Oleh: Iqbal Nurul Azhar
Selepas Presiden Obama memenangi Pemilu 2008 dan menyampaikan pidato kepresidenan yang pertama yang menggunakan gaya “blaccent” (saya menterjemahkannya sebagai gaya wicara orang kulit hitam), ada banyak komentar bermunculan. Ralph Nader seorang aktivis politik Amerika, penulis, dosen, pengacara, dan mantan kandidat abadi Presiden Amerika Serikat menyorotinya sebagai “pidato orang kulit hitam dengan gaya kulit putih.” Harry Reid, seorang pensiunan pengacara dan politisi Amerika yang menjabat sebagai Senator Amerika Serikat dari Nevada dari 1987 hingga 2017 menyebutkan pidatonya sebagai pidato yang “tidak memiliki dialek negro, kecuali Obama ingin memilikinya”
Salah satu asumsi yang dapat menjelaskan mengapa banyak orang tertarik memantau gaya bahasa yang digunakan oleh Obama dan memberikan stempel bermacam-macam pada gaya pidatonya adalah karena Obama adalah presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat. Fakta ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat yang seharusnya layak disebut sebagai negara Posrasial; ternyata adalah negara yang tidak setoleran yang kita kira. Bahkan Alim (2016) mengatakan bahwa alih-alih posrasial, masyarakat Amerika Serikat adalah masyarakat hiperrasial.
Tidak lama setelah Obama terpilih sebagai presiden AS, Masyarakat Linguistik Antropologi di Amerika Serikat di San Francisco berkumpul untuk membahas perlukah kiranya domain bahasa disertakan dalam proyek-proyek yang berhubungan dengan ras dan rasisme. Topik ini kemudian dibawa dalam diskusi parallel yang membahas tentang adanya kebutuhan untuk membangun sebuah teori tentang bahasa dan ras atau yang dikenal sebagai rasiolinguitik.
Rasiolinguitik benar-benar mendapatkan momentum yang tepat untuk besar ketika gerakan Black Lives Matter (BLM) semakin lama semakin membahana di dunia (Lihat Croom, 2020). Ketika BLM bergulir, pada saat itulah pegiat komunitas rasiolinguitik merasa benar-benar menemukan peranan mereka dalam masyarakat yaitu sebagai advokat antirasis khususnya rasis kebahasaan.
Ketika debat tentang ras dan relasinya dengan bahasa ini mengemuka di Amerika Serikat, kondisi ini tampaknya tidak membawa pengaruh signifikan pada situasi kebahasaan di Indonesia. Padahal, saya sendiri memandang bahwa Indonesia, adalah gudang dari kasus rasisme kebahasaan, yang ajaibnya hingga sekarang masih belum dianggap terlalu serius oleh masyarakat. Jenis kasus rasisme kebahasaan yang paling banyak dijumpai adalah rasisme kebahasaan individu. Satu kasus yang baru-baru ini hangat dibahas adalah kasus cuitan individual dari pegiat media sosial, Permadi Arya (Abu Janda) yang mempertanyakan evolusi dari eks Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, yang berdarah Papua (lihat Andita, 2021). Uniknya, di saat yang hampir bersamaan, Pigai juga dituding melakukan rasisme terhadap suku mayoritas yaitu Jawa dan Padang (lihat Genik, 2021).
Kasus rasisme kebahasaan individu lainnya yang cukup meresahkan akhir-akhir ini dilakukan oleh para buzzer politik sebagai akibat dari masih adanya polarisasi politik pasca pilpress 2018 silam. Para buzzer ini turut menyumbang jumlah kasus rasisme melalui bahasa dengan memunculkan kosakata-kosakata baru yang bernada rasis seperti ‘kadrun’ (kadal gurun) yang merujuk pada orang-orang Arab (Heriyanto, 2019), ‘aseng’ yang merujuk pada orang-orang Tiongkok, ‘antek barat’ yang merujuk pada orang-orang yang pro pada liberalism yang dimotori Amerika Serikat, dll, yang mana fenomena ini memperkeruh situasi kebahasaan di Indonesia. Hingga sekarang kosakata-kosakata rasis ini masih tetap digunakan dan intensitas penggunaannya di media sosial makin lama makin besar.
Rasisme institusional atau rasisme sistemik terkadang muncul tanpa disadari masyarakat. Rasisme jenis ini dapat berskala besar karena melibatkan negara. Kekurangseriusan pemerintah dalam merawat bahasa daerah yang jumlahnya enamratusan merupakan satu dari sekian contoh rasisme sistemik di Indonesia. Salah satu bukti dari dari ketidak seriusan pemerintah ini ada pada kasus kurikulum pendidikan nasional Indonesia yang tidak memasukkan kegiatan konservasi bahasa lokal ke dalam salah satu bagiannya. Wahyudin (2013) bahkan menyatakan di media massa keprihatinannya terkait kebijakan kurikulum pendidikan nasional yang dianggapnya telah melakukan tindakan kejahatan genosida kebahasaan karena pemerintah tidak secara eksplisit mencantumkan bahasa daerah sebagai bahasa yang harus dikuasai setara dengan bahasa nasional Indonesia atau bahasa Inggris.
Kasus rasisme kebahasaan epistimologis muncul dalam bentuk sudut pandang yang bersifat inferior. Salah satunya adalah berkaitan dengan cara pandang masyarakat terhadap ras dan bahasa lain, misalnya kulit putih dan bahasa Inggris, yang dianggap lebih baik dari diri mereka sendiri. Pandangan semacam ini oleh Motha disebut sebagai kolonialisasi kontemporer (Motha, 2020). Rasisme kebahasaan jenis ini muncul akibat pandangan inferioritas kepada bangsa dan bahasa ras lain serta menempatkan bangsa dan bahasa tersebut lebih tinggi dari bahasa sendiri dan penguasaan bahasa tersebut menjadi sebuah kebanggan. Satu kasus yang menunjukkan pandangan inferioritas rasial adalah banyaknya kritik (bahkan hoax) terhadap kemampuan pidato bahasa Inggris Presiden Indonesia, Jokowi, yang dianggap kurang jika dibanding dengan kemampuan pidato bahasa Inggris para pemimpin dunia lainnya (lihat Kominfo.go.id, 2020). Dalam kritik dan hoax tersebut, terdapat pernyataan eksplisit yang menganggap kemampuan Presiden Jokowi dalam berpidato bahasa Inggris dapat mempermalukan dan merendahkan bangsa Indonesia. Dari sini kita bisa melihat bagaimana orang Indonesia menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa yang tinggi dan menghubungkannya dengan kemampuan seorang pemimpin Indonesia melalui kompetensi ini.
Melihat fenomena-fenomen yang merupakan bentukan tindakan rasisme di Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan rasisme kebahasaan, maka tidaklah mengherankan jika Indonesia dimasukkan ke dalam 5 negara paling rasis sedunia. Survey yang diterbitkan koran the Washington Post pada tahun 2013 menyebutkan sebanyak 30-39,9 persen penduduk Indonesia termasuk kategori rasis (lihat Wijaya, 2013).
Hasil survey ini sangat mengejutkan mengingat Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur rasisme yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2018 tentang Penghapusan Diskriminasi Berdasarkan Ras dan Etnis yang mengharuskan adanya kebijakan pncegahan dan penindakan isu rasial oleh pemerintah. Selain undang-undang tersebut, Indonesia juga memiliki Undang-undang pasal 28 ayat 2 UUD 1945 soal HAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak terbebas dari diskriminatif. Dengan adanya dua landasan ini, namun dilain pihak fenomena rasisme makin marak di Indonesa, seharusnya rasiolinguistik telah lama tumbuh menjadi salah satu isu yang digemari di Indonesia, apalagi Indonesia merupakan negara yang memiliki penutur bahasa lokal yang sangat besar di dunia yang sangat rawan akan konflik internal. Atas dasar fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan rasiolinguistik.
Rasiolinguistik diharapkan tampil di depan dengan memberikan penambahan nuansa topik-topik diskusi yang sangat dibutuhkan untuk memperkaya wawasan masyarakat, misalnya dengan mengungkap dan yang terpenting adalah melegitimasi pendekatan-pendekatan baru yang dapat merekonstruksi batas-batas tradisional ras dan kebahasaan yang sangat kabur yang selama ini dipahami masyarakat dan seringkali menghasilkan prasangka, pengucilan, dan penindasan pada etnis, ras, serta bahasa monoritas. Rasiolinguitik memiliki peran turut membantu mengedukasi masyarakat dengan menunjukkan domain-domain rasisme khususnya dalam konteks kebahasaan. Rasiolinguistik dapat pula mendorong pemerintah untuk menginisiasi perencanaan bahasa nasional yang antirasis kebahasaan. Selain itu, rasiolingitik dapat berperan merubah inferioritas ras, etnik, bangsa dan kebahasaan, dengan menunjukkan rekonstruksi sosial yang lebih berimbang yang mana setiap ras, etnik, bangsa dan bahasa ditempatkan pada posisi yang sama. Pembongkaran atau dekonstruksi pikiran inferior yang berkaitan dengan ras yang oleh Motha (2020) disebut sebagai dekolonialisasi linguistik. Rasiolinguis diharapkan dapat membantu masyarakat dengan cara memberikan advokasi pada masyarakat yang mengalami masalah rasisme kebahasaan.