Bahasa dan Perubahan Biososial Masyarakat Di Masa Pandemi

Oleh: Iqbal Nurul Azhar

Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama lebih dari setahun lamanya merupakan sebuah krisis biososial, dalam artian bahwa pandemi ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan masyarakat saja tetapi juga vitalitas dasar-dasar sosialitas kehidupan manusia. Ia berdampak pada susunan fisiologis masyarakat yang terlihat dari kerentanan tubuh mereka pada keterpaparan virus serta timbulnya masalah-masalah epidemiologis. Tidak hanya itu, pandemi ini juga menghantam susunan biososial masyarakat. Biososial adalah sebuah konsep psikologi yang berusaha memahami perilaku sosial dengan cara mengaitkan dengan gejala-gejala biologis yang dimiliki oleh anggota masyarakat.

Berpijak pada konsep biososial ini, kita dapat melihat bahwa pandemi melahirkan hubungan linearitas antara perubahan masyarakat dengan fenomena biologis yang terjadi pada tiap individu masyarakat. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa aktivitas masyarakat berupa bergerak dan melakukan kontak antar manusia tidak hanya menjadi lingkungan hidup bagi virus Covid-19, tetapi juga merupakan habitat di mana kehidupan sosial yang melingkupi keberadaan virus tersebut pada akhirnya diorganisasikan kembali agar dapat beradaptasi dengan pesatnya penyebaran virus dan situasi masyarakat. Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Foucault dalam bukunya The Birth of Bio-power (2008, hlm. 242 dst) bahwa pandemi bekerja sebagai pengungkapan berbagai hubungan antarmuka antara tubuh biologis anggota masyarakat dengan sosialitas, serta konsekuensi epidemiologis, budaya dan sosial yang berhubungan dengan bagaimana tubuh berperilaku, diperlakukan, dikendalikan, dan didisiplinkan dalam biopower dispositif.

Jika dicermati secara seksama, pandemi memberi pengaruh pada holobion, yaitu tubuh manusia dalam dimensi fisik dan fisiologis sebagai organisme tuan rumah, serta bakteri, virus, dan organisme hidup lainnya yang ada disekitarnya. Ketika virus hadir diantara komunitas masyarakat dan membatasi gerak mereka, tubuh individu-individu masyarakat secara instingtif melakukan usaha berkumpul secara sosial, berusaha bergandengan tangan secara moral dan normatif dengan standar darurat, berusaha disiplin dan mendisiplinkan diri mereka sendiri, mengeksplorasi solusi dalam rangka memudahkan organisasi interaksi sosial, serta membatasi sekaligus membentuk kembali praktik-partik komunikasi yang telah ada dengan cara yang masih tetap bermakna. Inilah yang dikenal sebagai perubahan sosio-holobion.

Salah satu bentuk dari perubahan sosio-holobion yang sangat terasa di sekitar kita di masa pandemi ini adalah tentang bagaimana masyarakat kita bertukar sapa dalam sebuah interaksi sosial.  Jika kita jeli mengamati seluruh aspek komunikasi masyarakat dengan menggunakan multimodal yang biasa digunakan masyarakat, akan terlihat perubahan mendasar ini. Dasar-dasar sosialitas masyarakat bergeser dan melahirkan tantangan-tantangan tersendiri bagi mereka untuk beradaptasi.

Ketika otoritas kesehatan masyarakat di seluruh dunia seperti WHO menetapkan rekomendasi mengenai ‘jarak sosial’ dan ‘jarak fisik’ sebagai langkah-langkah mitigasi untuk menghentikan penularan yang secara terpusat menargetkan salam (tidak ada pelukan, tidak ada jabat tangan, tidak ada salam tempel pipi, jika terpaksa berkomunikasi maka harus berjauhan dan bermasker), maka langkah-langkah ini, dalam perspektif epidemiologis, dipahami sebagai langkah-langkah untuk memperlakukan tubuh manusia (seperti tangan, tubuh, keringat, air liur di mulut) sebagai vektor penularan. Dengan demikian, ketika tradisi salam yang melibatkan sentuhan-sentuhan fisik tersebut di tiadakan, ini kemudian menjadi sebuah dilema bagi masarakat. Mereka yang teguh pada tradisi bahwa berkomunikasi harus dimulai dengan salam berupa sentuhan fisik baik itu tangan, tubuh atau pipi, akan menemukan kejanggalan jika mereka tidak melakukannya. Di lain pihak, mereka yang tidak terbiasa melakukan hal ini akan menemukan sebuah petualangan karena pada akhirnya mereka dapat mengeksplorasi cara-cara lain untuk menyapa secara aman dalam perspektif kesehatan namun tetap manusiawi. Apapun yang mereka pilih, pada akhirnya masyarakat menanggapi ‘tantangan berucap salam secara nonfisik’ ini dengan cara yang berbeda.

Jabat tangan, pelukan, dan salam tempel pipi merupakan bagian dari sosialisasi haptik (bersosialisasi dengan melibatkan pertemuan anggota tubuh) yang rutin dilakukan di era pra-Covid-19. Ketika pandemi muncul, masyarakat  yang terbiasa bertegur sapa dengan cara ini, kemudian melakukan restrukturisasi budaya.  Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mondada, L, et.al (2020), setidaknya ditemukan dua cara restrukturisasi ini. Pertama masyarakat melakukannya dengan menangguhkan aktivitas sosialisasi haptik untuk waktu yang tak bisa ditentukan. Kedua, mereka secara eksplisit melakukan negosiasi sosialisasi haptik, yang bisa berakhir dengan menerima, atau menolak berpelukan dengan orientasi pada keharusan menjaga jarak.

Dua pilihan tersebut diatas tidak hanya berujung pada dilema apakah masyarakat harus memilih bertegur sapa secara haptik atau tidak, namun juga melahirkan  konsekuensi radikal yaitu mereka dituntut untuk tetap mempertahankan praktik ‘tradisi lama’ dan menemukan ‘tradisi baru’ dalam menyapa. Jika tradisi baru ini ditemukan, alternatif-alternatif yang munculpun, meskipun dilabeli  semangat ‘mempertimbangkan aspek ‘sosial’ atau ‘menjaga jarak,’ masih akan tetap bertentangan dengan aturan ‘jarak sosial’ dan ‘kontak sosial’ yang digaungkan dalam berbagai wacana pencegahan dan penanggulangan virus.

Eksplorasi kreatif tentang cara-cara baru dalam melakukan sentuhan dan sapaan jarak jauh seperti  meletakkan dua telapak tangan di atas dada, memiliki orientasi pada relevansi kesopanan. Adapun sedikit membungkuk di kejauhan memiliki relevansi yang berbeda yaitu pada formalitas dan penghormatan. Praktik ini pada akhirnya ‘ditemukan’ dalam rangka melestarikan sosialitas haptik ke dalam formatnya yang baru.

Cara-cara baru adalah cara-cara yang sedikit ‘memaksa’ dengan memperbarui cara-cara yang telah ada dan menempatkannya dalam konteks dan situasi yang baru. Mondada, L, et.al (2020) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ketika cara-cara kreatif ini di lakukan, diawal-awal masa pandemi, sering kali menimbulkan kecanggungan dan gelak tawa. Uniknya, melihat perkembangan belakangan, beberapa teknik sapaan gaya baru, yang salah satunya adalah sentuhan siku dan kaki, ternyata sukses secara konvensional dan mengendap di benak masyarakat. Ini ditunjukkan dengan banyaknya praktik sapaan ini yang berjalan mulus, tanpa hambatan, tanpa kecanggungan dan tawa lagi.

Perubahan ini menunjukkan bahwa masyarakat telah terlibat secara aktif dan cerdas dalam ‘menemukan’ teknik sapaan ‘jarak fisik dan sosial’ yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan tanpa pernah meninggalkan prinsip-prinsip dasar sosialitas manusia yang sedari dulu selalu menjadikan sapaan haptik sebagai bagian dari hidup.

Lantas apa implikasi dari kemunculan teknik sapaan baru ini terhadap kualitas sosial masyarakat? Adanya tantangan sapaan di masa pandemi ini secara tidak langsung membuat masyarakat mengupgrade diri mereka dengan cara mempraktikkan akuntabilitas tindakan (lihat Garfinkel, 1967). Akuntabilitas ini memiliki dua dimensi yang berbeda tetapi saling terkait. Pertama adalah kejelasan tindakan, hubungan timbal balik serta kepercayaan antar peserta komunikasi. Ketika seseorang melakukan teknik sapaan baru, maka ia sangat jelas berharap bahwa lawan komunikasinya akan melakukan hal yang sama. Tanpa adanya timbal balik ini akan membuat komunikasi menjadi canggung dan bisa jadi mempermalukan salah satu pihak. Dengan demikian, aktivitas  sapaan teknik baru ini membuat masyarakat belajar untuk menghargai wajah positif seseorang dan keinginan orang lain dalam menerapkan protokol kesehatan. Kedua adalah normatifitas tindakan dan harapan moral. Karena sapaan ini telah menjadi konvensi umum, maka masyarakat diharapkan paham akan trend ini dan secara perlahan menjadikannya sebagai pegangan dan bagian dari hidup. Orang yang tidak toleran dengan trend ini akan dianggap kurang bermoral.

Dengan demikian, Pandemi Covid-19 pada hakikatnya merupakan sebuah inkubasi sosial bagi masyarakat untuk belajar menjadi lebih dewasa dan toleran, serta belajar memodifikasi sesuatu yang telah ada agar tetap menjadi bermakna.  Mereka juga belajar untuk menerima suatu hal baru dalam kehidupan mereka tanpa perlu melakukan resistensi. Bentuk sapaan rutin yang berubah merupakan sebuah dokumentasikan revolusi kondisi sosial masyarakat untuk beradaptasi pada perubahan. Ia membuat kita memahami bagaimana pandemi mempengaruhi sosialitas manusia, dan memberikan masyarakat kesempatan langka untuk menjadikan hidup mereka tetap bewarna.

Referensi:

Foucault, M. (2008). The Birth of Bio-power (1978–79). London: Palgrave.

Garfinkel, H. (1967). Studies in ethnomethodology. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Mondada, et.al (2020) Human sociality in the times of the Covid-19 pandemic: A systematic examination of change in greetings dalam Journal of Sociolinguistics. 2020;24:441–468. DOI: 10.1111/josl.12433

Tinggalkan komentar