Bahasa dan Linguistik di Pengadilan: Mendengar Kesaksian “Yang di Bisukan” Rachel Jeantel di Ruang Sidang

Oleh: Iqbal Nurul Azhar (Arizona State University)

Saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Rickford dan King (2016) berjudul Language and Linguistics on Trial: Hearing Rachel Jeantel (and Other Vernacular Speakers) in The Courtroom and Beyond  (Bahasa dan Linguistik di Pengadilan: Mendengar Rachel Jeantel (dan Pembicara Vernakular Lainnya) di Ruang Sidang dan Di Luar ruangan. Dalam artikel tersebut disebutkan Rachel Jeantel, yang bersaksi di pengadilan atas kematian temannya yang bernama Trayvon Martin, seorang pemuda kulit hitam yang tewas ditembak oleh George Zimmerman, seorang laki-laki kulit putih, mengalami ketidakadilan yang dilakukan oleh pengadilan. Kesaksiannya yang menggunakan bahasa Inggris gaya Afro American Vernacular English (AAVE) ‘Bahasa Lokal Dialek Orang Keturunan Afrika’, meskipun cukup sistematis, ternyata salah ditafsirkan, diremehkan, dan karenanya kesaksiannya yang penting diabaikan karena sebagian besar para juri pengadilan tersebut tidak paham apa yang ia katakan. Pengadilan itu juga menunjukkan nuansa bias rasis yang sangat kuat terhadap para penutur AAVE. Akibatnya, George Zimmerman, sang penembak Trayvon Martin, lolos dari jeratan hukum. Kasus ini menjadi ilustrasi paling popular di Amerika Serikat dewsasa ini untuk membantu menjelaskan bias yang berakar pada ketidak adilan ras yang banyak muncul dan dialami orang-orang minoritas, seperti orang kulit hitam, hispanik dan asia.

Artikel Rickford dan King (2016) tersebut sangat menarik karena memberikan pemahaman baru pada saya bahwa variasi bahasa dapat membawa dampak yang signifikan bagi kemanusiaan jika kita tidak tahu bagaimana menyikapinya. Secara umum, kebanyakan dampak yang timbul yang disebabkan oleh penggunaan variasi bahasa adalah kegagalan komunikasi yang dapat dengan mudah diatasi dengan melakukan negosiasi makna. Namun melihat masalah yang begitu besar dalam kasus Rachel Jeantel yang timbul karena salah dalam memahami variasi bahasa yang diucapkan oleh wanita ini, maka saya melihat negosiasi makna sepertinya tidak cukup dan tidak tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah klasik ini.

Kasus Rachel Jeanthel tidak hanya sebuah kasus kegagalan komunikasi biasa. Dibelakang ini, terdapat bias rasis sehinggga dengan mudahnya lembaga terhormat yang disebut peradilan tidak mempertimbangkan langkah-langkah preventif agar apa yang disampaikan oleh Rachel Jeanthel dapat dipahami dengan baik. Lembaga peradilah seharusnya memiliki asisten bahasa yang netral dapat menyampaikan kesaksian Rachel Jeanthel apa adanya. Namun karena adanya bias rasis, dalam hal ini karena Rachel Jeanthel merupakan orang kulit hitam yang menggunakan AAVE, maka peradilan menafikan tindakan preventif ini yang pada akhirnya mencederai keadilan.

Sebelum kasus Rachel Jeantel terjadi dan berkembang menjadi pergerakan #BLM (Black Lives Matter), isu rasisme kebahasaan sebenarnya telah terjadi sejak dulu di Amerika. Sebelum Amerika Serikat bersatu, isu rasisme kebahasaan menyatu dengan isu sistem perbudakan yang kebanyakan diadopsi di wilayah-wilayah bagian selatan Amerika. Setelah perang sipil antara Union dan Konfederasi selesai dan Amerika Serikat giat membangun utamanya di sektor pendidikan, isu rasisme ini masih belum hilang. Perlakuan tidak adil ini seringkali dibawa ke ranah publik dan menjadi isu besar pendidikan di Amerika Serikat. Salah satunya adalah kasus ‘The Black English Trial in Ann Arbor’ yang berkaitan dengan protes para orang tua siswa kepada sekolah yaitu The Martin Luther King Elementary School in Ann Arbor yang dianggap bertindak rasis dengan memarjinalkan anak-anak mereka yang menggunakan bahasa Inggris vernacular (Lihat Labov dalam Wei, 2004). Meskipun penyelesaian kasus ini menjadi absurd, namun setelah kasus ini mencuat dan diiringi juga kasus-kasus lainnya yang mulai nampak ke permukaan. Dengan demikian, tindakan sistematis yang dapat memutus rantai rasisme kebahasaan ini perlu kiranya diupayakan.

Sebagai seorang akademisi, saya sepakat dengan Flores dan Rosa (2015) yang mengatakan bahwa untuk menghilangkan bias rasis kebahasaan di Amerika Serikat, salah satu solusi terletak pada bagaimana semua orang khususnya para akademisi, siswa dan para orang tua di sekolah terlibat dengan aktif menghadapi dan pada akhirnya membongkar hierarki rasial masyarakat Amerika Serikat. Dengan ini, ketidaksetaraan ras menjadi dapat diminimalisir. Selain itu saya juga sepakat apa yang disampaikan oleh Inoue (2006) yang menyebutkan bahwa tindakan penguatan pada bahasa minoritas adalah dengan merubah parameter bahasa yang biasanya dimiliki orang-orang kulit putih, menjadi lebih berwarna. Harapannya, dengan adanya perubahan parameter ini, maka masyarakat umum diharapkan memiliki wawasan lebih luas tentang variasi bahasa sehingga mereka menjadi terbuka dan toleran pada variasi bahasa seperti yang ditunjukkan orang minoritas semacam Rachel Jeanthel dan lainnya. Dengan adanya toleransi dan penghargaan pada variasi bahasa, siapapun yang bersaksi, serta bersengketa di peradilan, akan mendapatkan kepuasan dan keadilan yang diharapkan.

Source:

Flores, N. & Rosa, J (2015). Undoing Appropriateness: Raciolinguistic Ideologies and Language Diversity in Education. Harvard Educational Review Vol. 85 No. 2 summer.

Inoue, M. (2006). Vicarious language: Gender and linguistic modernity in Japan. Berkeley: University of California Press.

Rickford, J.R & King, S (2016) Language And Linguistics On Trial: Hearing Rachel Jeantel (And Other Vernacular Speakers) In The Courtroom And Beyond Language, Volume 92, Number 4

Wei, L (2014) Applied Linguistics. West Sussex: Wiley Blackwell

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: