjutkan perjalannya ke Majapahit. Ia ingin mengorek keterangan dari Jokotole lebih jauh untuk memastikan tentang firasatnya.

Melalui kontak batin dengan Adipoday yang ada di Geger, Adirasa akhirnya yakin bahwa Jokotole adalah benar-benar keponakannya. Iapun menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Jokotole. Jokotole yang terkejut, berniat untuk bertemu dengan ayah kandungnya yaitu Adipoday. Hal ini dilarang Adirasa karena ia merasa lebih baik Jokotole menolong Empu Kelleng yang telah merawat Jokotole sampai sekarang terlebih dahulu baru kemudian dipersilahkan mencari bapak kandungnya yang sedang bertapa.

Adirasa kemudian memberikan bekal kepada Jokotole berupa ilmu batiniyah dan lahiriyah. Jokotole juga diberi kembang sakti berupa mawar putih dan memerintahkan Jokotole untuk memakannya. Supaya mawar itu beraksi pada pintu besi kerajaan Majapahit, maka Jokotole terlebih dahulu harus dibakar. Dari pusarnya nanti akan keluar cairan. Cairan panas itulah yang akan digunakan sebagai patri putih perekat besi pintu kerajaan Majapahit.

Adirasa juga memberitahu Jokotole bahwa sebenarnya ia punya adik yang bernama Jokowedi. Untuk menjumpai adiknya, Jokotole diarahkan untuk berjalan sesuai arah berjalannya angin yaitu menuju ke barat. Adirasa mengatakan bahwa jika Jokotole menjumpai sebuah pohon beringin yang besar yang dapat membuat angin bersiul, maka di situlah adiknya Jokowedi berada. Jokotole melakukan apa yang diperintah Adirasa. Ia pun pergi mengikuti jalannya angin dan berhenti di depan sebuah pohon beringin besar. Pohon itu mengeluarkan bunyi seperti orang bersiul karena di beberapa bagian batangnya terdapat lubang yang cukup besar. Angin masuk ke sela-sela lubang itu dan menimbulkan bunyi seperti orang bersiul. Dengan lantang ia memanggil nama adiknya. Dua sosok manusia muncul, yang pertama adalah seorang laki-laki tua yang tak lain adalah Kiai Pademawu, dan yang kedua adalah seorang anak laki-laki yang sedikit lebih muda darinya namun memiliki wajah yang mirip, bagai pinang dibelah dua.

Jokotole bercerita pada Kiai Pademawu tentang siapa dirinya dan hubungannya dengan Jokowedi. Ia ingin mengajak Jokowedi berjalan bersamanya ke Majapahit untuk menolong Empu Kelleng dan setelahnya mencari ayah mereka yang bertapa di Geger. Ia mengijinkan dengan syarat, Jokotole harus menjaga Jokowedi baik-baik. Keduanya harus menghindar dari masalah. Setelah berpamitan dengan Kiai Pademawu mereka berangkat ke Majapahit.

Di sebuah pantai berpasir putih, mereka bertemu dengan juragan perahu yang akan menyeberangi selat Madura menuju Gersik. Mereka lantas mengungkapkan keinginannya untuk menumpang. Awalnya juragan perahu menolak karena takut dianggap sebagai lanun yang sedang menculik anak raja. Juragan itu menolak untuk mengantarkan Jokotole dan Jokowedi. Mereka berlayar dengan segera mengarungi lautan. Tapi keanehan terjadi. Perahu yang dinahkodai sang juragan itu tidak mau berlayar dan hanya dapat terombang ambing di lautan tetapi tidak dapat maju.

Si juragan bertanya-tanya mungkinkah mereka mengalami kejadian itu karena menolak sang pemuda? Untuk menjawab keheranannya, juragan tersebut akhirnya mempersilahkan kedua pemuda tadi naik ke perahunya. Setelah kedua pemuda itu naik ke perahu, perahu juragan tersebut dapat berlayar dengan baik. Melihat ini, juragan perahu menjadi paham, bahwa ternyata kedua anak yang mereka bawa bukanlah anak sembarangan.

Sesampainya di Gersik, mereka tidak langsung dapat melanjutkan perjalanan. Ini disebabkan di Gersik, mereka menjumpai pengalaman yang luar biasa yang membuat keduanya berpisah.

Dikisahkan bahwa suatu malam Raja penguasa Gresik mendengar suara gaib yang membisikkan padanya akan datang kekerajaannya dua orang pemuda belia. Suara itu memerintahkan Raja Gersik untuk mengangkat dua pemuda belia tersebut sebagai anak.

Mendengar bisikan tersebut, Raja Gersik memerintahkan patih kerajaan yang bernama Lora Karjan untuk mengecek kebenaran bisikan gaib tersebut. Dengan cepat, Lora Karjan dan para Telik Sandi segera bekerja. Dengan segera, mereka menemukan Jokotole dan Jokowedi sedang berada di bawah sebuah pohon sedang beristirahat di dekat pasar.

Patih Lora Karjan menyuruh para pengawalnya yaitu Macanrangas, Macankembang, Macankoneng, Jayakaletteng, Kebulaplap, dan Kalamentas untuk menangkap Jokotole dan Jokowedi, akan tetapi mereka berenam dikalahkan Jokotole dan Jokowedi. Mengetahui bahwa para pengawalnya yang handal tersebut dikalahkan dua pemuda tanggung, Ki Patih mulai sadar bahwa yang dihadapinya adalah dua bocah yang memiliki kelebihan. Ki Patih Lora Karjan yang cerdik akhirnya mendekati mereka berdua dengan cara halus, yaitu dengan pujian-pujian dan bujukan-bujukan sehingga mereka berdua mau diajak ke istana menghadap Raja.

Di istana, mereka berdua disambut baik. Raja Gersikpun mengutarakan keinginannya mengangkat keduanya sebagai anak. Jokowedi menerima keinginan ini, sedangkan Jokotole Jokotole menolak. Ia ingin melanjutkan perjalanan ke Majapahit untuk menyelamatkana ayah angkatnya.

Jokotolepun melanjutkan perjalanan. Tidak berapa lama kemudian ia tiba di Majapahit. Beberapa saat melangkah, sampailah Jokotole di alun-alun kerajaan Majapahit, yaitu tempat para pandai besi bekerja. Di tempat itu, Jokotole dapat bertemu dengan ayah angkatnya.

Empu Kelleng merasa terharu sekaligus bangga melihat Jokotole. Anak kecil yang selama ini diasuhnya telah menunjukkan jiwa kepahlawanan dan keberanian yang luar biasa. Ia juga mengiyakan keinginan Jokotole untuk membantunya karena ia punya firasat, Jokotole akan membawa perubahan besar pada pekerjaannya itu.

Baginda Raja suatu ketika memanggil para patih dan para pekerja pintu gerbang untuk menghadap. Jokotole ikut serta menghadap karena ia ingin melihat seperti apa wajah dari baginda Raja Brawijaya. Para Patih dan Empu yang dipanggil prabu Brawijaya berkumpul di pendapa kerajaan. Mereka menunggu cukup lama sebelum akhirnya Prabu Brawijaya datang menemui mereka. Terlihat dari wajahnya, Sang raja sedang gusar. Benar saja, ketika raja mulai membuka suara, yang keluar adalah kemarahan. Ditegurnya semua yang hadir di tempat tersebut, tidak terkecuali Empu Kelleng.

Jokotole merasa marah melihat ayah angkatnya ditegur di depan umum. Dari belakang barisan, iapun menyela perkataan raja dan mengatakan ia bisa menyelesaikan masalah itu. Prabu Brawijaya marah besar mendengar ada yang berani menyela perkataannya. Namun setelah tahu, bahwa ternyata yang berani lancang tersebut adalah anak muda yang masih belia, kemarahannya berganti keheranan.

Sebagai penghargaan atas keberaniannya mengajukan diri, Raja memberikan ijin untuk melakukan apa yang dia katakan sebelumnya. Tidak hanya itu, Jokotole juga akan diberi hadiah emas seberat tubuhnya jika kata-katanya benar. Namun jika gagal, ia akan diberi hukuman yang sangat berat yaitu kematian karena berani lancang menyela kata-kata dan bersikap sombong di hadapannya.

Jokotole menerima syarat ini. Di lain pihak, ayah angkatnya sangat khawatir pada keselamatan Jokotole. Namun apa yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa memasrahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa

Beberapa hari berlalu, waktu pembuktian Jokotolepun tiba. Pengerjaan penyambungan besi dilakukan di alun-alun kerajaan. Berita akan adanya pemuda belia yang sedang bertaruh nyawa membuat gerbang kerajaan membuat rakyat Majapahit penasaran. Mereka berbodong-bondong menuju ke alun-alun untuk melihat apa yang akan dilakukan  anak belia tersebut. Alun-alun berubah menjadi ramai. Semua pasang mata perhatiannya tertuju pada baginda Brawijaya dan si belia.

Jokotole lantas mengumpulkan para pekerja dan menceritakan apa yang akan dilakukannya dan apa yang harus mereka persiapkan. Jokotole dengan mantap mengatakan bahwa apa yang dilakukannya bukanlah suatu hal yang gila, namun sebuah metode yang baru yang dia dapatkan dari pamannya seorang pertapa yang bernama Adirasa. Setelah semuanya siap, Jokotole mulai menyalakan perapian. Api berkobar dahsyat, dan panasnya mampu menyentuh para penonton yang ada di sekitar tumpukan kayu. Para penonton berteriak ngeri melihat Jokotole dengan langkah mantap melangkah menuju api dan menempati tempat yang telah disediakan sebelumnya untuk dirinya.  Apipun menjilat tubuh Jokotole dengan segera.

Beberapa jam berlalu, api sedikit-demi sedikit mulai mengecil. Mengetahui api telah mulai padam, pekerja yang telah diberi petunjuk oleh Jokotole mulai melaksanakan tugasnya. Sisa-sisa pembakaran disingkirkan. Menyisakan tubuh legam Jokotole. Tubuh itu kemudian diangkat dengan hati-hati dan diberi alas. Mereka juga dengan segera menyiapkan alat penampung sesuai yang diperintahkan.

Dari bagian pusar sosok yang legam itu, keluarlah cairan putih keperakan yang tidak henti-hentinya mengalir. Para pekerja dengan cepat menampung cairan yang menetes itu di wadah yang disediakan. Para empu dibantu limapuluh prajurit kerajaan juga mulai beraksi. Mereka dengan sigap membawa dua lempeng besi dan mulai bergerak menyatukan dua lempeng tadi dengan cairan yang ditampung di bejana. Secara ajaib, lempeng yang semula begitu susah direkatkan kini merekat dengan sempurna. Adapun Jokotole, setelah cairan yang menetes dari pusarnya itu habis, kulit tubuhnya kembali menguning seperti sediakala, seakan-akan tidak pernah mengalami kejadian dibakar sebelumnya.

Rakyat yang melihat kejadian ajaib itu lantas bersorak sorai. Rajapun tersenyum senang. Dengan segera ia memerintahkan dua ratusan prajurit kerajaan untuk membantu para empu membawa gerbang besi dan menempatkannya di tempat yang seharusnya. Tapi gerbang itu terlalu besar dan berat untuk diangkat.

Mengetahui bahwa gerbang ternyata susah untuk diangkat, Jokotolepun beraksi kembali denan memanggil pamannya Adirasa. Adirasa datang dengan membawa seribu bala tentara jin untuk mengangkat pintu gerbang itu. Rakyat menjadi heran. Pintu gerbang yang tidak bisa diangkat dua ratus tentara ternyata bisa diangkat oleh Jokotole seorang dengan mudah. Dimata mereka, yang terlihat hanyalah Jokotole yang mengangkat pintu gerbang sendirian.

Prabu Brawijaya menepati janjinya memberikan hadiah emas seberat badan Jokotole. Tumpukan emaspun ditimbang, tapi emas-emas itu tidak pernah dapat mengimbangi berat Jokotole, padahal, tubuh pemuda itu diperkiranan berat normalnya maksimal satu karung emas. Setelah mencapai sepuluh karung berat emas belum bisa mengimbangi berat Jokotole, Raja menyuruh untuk menghentikan timbangannya itu. Jokotole diberikan sepuluh karung emas sebagai hadiah.

Setelah pintu gerbang selesai dibangun, Raja mempuyai hajat untuk merayakan berdirinya gerbang kerajaan dengan cara mengadakan pertandingan ketangkasan gulat. Sang Raja meminta Jokotole untuk mengikuti pertandingan tersebut tetapi dengan menyamar. Peserta yang mengikuti lomba ketangkasan tersebut jumlahnya cukup banyak. Rata-rata merupakan prajurit pilihan dari kesatuannya masing-masing. Diantara peserta lomba, terdapat seorang peserta yang merupakan pengawal pilihan dari seorang Patih bernama Patih Gajah. Peserta ini berwajah besar dan sangar. Ketika peserta ini bertanding melawan peserta yang lain, dengan mudahnya peserta ini melempar peserta yang lain ke luar lapangan. Selain karena badan dan tenaganya yang besar, peserta ini juga sangat berpengalaman dalam pertandingan gulat. Patih Gajah yang menjadi atasannya susumbar tidak akan ada satupun di Majapahit yang mampu mengalahkan pengawalnya tersebut. Ditantangnya semua jawara yang ada di tempat itu untuk melawan pengawalnya, namun tidak ada yang berani.

Mengetahui bahwa tidak ada yang berani melawan Pengawal Patih Gajah yang bertubuh besar, Jokotole naik ke panggung. Awalnya Patih Gajah menganggap remeh Jokotole karena waktu itu Jokotole sedang menyamar dan terlihat tubuh Jokotole tidak sebanding dengan tubuh pengawalnya. Ia menantang untuk taruhan, bahwa kemenangan akan datang pada pengawalnya. Tidak ada satupun yang mau meladeni taruhan tersebut karena siapapun yang waras pasti akan dapat melihat ketidakimbangan ini. Taruhan dari Patih Gajah itu dinaikkan hingga tidak hanya sekedar uang atau perhiasan, tetapi tanah yang dimiliki sang Patih.

Prabu Brawijaya akhirnya meminta pertandingan tersebut untuk dilaksanakan. Ia tersenyum karena membayangkan akan sangat mudah bagi Jokotole membanting lawannya yang jauh lebih besar. Jangankan manusia, gerbang yang tidak sanggup diangkat ratusan orangpun oleh Jokotole mampu diangkat, apalagi lawannya kini.

Benar saja, ketika aba-aba pertandingan dimulai, sangat mudah bagi Jokotole untuk mengalahkan lawannya yang besar tersebut. Tubuhnya yang besar, menghambat pergerakannya. Sedangkan kekuatannya, jauh di bawah Jokotole. Sekali gerak, tubuh besar dari lawannya melayang menimpa Patih Gajah yang sedari tadi menyangjungnya. Jokotole menang mudah.

Sesuai kesepakatan, Patih Gajah menyerahkan sebagian tanah yang dimilikinya kepada Sang Raja. Oleh Prabu Brawijaya, tanah tersebut lantas dianugerahkan kepada Jokotole agar ditempati, atau setidaknya jika Jokotole kembali ke Madura dan suatu ketika memiliki keinginan bertandang di Majapahit, Jokotole memiliki tempat untuk singgah yang menjadi miliknya sendiri. Selain itu, prabu Brawijaya juga memberikan hadiah-hadiah yang jumlahnya sangat banyak. Oleh Jokotole, hadiah-hadiah tersebut diberikan lagi kepada ayah angkatnya untuk biaya mengembangkan tempat pandai besinya serta untuk membuka padepokan.

Jasa Jokotole membangun gerbang dan kemenangan Jokotole melawan orang tangguh di pertandingan gulat membuat nama Jokotole disegani di kerajaan Majapahit. Hal ini tentu saja mengundang banyak orang menjadi sayang kepadanya termasuk prabu Brawijaya. Meskipun demikian, ada saja orang yang tidak suka akan ketenaran Jokotole karena semenjak kedatanagan Jokotole, posisi mereka mulai tergantikan. Salah satu dari orang yang semakin lama semakin tidak suka pada Jokotole adalah Patih Gajah. Ia jadi benci kepada Jokotole setelah tahu bahwa tanah yang ia berikan kepada sang prabu sebagai bahan pertaruhan, ternyata diberikan kepada Jokotole, pemuda tanggung yang menurutnya belum teruji loyalitasnya kepada Majapahit.

Beberapa hari setelah pertandingan, Empu Kelleng pamit kepada prabu Brawijaya untuk kembali ke Madura. Empu Kelleng menyampaikan bahwa tugas yang diembankan kepadanya telah selesai dikerjakan dan sudah saatnya Empu Kelleng kembali ke Madura mengunjungi istrinya yang telah lama ditinggalkannya. Empu Kelleng diijinkan pulang, tetapi tidak untuk Jokotole. Prabu Brawijaya yang terlanjur sayang padanya masih memberatinya. Sang Prabu masih menginginkan Jokotole untuk tinggal lebih lama lagi di Majapahit, dan Jokotolepun setuju. 

Empo Kelleng diiringi sepuluh pengawal kerajaan, pulang membawa karung-karung emas yang telah diberikan sang Prabu atau Jokotole kepadanya. Setibanya di pinggir pantai, mereka menumpang perahu menuju pantai Cangkrama’an (sebelah timur desa Pakandangn Kabupaten Sumenep). Sesampainya di rumah dengan keadaan selamat, ia yang merasa sangat bahagia dan bangga pada Jokotole menceritakan semua yang dialaminya di Majapahit kepada istri dan warga sekitar. Banyak tamu yang berdatangan untuk mendengar cerita tentang keadaan Empu Kelleng di Majapahit dan kondisi terkini Jokotole. Empu Kellengpun tidak henti-hentinya menceritakan semua hal yang berkaitan dengan anaknya itu dengan bangga.

Ditinggal oleh ayah angkatnya, Jokotole memilih beraktifitas sebagai pandai besi di tanah yang diberikan Sang Raja kepadanya. Di tempat tersebut, ia membuat banyak perkakas tani, keris dan tombak. Salah satu keris yang dibuat Jokotole dan menjadi terkenal di Majapahit adalah  sebuah keris yang diberi nama Jennengan Majapahit. Di Majapahit, karya-karyanya disukai banyak orang dan iapun makin terkenal.

Prabu Brawijaya ingin mengangkat Jokotole sebagai Patih yang diberikan kewenangan mengurusi urusan-urusan internal kerajaan. Tapi sang Prabu melihat bahwa di lingkungan istana, tidak semua orang suka kepada Jokotole. Oleh sebab itu, ia butuh sebuah alasan yang menguatkan keinginannya mengangkat Jokotole menjadi Patih.

Suatu ketika, kuda kesayangan raja tiba-tiba mengamuk. Juru kuda yang biasa merawat kudapun kewalahan. Kuda itu kemudian lepas dari kekangnya dan berlarian secara liar di alun-alun kota. 

Hulubalang kerajaan sudah angkat tangan dan menyarankan sang Prabu untuk membunuh saja kuda itu dengan panah atau tombak. Tapi prabu Brawijaya sangat sayang pada kuda itu. Di saat yang genting itulah, prabu Brawijaya teringat pada Jokotole. Diperintahkannya seorang prajurit untuk menjemput Jokotole di kediamannya.

Jokotole langsung bergegas ke alun-alun kerajaan. Jokotole paham apa yang menyebabkan kuda itu mengamuk. Di leher kuda itu ada paku kecil yang tertancap di sana. Tangan Jokotole dijulurkan untuk mengelus leher dan kepala sang kuda serta dibisikkannya sedikit mantra yang diajarkan Adirasa kepadanya. Kuda itu menjadi jinak. Dengan gerakan halus, kepala kuda itu ditolehkan (kuda toleh) ke sebelah kanan agar Jokotole dapat mencabut paku yang tertancap di lehernya. Setelah paku dicabut, kuda itupun menjadi tenang

Raja menjadi senang. Akhirnya ia memiliki alasan untuk mengangkat Jokotole menjadi Patih. Sejak saat itu Jokotole diangkat menjadi Patih dengan gelar Aryo Kuda Panoleh yang mengurusi urusan dalam istana termasuk di dalamnya urusan kuda-kuda Sang Raja. Semua pembesar yang hadir di tempat itu tidak ada yang protes, karena memang kenyataannya, hanya Jokotole saja yang mampu menenangkan kuda sang Prabu.

Prabu Brawijaya berkeinginan membangun pagar di dalam kota. Setelah selesai pembangunan pagar itu, kerajaan yang berada di wilayah kekuasaan Majapahit diminta untuk berkunjung ke kota Raja. Diantara raja-raja yang menjadi bawahan Majapahit, Raja Wirabhumi dari Blambangan menolak untuk hadir (versi lain menyebutkan bahwa raja bawahan yang menolak untuk hadir itu adalah raja Menak Jayengpati). 

Dikisahkan bahwa keengganan Wirabhumi untuk hadir lebih disebabkan karena masalah keluarga. Raja Wirabhumi ini merupakan saudara ipar dari Brawijaya, Ketidakhadiran Raja Wirabhumi untuk sowan disebabkan oleh perasaan sakit hatinya pada Wikramawardhana yang dianggap merampas hak istrinya yaitu Kusumawardani sebagai puteri mahkota yang notabene adalah kakak Wikramawardhana. Wikramawardhana  yang semula menjadi wali raja lalu mengambil alih dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit. Melihat perilaku iparnya tersebut Wirabhumi marah dan memberontak.

Atas ketidakhadiran Wirabhumi, Prabu Brawijaya mengutus orang untuk mengirimkan surat ke Wirabhumi. Sesampainya di Blambangan, Wirabhumi kembali menolak mentah-mentah untuk hadir.

Raja sangat murka mendengar kabar ini. Iapun mengirimkan dua Patih untuk menyerang Blambangan. Patih itu adalah Patih Jokotole dan Patih Gajah yang selama ini tidak suka pada jokotole. Baginda Prabu juga menjanjikan, barang siapa dari keduanya yang dapat membawa pulang putri Raja Blambangan, Prabu Brawijaya akan menikahkan salah satu putrinya kepadanya. Berangkatlah keduanya ke Blambangan dengan membawa tentara mereka masing-masing.

Tengah malam yang gelap gulita, Jokotole dan pasukannya melakukan serangan yang tiba-tiba yang membuat tentara Blambangan panik. Prajurit Blambangan terpukul mundur dan Raja Blambangan memutuskan mengungsi keluar istana bersama keluarganya. Jokotole mengejar Raja Blambangan hingga ke luar kota.

Berbeda dengan Jokotole, Patih Gajah memilih tinggal di dalam kota dan bersikukuh menjaga ketertiban kota dan memastikan sisa-sisa tentara yang menjaga kota tidak mengangkat senjata. Jokotolepun tanpa banyak debat langsung meninggalkan rombongan tentara Patih tersebut karena mengejar waktu.

Setelah Jokotole pergi mengejar Raja Blambangan, Patih lantas berkeliling istana dan menjumpai secara tidak sengaja Raja Blambangan meninggalkan Putrinya yang bernama Asmarawati. Putri ini sedang tertidur pulas di kamar Abdidalam ketika kekacauan akibat serangan pasukan Jokotole terjadi. Ia disangka hanya seorang abdidalam, karenanya lantas ditinggalkan.

Patih Gajah kembali ke Majapahit dengan membawa Putri tersebut. Di depan Raja, ia mengklaim bahwa dirinya telah mengalahkan pasukan Blambangan. Ia juga menceritakan bahwa Jokotole saat ini sedang kabur karena merasa malu tidak sanggup menjalankan tugas mengalahkan Raja Blambangan. Raja pun heran karena merasa Jokotole tidak akan mungkin kalah dari Raja Blambangan apalagi kabur. Meskipun merasa heran, Rajapun menepati janjinya untuk memberikan salah satu Putrinya. Sang Patih diminta memilih dan akhirnya pilihannya jatuh pada putri yang bernama Lintang Asmara.

Adapun Jokotole, ia bersama pasukannya mengejar pasukan Raja Blambangan hingga ke kaki sebuah gunung. Di situ, ia berhasil menemukan rombongan Raja Blambangan. Terjadilah pertempuran sengit yang akhirnya dapat dimenangkan oleh Jokotole. Raja Blambanganpun  menyerahkan diri beserta permaisuri dan Putrinya yang tersisa untuk dibawa ke Majapahit. (Satu versi menyebutkan bahwa Raja Blambanagan ini kemudian dibunuh oleh Patih Raden Gajah, dan memfitnah Jokotole bahwa pembunuhan itu dilakukan Jokotole).

Beberapa sanak keluarga dari Raja Blambangan ada yang mengungsi dengan menyeberang ke pulau Bali. Di tempat tersebut, mereka bersama masyarakat lokal kemudian membangun kerajaan yang dikenal dengan kerajaan Klungkung. Inilah yang kemudian melatar belakangi kelak raja-raja Klungkung yang akan datang sangat memusuhi Jokotole dan berusaha melakukan apapun untuk membinasakan Jokotole dan keturunannya, bahkan ketika ia kembali ke Sumenep.

Jokotole kembali ke Majapahit dengan membawa Raja Blambangan dan rombongannya. Kedatangan Jokotole dengan bukti kemenangan yang gemilang disambut pelukan kegembiraan dari Sang Raja. Di tempat itu, ia menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Sang Raja serta menyerahkan Raja Blambangan untuk dihukum.

Prabu Brawijaya kemudian mengumpulkan perwira-perwira dari dua pasukan Patih untuk dimintai keterangan. Dengan mata kepala sendiri, Prabu melihat bahwa peralatan perang yang dibawa para perwira Jokotole berantakan. Adapun, peralatan perang yang dimiliki pasukan sang Patih Gajah, seluruhnya terlihat masih bagus dan tajam. Perwira sang Patih mengakui bahwa seluruh pasukan mereka datang setelah Blambangan ditaklukkan oleh pasukan Jokotole.

Mengetahui bahwa Patih Gajah berbohong, Patih Gajah dimarahinya habis-habisan. Patih ini merasa sangat malu dan makin membenci Jokotole.

Rajapun menganugerahi Jokotole satu putrinya yang bernama Ratna Dewi Maskumambang, Mendengar Jokotole dianugerahi Putri Maskumambang, Patih Gajah dan pembesar-pembesar yang tidak suka kepada Jokotole membujuk baginda Raja untuk membatalkan hadiah itu. Ini dikarenakan Jokotole tidak jelas asal-usulnya dan jikalau mereka menikah, pamor Raja Brawijaya bisa turun.

Rajapun terbujuk, tetapi ia tidak dapat mengingkari janjinya menikahkan Jokotole dengan Putrinya. Untuk menengahi masalah ini, Jokotole dinikahkan dengan putrinya yang lain yang bernama Dewi Ratnadi. Putri yang buruk rupa serta buta karena cacar.

Beberapa saat kemudian, Jokotole dan Dewi Ratnadi dinikahkan. Pernikahan Jokotole dengan Dewi Retnadi dilaksanakan secara besar-besaran. Tapi sebagian besar rakyat merasa tidak puas dengan pernikahan itu. Pertama karena secara fisik, pernikahan itu begitu tidak imbang. Jokotole yang sangat tampan, menikah dengan anak Raja yang buruk rupa. Selain itu, rakyat yang sudah tahu akan jasa-jasa Jokotole bertanya-tanya mengapa orang yang berjasa kepada kerajaan Majapahit hanya diberi hadiah Putri buruk rupa.

Meskipun dianugerahi Putri yang buruk rupa dan buta, Jokotole merasa sangat bahagia. Ia bersyukur atas segala pencapaian yang diperolehnya  kepada Yang Kuasa.

Untuk meredam komentar-komentar miring dari masyarakat, serta untuk menjaga nama baik Prabu Brawijaya, Jokotole memutuskan untuk mengajak Dewi Retnadi pulang ke Madura. Jokotole takut jika dirinya tetap di Majapahit, konflik dirinya dengan Patih Gajah dan orang-orang yang tidak suka padanya akan semakin runcing. Ia tidak takut menghadapi Patih Gajah, tetapi ia tidak ingin membuat prabu Brawijaya menjadi gundah. Setelah meminta restu pada Raja, Jokotole pergi dengan menggandeng tangan istrinya yang buta. Mereka berdua tidak membawa banyak bekal, hanya buntalan pakaian dan sebuah tongkat wasiat yang dulu pernah diberikan seorang kakek kepada Dewi Retnadi untuk memandunya berjalan. Raja mengijinkan karena ia paham, Jokotole adalah laki-laki yang baik dan tidak akan mungkin menyia-nyiakan Dewi Ratnadi. Mereka melakukan perjalanan dengan sederhana, tanpa diiringi pengawalan apapun.

Selepas Jokotole pergi, Patih Gajah  kambuh lagi sifat dengkinya. Ia menyatakan kepada semua orang yang ditemuinya bahwa Jokotole adalah pemuda yang jelek tabiatnya. Pemuda yang tidak tahu malu dan terimakasih. Sudah diberi hadiah Putri Raja, Jokotole minggat ke Madura. Patih ini dengan berlagak meminta ijin pada Sang Raja untuk membawa pulang dan menghukum Jokotole. Baginda Raja yang sudah paham pada sifat sang Patih, mempersilahkan saja sang Patih untuk melakanakan keinginannya. Sambil tertawa, ia berkata padanya, bahwa sebanyak apapun prajurit yang dikirimkan, tidak akan mampu mengalahkan Jokotole. Raja Blambangan yang terkenal sakti dan memiliki pasukan perang terbaik saja dapat dikalahkan, apalagi sang Patih yang membawa tentara seadanya.

Patih Gajah  beserta pasukannya melakukan pengejaran dan penghadangan. Ketika ia berhasil mengejar Jokotole yang sedang berjalan kaki dalam perjalannya menuju Gersik. Sang Patih lantas menyuruh pasukannya untuk menyerang Jokotole sedangkan ia sendiri berada di belakang. Sepertinya ia sadar, tidaklah mudah mengalahkan Jokotole.

Kabar penyerangan ini sampai ke telinga Raja Gresik yaitu Ario Banyak Wedi, yang tiada lain adalah Jokowedi saudara Jokotole. Ia mendengar kabar ini dari beberapa prajuritnya yang ditugaskan di perbatasan. Mereka mengabarkan bahwa ada sepasang pemuda yang sedang menuju perbatasan Gersik diserang di tengah jalan oleh sepasukan tentara kerajaan Majapahit. Para prajurit ini juga menerangkan ciri-ciri pasangan yang diserang dan pasukan penyerangnya. Dari ciri-cirinya, Jokowedi langsung mengenali bahwa yang diserang adalah saudaranya sendiri Jokotole. Dengan penuh kemarahan, dipacunya dengan segera kudanya yang diikuti oleh para prajuritnya. Jokowedi tidak terima jika saudaranya diserang. Entah kebetulan atau tidak, ketika Jokotole bergerak menuju Gersik, Jokowedi sedang mengunjungi daerah yang berada di perbatasan Gersik.

Tidak berapa lama, ia melihat dengan jelas pertarungan yang memalukan dari sepasukan tentara bersenjata lengkap yang menyerang seorang pemuda yang menggendong seorang perempuan muda. Benar, pemuda itu adalah saudaranya. Dengan tidak menyia-nyiakan waktu, Jokowedi dan pasukannya langsung terjun ke kancah pertempuran membantu Jokotole.

Sebenarnya, ketika Jokotole diserang tadi, Jokotole masih belum terdesak. Ia hanya agak kerepotan karena harus menggendong istrinya yang buta. Ketika Jokowedi yang juga memiliki kemampuan bertarung yang luar biasa, dibantu oleh tentara kerajaan Gersik terjun ke kancah pertempuran, maka pertarungan berjalan dengan tidak imbang. Dengan mudah Jokotole dan Jokowedi menahan serangan tentara Majapahit. Tidak hanya menahan, mereka bahkan memporakporandakan formasi tentara penyerangnya. Tidak berapa lama, pertempuranpun selesai. Pasukan Patih Gajah yang ketakukan melihat kekuatan Jokotole dan Jokowedi akhirnya melarikan diri. Sang Patih yang bersembunyipun juga ikut memacu kudanya ke Majapahit. Ia pulang dengan perasaan malu.

Ketika melihat Jokotole, Jokowedi begitu gembira. Dipeluknya saudaranya yang kini tumbuh besar dengan erat. Jokowedi kemudian diperkenalkan dengan Dewi Ratnadi. Keduanya langsung cepat akrab.

Jokotole dan istrinya diminta menginap ke keraton Gresik. Di keraton Gersik, Jokowedi dan Jokotole menyempatkan diri untuk bertukar cerita. Jokowedi menceritakan bahwa selepas berpisah dengan Jokotole, Jokowedi kemudian dijodohkan dengan Putri tunggal Raja Gersik yaitu Raden Ajeng Sekar Kadatum yang parasnya sangat cantik. Setelah acara pernikahan, baginda Raja yang merasa sudah sangat tua, memutuskan untuk menjalani hari tuanya dengan bersemedi dan menyerahkan pemerintahan kepada Jokowedi. Ketika diperintah Jokowedi, Gersik berada dalam masa-masa yang aman dan tentram.

Jokotolepun juga menceritakan banyak hal yang telah dialaminya. Termasuk juga bagaimana ia harus menikahi Dewi Retnadi dan fitnah yang dilakukan sang Patih kepadanya. Mendengar cerita kakaknya itu, Jokowedi marah besar, dan berjanji jika Jokotole mengijinkan, ia akan membawa pasukan besar untuk meratakan Majapahit. Jokotole tidak merestui keinginan Jokowedi. Selain karena Prabu Brawijaya adalah ayah mertuanya yang tentu saja menghancurkan Brawijaya sama halnya menghancurkan hati istrinya, juga Jokotole merasa mendapatkan Dewi Retnadi telah lebih dari cukup baginya. Mengetahui kebesaran hati kakaknya yang menurut Jokowedi telah banyak dilecehkan, Jokowedi merasa bangga dan berjanji melakukan apa saja untuk membahagiakan kakaknya tersebut.

Di keraton Gersik, Jokowedi menawari Jokotole untuk tinggal bersama. Jokowedi juga menawarkan untuk membagi Gersik menjadi dua bagian dan Jokotole menjadi raja pada bagian yang lain. Jokotole menolak tawaran Jokowedi ini dengan alasan ia belum berkeinginan menjadi Raja dan memilih kembali ke Madura bertemu dengan ayah angkatnya Empu Kelleng serta meneruskan pencarian ayah kandungnya.

Asal Muasal Desa Socah, Telang Banyocellep dan Jambu

Setelah beberapa hari berada di Gersik, Jokotole pun berpamitan pada adiknya untuk melanjutkan perjalan ke Sumenep. Perjalanan sampai ke pesisir diantar oleh adiknya dengan iring-iringan pasukan kebesaran kerajaan Gersik. Sambil menggendong istrinya Jokotole melanjutkan perjalanan dengan menumpang sebuah perahu. Setengah hari melakukan perjalanan, sampailah mereka di pelabuhan yang berada di ujung barat pulau Madura.

Saat mendarat, Dewi Retnadi yang selama perjalanan merasa gerah karena berkeringat akibat kulitnya terkena cahaya matahari secara langsung, bermaksud untuk mandi. Itu disebabkan karena kulitnya yang terkena cacar menjadi semakin gatal. Selama berada di perahu, ia tidak menjumpai air tawar yang cukup banyak untuk sekedar membasuh muka. Maka ketika sampai di darat, ia segera mengutarakan keinginannya untuk mandi.

Jokotole yang belum begitu paham daerah itu, dengan penuh kebingungan  berputar-putar mencari sumber air yang cukup untuk dibuat mandi istrinya. Tapi air yang diharapkan tidak kunjung ia jumpai. Dengan wajah lesu, Jokotole kembali kepada istrinya dan mengatakan ia tidak menemukan air. Istrinya menatap Jokotole dengan mata memelas. Jokotole yang ditatap seperti itu merasa sangat kasihan dan mulai lagi mencari air dengan area yang lebih jauh. Tapi hasilnya tetap sama.

Jokotole merasa sangat tidak berguna karena tidak mampu membahagiakan istrinya. Dengan setengah marah, tongkat yang biasa dibawa istrinya ia tancapkan ke tanah. Tongkat itu lantas dicabutnya kembali ketika istrinya memanggilnya mendekat. Keajaiban terjadi. Lubang dari tongkat tersebut memancarkan air yang cukup banyak. Dengan gembira, Jokotole menarik tangan istrinya untuk mendekat. Istrinya tersenyum lebar merasakan kesegaran air yang barusan keluar dari lubang tongkat tersebut.

Jokotole semakin gembira ketika menjumpai istrinya tertawa-tawa menjumpai mata air itu. Bagi Jokotole keceriaan istrinya adalah anugerah yang tiada tara. Beberapa saat kemudian, Jokotole mendengar istrinya berteriak dengan keras. Air yang keluar dari lubang, menyembur dengan deras ke wajah istrinya hingga menyebabkan wajah istrinya memerah. Takut terjadi apa-apa dengan istrinya, Jokotole mengajak Dewi Retnadi menjauh semburan air. Dewi Retnadi berkata ia tidak apa-apa. Ia bahkan berteriak sekali lagi, namun kali ini dengan penuh kebahagiaan karena akibat dari pancaran air tadi, matanya yang semula buta menjadi bisa melihat.

Semakin lama, pancaran air yang keluar semakin besar dan menggenang seperti kolam. Jokotole lantas membiarkan istrinya berendam di kolam itu untuk beberapa saat, memenuhi permintaannya untuk mandi. Ketika istrinya telah puas berendam, mereka beranjak meninggalkan kolam itu. Kelak, ketika Jokotole kembali lagi ke tempat itu, kolam itu dan wilayah sekitar kolam itu oleh Jokotole itu diberi nama Socah. Socah adalah bahasa Madura yang berarti Mata. Mata yang telah sembuh dari kebutaan.

Jokotole dan Dewi Retnadi melanjutkan perjalanan ke timur. Jika sebelumnya Dewi Retnadi harus dituntun atau digendong oleh Jokotole, maka sejak mata Dewi Retnadi sembuh, Dewi Retnadi mampu berjalan sendiri. Beberapa saat berjalan, Dewi Retnadi merasakan keajaiban yang kedua. Badannya yang semula gatal-gatal dan dipenuhi bercak-bercak cacar, berangsur-angsur berubah menjadi halus. Sepertinya, air yang dibuatnya berendam tidak hanya memiliki khasiat membuat matanya normal, tetapi juga kulitnya. Semakin lama berjalan, kulit Dewi Retnadi semakin halus dan terlihat kecantikannya. Penyakit kulit Dwi Retnadi benar-benar hilang ketika mereka telah berjalan ke sebelah timur beberapa saat dari sumber air tersebut. Kelak, daerah inipun oleh Jokotole diberi nama Desa Telang. Sebuah nama yang merupakan singkatan dari Tella Elang yang berarti telah hilang. Telah hilang penyakit Dewi Retnadi atas seizin Yang Maha Kuasa. 

Merekapun kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalan, Dewi Retnadi merasa kehausan dan Jokotole berusaha meminta air kepada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Jokotole diberi air oleh warga desa yang mana air yang ia terima terasa sangat sejuk bahkan dingin. Daerah ini kelak diberi nama Desa Banyocellep yang yang bermakna Desa Air Dingin.

Selepas menghapus dahaga, mereka berdua melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, mereka melihat sebuah daerah yang mana banyak ditumbuhi pohon Jambu yang menguning. Untuk menyenangkan hati istrinya, Jokotole memetik beberapa untuk dimakan. Jambu itu terasa manis dan lezat. Kelak, daerah ini diberi nama Desa Jambu. Perjalananpun terus mereka lakukan dengan perasaan bahagia dan berbunga-bunga.

Asal Muasal Desa Ombhen, Sampang, dan Banyuanyar

Keesokan harinya, Dewi Retnadi menyadari bahwa ia sedang mengalami menstruasi. Ini bisa dilihat dari adanya bercak-bercak darah yang mengotori bajunya. Untuk itu, ia kemudian meminta suaminya untuk berhenti disebuah sungai untuk mandi dan membersihkan darah haid dari pakaiannya.

Ketika Dewi Retnadi membersihkan dirinya, secara tidak sengaja Ambennya (ikat pinggang)  hanyut terkena arus air yang deras. Iapun berlari-lari mengejar, di susul oleh suaminya dibelakanngnya.

Karena arus air terlalu deras, Dewi Retnadi tidak mampu mengejar Amben itu lebih jauh. Iapun berhenti berlari sambil terengah-engah. Dengan sedih, ia meminta Jokotole lebih untuk membantunya mendapatkan Ambennya kembali.

Melihat kesedihan istrinya, iapun berdoa agar aliran air itu tidak melaju lebih jauh lagi, hanya mengalir di sekitar daerah situ saja sehingga Amben istrinya dapat terkejar dan tidak hilang. Keajaiban terjadi. Aliran sumber itu berhenti mengalit lebih jauh dan berakhir disekitar daerah tersebut, Amben itu bisa tersusul. Sejak saat itu dan seterusnya, sumber itu tidak mengalir lebih jauh. Sejak kejadian itulah daerah kemudian disebut sebagai desa Omben yang berasal dari kata Amben.

Setelah mendapatkan Amben Dewi Retnadi, mereka berdua lantas melanjutkan perjalanan. Kira-kira beberapa kilo dari tempat ditemukannya Amben, Dewi Ratnadi merasa sangat haus. Jokotole lantas berusaha memintakan air untuk istrinya kepada penduduk yang berada di sekitar tempat itu. Seorang penduduk lantas memberikan air kepada Jokotole untuk diberikan kepada Dewi Retnadi. Penduduk itu memberikan air seadanya kepada Jokotole karena rupanya, di daerah itu sedang terjadi kekeringan, sehingga sulit sekali untuk mendapatkan air bersih dengan segera.

Dewi Retnadi lalu meminumnya, namun sepertinya bau dan rasa air itu tidak enak, dan karenanya tidak semuanya ia minum. Air itu rupanya bekas olahan membatik. Jokotole merasa penasaran dan turut mencicipi air itu. Dengan spontan Jokotole berkata “banger” dan mengatakan air itu tidak layak untuk diminum.

Dengan perasaan kesal Jokotole berkata bahwa dikemudian hari, di daerah itu akan muncul sumber air yang berbau kurang sedap seperti bau air yang diminum istrinya. Benar saja, beberapa saat kemudian, muncullah sumber, yang mengandung kadar belerang yang tinggi yang sekarang kita kenal sebagai Banyubanger.  Sejak munculnya sumber air Banyubanger, maka daerah itu dinamakan Banyubanger. Daerah itu terletak di kelurahan Banyuanyar.

Perjalanan Jokotole menuju Sumenep yang berliku-liku mulai dari Socah, hingga ke Banyubanger terkadang tidak berjalan mulus. Beberapa halangan mereka jumpai sehingga mereka harus memutar arah dan melewatkan daerah-daerah yang seharusnya di lewati menuju Sumenep.

Satu daerah yang ta’ e’ sempange (tidak dilewati) perjalanan Jokotole adalah sebuah daerah yang kita kenal sekarang sebagai Sampang. Konon menurut cerita, Sampang berasal dari kata sempang, yang berarti daerah yang dilewati. Sedangkan kata sempang yang dimaksud di sini diberi awalan ta’, yang berarti tidak dilalui sehingga menjadi daerah yang tidak dilalui oleh perjalanan Jokotole.   

Dari Sampang, mereka melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini mereka berjalan menelusuri pesisir Sampang, Suatu ketika, Dewi Ratnadi kembali hendak mandi, dan kembali Jokotole kesulitan untuk menemukan sumber air untuk mandi istrinya. Sekali lagi, Jokotole menancapkan tongkatnya ke tanah dan keluarlah mata air yang menjadi asal muasal desa Banyuanyar Kecamatan Sampang.

Jokotole dan istrinya akhirnya sampai di Sumenep.  Di Sumenep, Jokotole memboyong Dewi Retnadi pulang ke tempat Empu Kelleng. Sebelum sampai di tempat ayah angkatnya, Jokotole mampir ke tempat pertapaan Adirasa. Di tempat pertapaan Adirasa, Jokotole memperkenalkan istrinya sekaligus menanyakan kembali tentang orang tuanya terutama ibunya.

Adirasa kemudian bersemedi untuk melaksanakan komunikasi batin dengan Adipoday. Setelah mendapatkan petunjuk keberadaan ibu Jokotole, Adirasa menjelaskan panjang lebar siapa ibunya dan dimana ia bisa dijumpai. Untuk menjumpai ibunya, Jokotole diminta meneruskan perjalanan ke kotaraja Sumenep. Di situ ia harus mencari seorang putri raja yang bernama Dewi Saini atau yang dikenal sebagai Raden Ayu Potre Koneng. Setelah mendapat petunjuk, ia dengan bergegas pamit kepada Adirasa dan mengajak istrinya Dewi Retnadi untuk kembali meneruskan perjalanan.  

Sepanjang perjalanan,  Jokotole bertanya kepada orang di pasar yang kebetulan ia jumpai. Kebanyakan takut-takut untuk menunjukkan tempat tinggal Potre Koneng karena Jokotole dan Dewi Retnadi adalah orang asing. Mereka khawatir Jokotole dan Dewi Retnadi memiliki niat kurang baik dan bermaksud mencelakai Potre Koneng.

Jokotole berusaha keras meyakinkan orang-orang yang ditemuinya, tetapi mereka tidak percaya begitu saja. Hingga suatu ketika Jokotole berpapasan dengan seorang Abdidalam yang ternyata adalah Emban Toya yang dulu membawa dan meletakkannya di tengah hutan. Emban Toya merasa pernah mengenal Jokotole tetapi ia tidak tahu pasti kenal dimana. Setelah diamati, ia merasakan ada sedikit kemiripan antara wajah Jokotole dan tuannya yaitu Potre Koneng. Pertamanya ia merasa heran, tetapi dibuangnya jauh-jauh keheranan itu.

Emban Toya mengantarkan Jokotole dan istrinya untuk menghadap Potre Koneng. Sepanjang perjalanan, Emban Toya menanyakan asal-usul Jokotole. Ia juga menceritakan bahwa saat itu, Raja Sumenep, Prabu Saccadiningrat sedang melaksanakan kunjungan resmi ke keraton  Majapahit.

Di depan keraton,  Jokotole melihat bahwa tempat itu dijaga dengan sangat ketat. Ia menjadi heran kenapa ada seorang Putri yang dijaga sedemikian ketatnya. Dari kasak-kusuk yang beredar, penjagaan dilakukan dengan sangat ketat karena beberapa hari sebelum Jokotole datang, Raden Ayu Potre Koneng bermimpi kejatuhan dua buah kembang yang harum baunya. Mimpi Potre Koneng selalu bermakna dan biasanya akan benar-benar terjadi. Mimpi itu dimaknai jelek oleh Sang Putri yang menyangka jatuhnya dua kembang tadi adalah pertanda dari kejatuhan dirinya dan ayahandanya yang menjadi Raja Sumenep. Potre Koneng tidak mau itu terjadi dan sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, ia harus mempersiapkan semuanya, apalagi ayahandanya sedang berada di Jawa.

Sampai di pintu keraton, ia dilarang masuk. Setelah menjelaskan bahwa ia adalah seorang Patih tanpa tugas dan istrinya adalah seorang Putri dari prabu Brawijaya, pengawal lantas membukakan pintu keraton. Di dalam keraton, mereka disambut Potre Koneng yang merasa was-was dan bertanya-tanya ada apakah gerangan sehingga seorang Patih dan Putri Raja Brawijaya datang berkunjung ke istananya.

Jokotole lantas menceritakan maksud kedatangannya. Ia juga menyebutkan bahwa ia  sedang mencari ibunya yang bernama Dewi Saini. Mendengar hal yang mengangetkan itu, Dewi Saini langsung tergeletak pingsan. Dalam pingsannya, ia bertemu dengan Adipoday yang membenarkan apa yang dikatakan oleh Jokotole. Ketika terbangun, ia langsung merangkul Jokotole dan menangis. Ia minta maaf karena telah menelantarkan Jokotole. Ia mengatakan bahwa telah puluhan tahun lamanya ia menunggu kabar kembalinya anak-anaknya pada pangkuannya.

Potre Koneng juga menanyakan tentang adik Jokotole. Jokotole mengatakan bahwa Jokowedi kini telah menjadi Raja Gresik. Betapa bahagianya hati Potre Koneng. Perasaannya bercampur antara bahagia dan cemas. Bahagia karena mengetahui anak-anaknya telah kembali. Cemas berusaha membayangkan kira-kira bagaimanakah sambutan dari ayahnya, apakah sang prabu akan bahagia berjumpa dengan cucunya serta cucu mantunya ataukah malah akan mengusir bahkan membunuh keduanya.

Setelah tiga hari berada di keraton Sumenep, Jokotole memutuskan untuk mencari ayahnya di gunung Geger sendirian meninggalkan ibu dan istrinya. Sesampainya di gunung Geger ia melihat ada cahaya kemilauan yang sangat terang di puncak gunung. Di balik cahaya itu, ia melihat ada seorang lelaki yang sedang bersemedi dan dililit oleh akar beringin. Jokotole yakin itu pasti ayahnya karena wajah pertapa itu memiliki kemiripan wajah dengan Adirasa.

Ketika pertapa itu membuka mata, Jokotole menyampaikan isi hatinya ingin bertemu dengan ayahnya yang bernama Adipoday. Pertama kali disebut nama Adipoday, pertapa itu tidak mengaku bahwa dirinya adalah Adipoday. Setelah didesak dan setelah menyebut nama Adirasa, barulah pertapa itu mengaku bahwa dirinya adalah Adipoday.

Dalam pertemuan bersejarah itu, Jokotole menceritakan pengalaman hidupnya. Adipoday yang begitu antusias mendengar cerita anaknya tidak mengijinkan Jokotole segera kembali ke Sumenep. Adipoday ingin tahu lebih banyak hal sekaligus juga ingin memberikan banyak hal pada anaknya yang telah tumbuh dewasa tersebut.

Di tempat itu, jokotole diasah kembali ilmu kanuragan dan ilmu batin yang dimilikinya. Jokotole juga diberinya kuda sakti miliknya yang tidak kasat mata yang ia beri nama Mega Remeng. Kuda itu  bisa muncul jika dibutuhkan. Kuda itu juga bisa terbang dan berlari di angkasa dengan kecepatan tinggi. Selain kuda, Jokotole juga diberi cemeti sakti dan ilmu menggunakan cemeti sakti tersebut.

Jokotole sangat berterimakasih atas pemberian ayahnya ini. Setelah memberikan banyak hal, Adipoday memutuskan mengakhiri pertapaanya di Geger. Ia merasa, tujuan pertapaannya telah selesai. Setelah berpamitan pada Jokotole, Adipoday lantas dengan cepat menghilang. Adapun Jokotole, ia bergegas pulang ke Sumenep.

Potre Koneng mengutus Patih Jayasenga untuk menyusul Prabu Saccadiningrat ke Majapahit. Sesampainya di Majapahit, ia menghadap Prabu Brawijaya yang kebetulan saat itu sedang menjamu Prabu Saccadiningrat. Mereka berdua sedang duduk di aula kerajaan, dikelilingi oleh para pembesar Majapahit. Patih Jayasenga datang ketika peserta jamuan sedang mengomentari cerita yang disajikan oleh Patih Gajah. Di pertemuan itu, Patih Gajah masih saja bercerita bohong mengenai pertempurannya melawan Jokotole, yang ia anggap Jokotole dapat menang karena beruntung dibantu oleh Raja Gresik.

Saat mendengar bualan sang Patih, Jayasenga masuk ke pendopo. Raja mempersilahkannya untuk mengutarakan maksud kedatangannya. Dengan penuh hormat, Jayasenga menyampaikan perintah Potre Koneng untuk menjemput Prabu Saccadiningrat. Prabu Saccadiningrat tentu saja menjadi kaget dan khawatir mendengar perintah itu. Tidak biasanya, Potre Koneng mengirimkan utusan untuk menjemput dirinya padahal ia sudah menceritakan bahwa dirinya ke Majapahit berangkat dalam rangka urusan kenegaraan. Ketika ditanya alasan apa yang membuat Potre Koneng sampai begitu berani mengutus orang untuk menjemputnya, Jayasenga lantas menceritakan semuanya. Bahwa cucunya yang bernama Jokotole telah datang menghadap dan telah bertemu dengan Potre Koneng, dan bahwa Jokotole datang ke Sumenep tidak sendirian, tetapi membawa salah satu Putri Raja Brawijaya yang cantik yang bernama Dewi Retnadi.

Mendengar berita yang mengejutkan ini, pendopo kerajaan Majapahit menjadi gempar. Raja Saccadiningrat yang belum pernah bertemu dengan Jokotole tidak mampu berbicara apa-apa. Adapun Prabu Brawijaya, mengetahui bahwa Putrinya Dewi Retnadi ternyata dinikahi oleh cucu dari Prabu Saccadiningrat menjadi sumringah.

Prabu Brawijaya bertanya pada Patih Jayasenga akan kondisi anaknya, apakah penyakit yang diderita putrinya itu semakin parah ataukah tidak. Apakah kebutaannya menghalanginya melayani Jokotole ataukah tidak. Patih Jayasenga merasa heran ditanya seperti itu, karena sepengetahuannya, Putri prabu Brawijaya datang ke kerajaan Sumenep dalam kondisi sempurna dan cantik jelita. Kabar ini tentu saja membuat Prabu Brawijaya senang dan merasa tidak salah memilih Jokotole sebagai mantu kesayangannya.

Prabu Brawijaya maklum akan keadaan ini dan mempersilahkan Prabu Saccadiningrat undur diri sebelum waktunya. Sebelum Prabu Saccadiningrat undur diri, Prabu Brawijaya menitipkan baju untuk Dewi Ratnadi dan Jokotole karena sewaktu berangkat ke Madura, Jokotole dan Dewi Retnadi kondisinya terburu-buru. Mendengar ini. Patih Gajah menjadi iri. Ia merasa telah lama bekerja pada Baginda Raja, bahkan menikahi salah satu Putri dari sang prabu, tetapi ia tidak pernah diberi baju satu potongpun.

Setelah dilepas Prabu Brawijaya, Prabu Saccadiningrat  memacu kudanya dengan cepat diiringi rombongan dari Madura. Selama perjalanan, hati baginda tidak menentu, antara senang, merasa bersalah dan takut pada Jokotole. Senang karena akhirnya ia dapat memiliki cucu, merasa bersalah karena akibat kemarahannya, Jokotole dibuang ke hutan, takut karena khawatir jangan-jangan Jokotole akan membalas perlakuannya.

Sesampainya di kraton Sumenep, prabu Saccadiningrat langsung mencari Potre Koneng. Kebetulan, saat itu Potre Koneng sedang bercakap-cakap dengan Dewi Retnadi. Baginda Raja kemudian diperkenalkan dengan Dewi Retnadi. Dalam hati, prabu Saccadiningrat membenarkan kata-kata Patih Jayasenga. Putri Prabu Brawijaya memang sangat cantik dan mempesona. Patutlah kiranya Putri itu menjadi istri dari cucunya.

Tidak berapa lama kemudian, Jokotole datang menghampirinya. Jokotole memberi hormat pada kakeknya. Sikapnya yang baik, serta kata-kata Jokotole yang santun membuat segala kecamuk perasaannya menjadi sirna. Dia dekap Jokotole erat-erat dan meminta maaf atas tindakannya selama ini yang tidak berusaha mencari Jokotole. Jokotole memaafkan kakeknya, dan mengajak sang kakek berbincang-bincang seperti seorang sahabat lama yang baru bersua kembali setelah sekian lamanya berpisah.

Setelah pertemuannya dengan Jokotole, Raja Saccadiningrat yang sudah semakin tua, memutuskan untuk bersemedi. Ia tidak memiliki penerus lain yang lebih cakap dari Jokotole dan karenanya, kekuasaanya atas kerajaan Sumenep diserahkan kepada Jokotole. Sejak saat itu, Jokotole dinobatkan sebagai Raja Sumenep yang bergelar Pangeran Saccadiningrat III. Uniknya, orang–orang lebih banyak mengenalnya sebagai Pangeran Aryo Kudapanole atau Pangeran Jokotole.

Pada suatu hari, Jokotole mengirim surat kepada adiknya Jokowedi untuk datang berkunjung ke Sumenep bertemu dengan ibu mereka yaitu Raden Ayu Potre Koneng. Jokowedi menerima undangan itu dengan senang dan berjanji akan berangkat segera.

Beberapa hari kemudian, Jokowedi dan rombongan berangkat ke Sumenep. Sesampainya di Sumenep, mereka menjumpai bahwa upacara penyambutan dilakukan dengan meriah. Ibu mereka Raden Ayu Potre Koneng yang sangat rindu dan bangga pada anaknya itu langsung menyambut dengan terharu. Suasana keraton menjadi sangat ramai. Anak-anak Jokowedi yang masih belia berlarian dengan gembira mengelilingi istana ditemani anak-anak kecil dari keluarga keraton Sumenep.

Usai pertemuan tersebut, Jokowedi pamit undur diri dengan alasan Kota Gersik tidak mungkin ia tinggalkan lama-lama. Kakaknya tidak keberatan akan hal ini, namun Potre Koneng yang lama ditinggal Jokowedi merasa berat ditinggal lagi. Untuk mengobati perasaan sedih ditinggal lagi, Potre Koneng meminta Jokowedi untuk mengijinkan dua anaknya yaitu Ario Banyak Modang dan adik perempuannya untuk tinggal di istana Sumenep dan dibesarkan di tempat tersebut. Kelak Ario Banyak Modang ditunangkan dengan Putri Patih Jayasenga dan akan menjadi Patih di sumenep, sedangkan adiknya dinikahkan dengan Ario Wiganda.

Pertarungan Jokotole dan Dampo Abang

Suatu ketika, kira-kira tahun ke-6 masa pemerintahan Jokotole, datanglah armada dagang (versi lain menyebutkan sebagai armada angkatan laut) dari Cina yang kapal-kapalnya berjumlah sangat besar. Armada ini selain difungsikan untuk berdagang juga digunakan sebagai sarana melakukan ekspansi. Jumlahnya yang besar menjadikan pemimpin armada ini yaitu Sam Po Tua Lang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dampo Abang ditakuti kerajaan yang dilalui armada ini (Versi lain, Sampo Tua Lang oleh sebagian masyarakat diyakini sebagai laksamana Ceng Ho yang ditugaskan kerajaan Cina untuk melakukan ekspansi atau membina hubungan dengan kerajaan-kerajaan luar Cina).

 Sam Po Tua Lang mengirimkan surat kepada raja-raja yang ada di Jawa dan Madura seperti Majapahit, Gersik, Japan, Blambangan, Kediri dan daerah-daerah lainnya yang intinya memerintahkan mereka untuk tunduk. Raja-raja yang disurati banyak yang merasa gentar akan tantangan ini. Selain karena mereka tidak banyak memiliki armada laut, mereka juga sadar, melakukan pertempuran di laut adalah pekerjaan yang susah dan menyita banyak tenaga dan biaya.

Di Madura, berita tentang armada ini juga didengar. Pasukan Sam Po Tua Lang yang jumlahnya ribuan memunculkan kekhawatiran tersendiri di kalangan masyarakat. Entah dari mana asal muasalnya, timbul rumor bahwa kedatangan orang-orang Cina ini adalah dalam rangka untuk mencuri keperawanan gadis-gadis Madura seluruhnya. Rumor ini bisa jadi benar, mengingat para tentara Cina ini telah sekian lama melaut meninggalkan keluarganya. Bisa jadi ketika mereka menjejakkan kaki di Madura, ribuan tentara ini kemudian mengawini gadis-gadis di pulau itu,. Jika demikian, rumor ini bisa jadi sangat logis.

Jokotole juga merasa risau akan kabar ini. Iapun mempersiapkan balatentaranya untuk menyambut di pinggir pantai tanpa rasa takut. Mengetahui bahwa ada Raja yang berani melakukan penentangan, Laksamana Sam Po Tua Lang lantas meminta betarung satu lawan satu.

Untuk menghadapi pertarungan satu lawan satu ini, Sam Po  Tua Lang meminta bantuan kerajaan Cina untuk mengirimkan ahli persenjataan yang dapat membuat senjata yang efektif, tidak menguras banyak waktu dan tenaga. Mendapatkan permintaan khusus dari anak kesayangannya tersebut, ia lantas mengutus beberapa insinyur untuk membuat senjata yang bagus.

Insinyur-insinyur tersebut membuatkan kapal yang dapat terbang di udara, (menurut versi lain, kapal ini sebenarnya tidak benar-benar dapat terbang, namun karena ukuranya yang besar namun tetap memiliki kemampuan manuver yang lincah, sehingga orang-orang menyamakannya dengan kapal yang bisa terbang) yang dilengkapi persenjataan lengkap sejenis meriam yang pelurunya ditembakkan oleh bubuk terusi dan panah yang dapat dibidik dengan cepat. Dengan adanya senjata ini,  Sam Po Tua Lang mantap menyambut perang tanding tersebut.

Para prajurit Jokotole belum pernah menjumpai kapal yang dapat terbang dan mengeluarkan tembakan-tembakan meriam dan panah dari udara. Karena kurang pengalaman, tentara Jokotole merasa jerih dan berpikir untuk mundur dari garis pantai. Mengetahui hal ini, Jokotole menjadi gemas sekaligus juga sedikit cemas. Untung saja Jokotole teringat pada ayah dan pamannya dan segera berkonsultasi batin dengan mereka. Adipoday menyuruh Jokotole untuk memanggil kuda sakti Mega Remeng dan memintanya menunggangi kuda itu kembali kekeraton Sumenep untuk mengambil Cemeti sakti yang dulu diberikan Adipoday.

Dengan segera ia memanggil Mega Remeng yang langsung membawanya terbang balik ke keraton untuk mengambil Cemeti. Sekembalinya dari keraton, Jokotole telah siap segalanya menghadapi serangan kapal terbang tersebut dan membakar semangat tempur bala tentaranya.

Mengetahui bahwa pimpinan mereka Jokotole terbang dengan kuda terbang, keyakinan mereka akan datangnya kemenangan muncul kembali. Mereka berteriak-teriak penuh semangat menyambut datangnya Jokotole dan kembali bersiap di garis pantai. Jokotole menarik tali kekangnya hingga si Mega Remeng tersebut berjingkrak mengangkat kaki depannya sebagai tanda dimulainya lagi pertempuran yang tertunda. Posisi Jokotole yang menarik kekang Mega Remeng sampai berjingkrak mengesankan hati banyak tentaranya. Posisi berperang tersebut menjadi sangat ikonis sehingga kelak, setelah pertempuran itu selesai, para pelaku pertempuran itu menceritakan hal itu pada banyak orang. Kelak pula, ikon kuda jingkrak ini digunakan oleh pemerintah Kabupaten Sumenep sebagai logo kabupaten.

Setelah menyatakan perang, pertempuranpun kembali dimulai. Kali ini, posisi menjadi terbalik. Gerakan Mega Remeng yang gesit menyulitkan kapal terbang untuk bermanuver. Selain itu, kiriman hujan panah tentara Trunojoyo yang diluncurkan secara sopradis dari bawah menjadikan prajurit yang ada di kapal terbang menjadi kesulitan melawan serangan dari dua arah. Beberapa panah mendarat di peralatan kapal sehingga laju kapal tidak stabil dan bergerak tidak terkontrol menuju barat. Jokotole lantas mengejar kapal tersebut ke barat, dan pertempuranpun kembali berlanjut di udara.

Asal Muasal Desa Luk-Guluk, Batolenger, Bancaran dan Ujung Piring

Disebutkan bahwa kapal terbang yang dikendarai Sampo Tua Lang itu memang terbukti tangguh. Tidak hanya lincah bermanuver, kapal itu juga terbukti kuat. Beberapa kali serangan Jokotole dan terjangan panah, tidak membuat kapal itu mengalami kerusakan berarti, hanya arahnya saja yang agak kurang bisa dikontrol.

Tidak hanya itu, kapal itu juga beberapa kali mengeluarkan serangan balasan pada Jokotole. Konon disebutkan, bahwa serangan balasan itu hampeir saja mengenai tubuh Jokotole yang untungnya dapat menghindar dengan cepat. Hanya saja, akibat dari serangan itu, Jokotole sempat terlempar dan “alu’-ghulu’” (terguling-guling) hingga beberapa kilometer dari tempat pertarungan. Daerah tempat Jokotole terguling-guling itu kemudian kelak menjadi nama sebuah desa yaitu Luk-guluk.

Setelah sempat jatuh dan terguling-gling, Jokotole mengejar kembali kapal terbang itu hingga ke Pulau Bawean. Pertempuran inipun terus bergeser hingga ke sebuah daerah tak bernama. Di daerah tak bernama itu, cemeti yang dipukulkan Jokotole meleset dan mengenai sebuah batu yang besar. Batu itupun bergeser dan terbelah (alégir). Daerah tersebut kelak kemudian diberi nama Batolenger. Pertempuranpun berlanjut hingga sampai pada suatu daerah yang tak bernama lainnya. Di daerah itu, pancer kapal terbang terjatuh ke bawah kaki nahkodanya.

Suatu ketika, Jokotole melihat bahwa manuver kapal berjalan tidak sempurna. Mata Jokotole yang terlatih, melihat bahwa bagian lambung atas dari kapal ternyata telah terkena panah yang membuat kapal itu menjadi semakin kurang terkontrol geraknya. Rupanya, daerah itu adalah bagian lemah yang tidak terjaga dan tidak dilindungi oleh perisai. Kelemahan itu juga dilihat oleh Adipoday dan Adirasa yang ikut memantau dari tempat mereka berada. Secara bersamaan, dua orang sakti tersebut memerintahkan Jokotole mencambukkan cemetinya ke lambung kapal dan kapal itupun bergetar keras dan tambah oleng. Cemeti kemudian dilempar lagi dan pecahlah kapal itu berkeping-keping.

Tempat dimana kapal itu pecah kelak oleh masyarakat yang ada di sekitar lokasi pertempuran disebut sebagai Bencaran, yang berasal dari kata Bhencar La’an yang memiliki arti telah pecah. Piring-piring yang ada di dalam kapal beterbangan hingga ke ujung barat Madura ke sebuah daerah yang kelak diberi nama Ujung Piring. Layar dari kapal juga mendarat di daerah Martajasah di daerah pantai sebelah utara. Layar ini kemudian memfosil dan hingga kini masih dijumpai keberadaannya yang dikenal sebagai situs Batu Layar. Adapun jangkar perahu terbang mendarat di sekitar desa Socah dan ikut menjadi fosil dan menyebabkan daerah tersebut dikenal sebagai Pajangkaran.

Mengetahui kapal andalan armadanya hancur, Laksamana Sam Po Tua Lang memilih untuk menahan diri tidak melakukan agresi lebih lanjut. Sukar baginya untuk percaya bahwa kapalnya yang canggih hancur oleh ksatria yang menunggangi kuda terbang. Ia bertanya-tanya siapakah gerangan ksatria dengan kuda terbang tersebut. Beberapa saat kemudian, ia mendapatkan kabar bahwa penunggang kuda itu adalah Raja Sumenep. Fakta inilah yang membuatnya menjadi memiliki perasaan sedikit gentar  kepada kerajaan Sumenep. Ia lantas memutuskan untuk tidak meladeni lebih lanjut Jokotole dan  melanjutkan pelayaran armadanya ke barat menyusuri pantai utara Jawa.

Mangkatnya Jokotole: Asal Usul Desa Totosan, Kolpong, Tamidung,  Tang-Batang dan Sa-Assa

Persaingan antara tiga kerajaan besar yang ada di nusantara yaitu Bali di timur, Singosari di tengah dan Sriwijaya di barat ternyata berimbas juga pada Kerajaan Sumenep. Seperti yang kita ketahui bersama, semenjak penguasa Sumenep yang pertama yang bernama Arya Wiraraja, Sumenep memiliki keterikatan emosional dengan Singosari. Disebutkan bahwa Arya Wiraraja dipromosikan menjadi penguasa Sumenep salah satu pertimbangannya adalah untuk mendukung Singosari dalam menyekat pengaruh kerajaan Bali di Madura bahkan di Jawa.

Dipilihnya Arya Wiraraja sebagai penguasa Sumenep tidaklah tanpa alasan. Selain karena tokoh ini memiliki kecerdasan rata-rata di atas orang-orang seusianya, visinya yang jelas dan haluan politiknya  (yang tidak disuka Kertanagara) semakin mengukuhkah pendirian Kertanagara penguasa Singasari waktu itu. Arya Wirarajapun juga dengan besar hati menerima perintah ini. Tidak hanya menerima, ia bahkan dengan sangat baik memerankan perannya sebagai raja dari Sumenep yang menjadi penyekat antara Bali dan Jawa.

Peran penyekat ini masih tetap Arya Wiraraja dan Sumenep mainkan hingga Singasari runtuh dan Majapahit tumbuh, hingga Arya Wiraraja dalam akhir masa hidupnya kembali ke Jawa untuk menjadi penguasa Kerajaan Lamajang Tigang Juru. Selepas ditinggal Arya Wirarajapun, Sumenep tetap mempertahankan haluan politiknya dengan mendukung kerajaan dari Jawa dan menentang penguasa dari Bali.

Meskipun menentang Bali, tapi penentangan ini tidak lantas melahirkan friksi-friksi berdarah dalam bentuk peperangan besar. Disebutkan bahwa peristiwa peperangan yang terjadi antara Sumenep dan Bali tidak disebutkan sama sekali dalam Babad Songenep. Cerita peperangan ini hanya ada dalam legenda Jokotole yang dituturkan secara turun temurun. Dan itupun tidak banyak.

Dalam legenda yang dituturkan masyarakat, dikisahkan bahwa peperangan Kerajaan Sumenep ini terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Saccadiningrat III atau yang dikenal dengan Pangeran Kuda Panole atau Pangeran Jokotole.   Peristiwa perang dengan Bali itu diawali dengan adanya kedatangan utusan raja Bali atau tepatnya raja Klungkung yang membawa surat lontar yang menyatakan bahwa putera mahkota kerajaan Klungkung akan datangnya ke Sumenep untuk melakukan kunjungan. Dikirimnya utusan ini ke Sumenep dengan harapan agar Sang Putra Mahkota mendapat sambutan yang baik dari raja Sumenep.

Permasalahan timbul karena utusan ini membawa rombongan yang cukup besar sehingga oleh penjaga perbatasan dianggap sebagai pasukan tak di kenal. Penjaga perbatasan secepatnya mengabarkan kepada keraton perihal pasukan tidak dikenal ini yang diperkirakan dari Bali. Mendengar masalah ini, Pangeran Saccadiningrat III sendiri langsung mengumpulkan tentara dan memimpin penyambutan.

Kedua pasukan itupun bertemu. Sebagai pimpinan tentara Sumenep, Pangeran Jokotole menanyakan hal ihwal yang menyebabkan rombongan Bali itu menuju ke Sumenep. Timbul permasalahan karena kepala utusan dari Bali menolak memberi tahu keperluannya sebelum dapat bertemu dengan raja Sumenep. Pangeran Jokotole sebenarnya telah memperkenalkan dirinya, namun kepala rombongan itu tidak percaya begitu saja karena ia merasa, tidak mungkin seorang raja datang sendiri menyambut utusan dari kerajaan lain. Di perbatasan kerajaan pula. Ia meminta untuk diantarkan ke kotaraja Sumenep. Permintaan ini tentu saja ditolak oleh Jokotole yang merasa bisa jadi pasukan itu bermaksud untuk memata-matai kekuatan kerajaan Sumenep.

Di tempat itu, timbullah perdebatan yang membuat Jokotole terpaksa meminta rombongan utusan itu pulang. Permintaan itu dianggap sebagai penghinaan oleh kepala utusan dan karenanya, ia kemudian memerintahkan penyerangan. Pertempuranpun tidak dapat dihindarkan dan terjadilah adu kekuatan diantara dua pasukan tadi. Pasukan Sumenep yang dipimpin Pangeran Jokotole dalam sekejap langsung unggul. Selain karena mereka lebih menguasai medan, kesaktian pangeran Jokotole tidak ada yang menandingi. Tidak berapa lama berselang, rombongan dari Bali berhasil dikalahkan. Sebagian besar menjemput ajal, dan sisanya melarikan diri melapor kepada Raja Klungkung.

Mengetahui bahwa rombongan utusannya telah dihadang dan dimusnahkan dalam sebuah insiden di Sumenep, Raja Klungkung menganggap insiden itu sebagai sebuah tantangan perang. Telah lama memang Raja Klungkung merasa bahwa Kerajaan Sumenep memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan kerajaannya. Tetapi ia tidak bisa mengambil langkah-langkah politis yang sangat ekstrim seperti penyerangan tanpa adanya penyebab yang benar-benar ekstrim juga. Insiden itu ternyata dianggap sebagai penyebab peperangan yang ekstrim.

Selain penyebab ekstrim itu, ada faktor lain yang menyebabkan Raja Klungkung begitu antusias menyiapkan peperangan dengan Sumenep. Sebenarnya, telah lama Raja Klungkung menaruh dendam pada Jokotole. Dendam ini muncul sebagai sisa dari peperangan masa lalu yang dilakukan oleh Jokotole yaitu pada saat Jokotole masih berada di Majapahit.

Pada saat itu, Jokotole diutus untuk menyerang kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh raja Wirabhumi (versi lain menyebutnya sebagaiMenak Jayengpati) dan Pangeran Jokotole mampu menundukkan raja Blambangan itu. Raja Klungkung ternyata adalah salah satu dari putra raja Blambangan yang terpaksa melarikan diri ke Bali. Di Bali, tepatnya di klungkung, ia kemudian berhasil menjadi raja yang disegani.

Atas dua alasan inilah, beberapa waktu kemudian, pasukan Bali dengan ratusan perahu menyeberang ke Madura untuk melakukan penyerangan. Dalam peperangan itu tentara Sumenep sekali lagi memenangkan peperangan.

Sayangnya, akibat dari peperangan itu, Pangeran  Jokotole terkena tombak, sehingga oleh prajuritnya dibawa keluar medan peperangan dan dilarikan ke desa Lapataman untuk selanjutnya ke keraton Sumenep di Benasare. Untung bagi pasukan Sumenep, bantuan dari kerajaan Gersik pimpinan Jokowedi segera datang dan memastikan kemenangan dan keamanan ada di tangan pasukan Sumenep.

Pasukan Klungkung banyak yang meninggal. Adapun mereka yang selamat dan tidak bisa kembali ke Klungkung, melarikan diri dan membuat pemukiman di sebuah desa yang sekarang dikenal sebagai Gir-Papas. Di desa ini, penduduk desa tersebut memang kebanyakan anak keturunan dari pasukan Bali yang dahulu pernah mengalami kekalahan dari pasukan Sumenep.

Karena sudah tidak kuat lagi naik kuda, Pangeran Jokotole dengan dikawal Jokowedi dan pasukannya kemudian diusung dan diiringi banyak orang. Dari Lapataman Jokotole diusung melewati desa Ngen-Bungen, dari Ngen-Bungen melewati sebelah utara Taman Sari. Dari Taman Sari, melewati Nyabakan Timur dan Jenang.

Setelah sampai di sebuah tempat tak bernama, Pangeran Jokotole meminta rombongan beristirahat dan menyampaikan wasiat atau tataran (keputusan yang dalam bahasa Madura disebut potosan) kepada para Jokowedi dan para pengiring lainnya. Isi dari wasiatnya adalah, jika ia wafat, maka jenazahnya harus dipikul sampai ke Keraton Sumenep. Namun apabila sebelum sampai ke Keraton Sumenep alat pemikulnya patah, maka ia berpesan agar janazahnya dikebumikan di tempat itu, di saat itu juga. Daerah tempat disampaikannya wasiat Pangeran Jokotole tersebut kelak akan dikenal sebagai Tanah Pataran dan desa dimana tanah itu berada disebut sebagai Desa Totosan (asal dari kata potosan).

Setelah cukup lama istirahat, maka Pangeran Jokotole meminta rombongan melanjutkan perjalanannya kembali. Dalam perjalanan menuju kraton itu, Pangeran Jokotole mangkat. Ia mangkat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Desa Batang-batang yang berasal dari kata bhabhatang yang berarti bangkai.

Sesuai dengan wasiat Pangeran Jokotole, maka dipikullah jenazah Pangeran Jokotole menuju Kraton Sumenep. Perjalanan itu sangat melelahkan. Selain karena para pengusung jenazah kelelahan setelah berperang, mereka juga harus mencari jalan pintas untuk segera sampai di keraton.

Beberapa kilo dari Batang-batang, di sebuah daerah tak bernama, para pengusung jenazah itu merasa lempo (penat hingga mengantuk). Namun, untuk menghormati jenazah Jokotole, mereka memaksakan diri untuk terus bergerak. Kelak daerah ini kemudian diberi nama sebagai desa Kolpo, yang merupakan singkatan dari mekol sambi lempo (memikul sambil mengantuk).

Lama berjalan, membuat perasaan lelah dan mengantuk itu memuncak. Jokowedi sebagai pimpinan pasukan lantas memutuskan rombongan berhenti. Para pengusung jenazah lantas dipersilahkan beristirahat sejenak. Mungkin karena disebabkan oleh kelelahan yang sangat, maka tidak menunggu lama, para pengusung jenazah itu tatedung (tertidur).  Tempat dimana para pengusung jenazah itu tertidur kini menjadi sebuah desa yang bernama Tamidung (yang berasal dari kata tatedung)

Belum sampai jenazah itu tiba di kraton Sumenep, alat pemikul yang digunakan mengusung jenazah pangeran Jokotole patah di suatu tempat tak bernama (tempat yang masuk kecamatan Manding). Sesuai wasiat Pangeran Jokotole, para pengiring kemudian mempersiapkan pemakaman.

Sayangnya, pada waktu itu, Madura sedang berada dalam kondisi yang kering karena kemarau. Tidak ada sumber airpun yang bisa dijadikan sarana untuk memandikan dan membersihkan luka-luka yang ada pada jenazah Pangeran Jokotole. Semua pengiring menjadi bingung tidak tahu harus melakukan apa. Untung, Jokowedi teringat tongkat yang selalu dibawa-bawa Jokotole kemanapun Jokotole pergi. Tongkat ini dulu adalah pemberian seorang tua kepada Dewi Retnadi ketika buta, dan pernah digunakan Jokotole untuk mendapatkan air dalam rangka membersihkan tubuh Dewi Retnadi.

Tongkat itu kemudian oleh Jokowedi ditancapkan ke tanah. Dari tancapan tongkat itu, keluar air untuk memandikan jenazah Joko Tole. Sumber air itu kemudian diberi nama sa-assa yang berarti mencuci/membersihkan. Di tempat inilah kemudian Jokotole dikebumikan. Kelak, daerah ini kemudian menjadi sebuah desa yang diberi nama Sa-assa.

Sepeninggal Pangeran Jokotole atau Raden Saccadiningrat III, kerajaan Sumenep diserahkan kepada putranya yang bernama Arya Wigananda, dan pusat pemerintahanpun dipindahkan ke Gappora (Gapura). Patih kerajaannya bernama Banyak Modhang.

DAFTAR ISI BUKU
Mozaik Caréta Dâri Madhurâ:
Antologi Cerita Rakyat Para Penghuni Pulau Madura

KATA PENGANTAR DARI PENULIS iii
DAFTAR ISI vi

LEGENDA MASYHUR MADURA
Asal Muasal Kata Madura 1
Jokotole, Legenda dari Madura 14
Ké Lésap dan Asal Usul Bangkalan 55
Legenda Panji Laras 69
Asal Usul Desa Pulau Mandangin dan Tragedi Bangsacara-Ragapadmi 78
Asal Usul Mengapa Orang Madura Menjadikan Jagung Sebagai Makanan Pokok 101
Asal Usul Kerapan Sapi dan Desa Parsanga 109
Asal Muasal Desa Pebabaran dan Kisah Tentang Keberanian Pangeran Trunojoyo Dalam Membela Rakyat Madura 114
Asal Muasal Munculnya Fenomena Carok dan Digunakannya Clurit Sebagai Senjata Tradisional Orang Madura 123

SUMENEP
Legenda Banyak Wide dan Asal Usul Sumenep 131
Asal Usul Kampung Mambang dan Desa Banasare 141
Asal Usul Desa di Pulau Gili Raja 145
Asal Usul Desa Aeng Panas 153
Asal Usul Batu Cenning Di Pandabah dan Jaddih Bangkalan, dan Dusun Ghunong Pekol Sumenep 156
Asal Usul Desa Gersik Putih, Kasengan dan Beraji 164
Asal Usul Karang Duak 170
Asal Usul Batu Cenning dan Desa Semma’an 173
Asal Usul Desa Beluk Raja 179
Asal Usul Desa Aeng Baja Rajah 185
Asal Usul Desa Ambunten dan Legenda Karang Menangis 190
Asal Usul Desa Karduluk 195
Asal Usul Desa Lalangon 200
Asal Usul Desa Bakeong 204
Asal Usul Desa Pamoangan 208
Asal Usul Desa Panaongan 212
Asal Usul Sumber Kacceng 216
Bhindhara Saod dan Asal Usul Desa Dungkek 220
Legenda Kera Diajar Ngaji 227

PAMEKASAN
Asal Usul Desa Sotabar Pamekasan 232
Asal Usul Somor Jhejjher dan Somor Ghendhis Desa Plakpak Kecamatan Ghentenan Pamekasan 235
Asal Usul Desa Galis Pamekasan 240
Asal Usul Api Tak Kunjung Padam 243
Asal Usul Sombher Kolla Kaljan Dempo-Timur Pasean Pamekasan 250
Asal Usul Pamekasan dan Kelurahan Kol Pajung 255
Asal Usul Kolam Si Ko’ol 259
Asal Usul Desa Pangbhâtok, Dusun Kosambih dan Kampung Aéng Nyono’ 265
Asal Usul Mengapa Air Laut Itu Asin 274
Asal Usul Kampung Begandan 278
Asal Usul Desa Muangan, Daerah Léngker Paté’, dan Desa Batu Ampar (Timur) 281
Asal Usul Desa Sopa’ah 90
Asal Usul Desa Kaduara Barat (Pamekasan) dan Kaduara Timur (Sumenep) 297

SAMPANG
Legenda Putri Nandi dan Asal Usul Desa Karongan 300
Legenda Sang Penjaga Pantai Taralam 304
Asal Usul Desa Tragih dan Torjunan 310
Asal Usul Desa Napo 314
Asal Usul Desa Banyuates 320
Asal Usul Desa Sokobanah 324
Asal Usul Desa Nagasareh 332
Asal Usul Desa Bapelle 338
Asal Usul Dusun Kajuabuh 342
Asal Usul Desa Kalangan Prao 345
Asal Usul Desa Banyusokah dan Dusun Sadah 349
Asal Usul Desa Tapa’an 355
Asal Usul Dusun Madegan 361
Asal Usul Desa Lepelle 364
Asal Usul Desa Kamoning 368
Asal Usul Desa Polagan 372

BANGKALAN
Asal Usul Blega 376
Asal Usul Pasarean Aeng Mata Ebhu dan Desa Buduran 385
Asal Usul Berkoneng dan Desa Ghili 390
Asal Usul Desa Kampak 396
Asal Usul Mengapa Warga Trogan Tidak Makan Mondung Dan Warga Berbelluk Menjadi Pengrajin Lencak 402
Asal Usul Pancoran dari Desa Tambak Agung 408
Asal Usul Desa Paterongan 415
Asal Usul Kampung Kramiyan 421
Asal Usul Arosbaya 426
Legenda Masjid Arosbaya 430
Asal Usul Desa Pocong dan Desa Tragah 441
Asal Usul Desa Lembung Gunung 450
Asal Usul Kampung Kramat Tikus 455
Asal Usul Dusun Mancingan 460
Asal Usul Dusun Banyuajuh dan Kampung Beruk 467
Asal Usul Desa Kramat 477
Legenda Si Cantik dari Pedeng 481
Asal Usul Desa Klampés 485

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: