Oleh: Iqbal Nurul Azhar (Universitas Trunojoyo Madura – Arizona State University)
Pemilihan umum (Pemilu) 2023-2024 akan tiba. Media massa sebagai salah satu komponen masyarakat yang terbiasa mengambil bagian aktif dalam Pemilu telah mulai menyiapkan diri menyambut hajat terbesar bangsa ini. Persiapan ini dilakukan jauh-jauh hari karena setiap media massa pasti tahu akan konsekuensi dari eksistensi dan peranan mereka sebagai mediator berita bagi masyarakat. Mereka di satu sisi dapat menjadi sosok protagonis karena tanpa lelah menyediakan informasi yang konstruktif. Di lain sisi, mereka dapat pula menjadi sosok antagonis karena sengaja atau tidak sengaja menyebarkan propaganda yang tidak akurat alias hoax. Mengingat peran penting media massa inilah, berbagai skenario selalu mereka siapkan. Mereka bisa saja pro pada satu kubu atau pada kubu mana saja asalkan kubu-kubu tersebut beriringan dengan ideologi cair mereka. Secara unik, media massa dapat dikatakan sebagai lembaga yang tahan banting karena hampir selalu dapat mengisi celah-celah sempit yang aman di dalam setiap relung carut-marut bangsa untuk memastikan vitalitas hidup mereka.
Nuansa berbeda dari visi dan aksi media massa akan nampak terlihat setiap kali bangsa ini menghadapi Pemilu. Khusus Pemilu 2023-2024 kali ini (terlepas dari banyaknya media indie yang sangat antusias menyambut Pemilu 2023-2024 dengan pemberitaan tendensius mereka), beberapa media massa mainstream terlihat memiliki kepercayaan diri yang rendah dalam menyongsongnya. Sikap sub-produktif ini dapat secara implisit ditangkap dari arah pemberitaan mereka yang terkesan hati-hati dan tidak menyudutkan pihak-pihak tertentu khususnya pihak-pihak yang telah lama menjadi patron politik bangsa ini. Dalam kaca mata banyak pengamat, aksi ini dianggap sebagai sebuah tindakan preventif untuk menyelamatkan image mereka karena hingga sekarang, pihak-pihak yang akan memenangkan pertarungan epik dalam Pemilu masih belum terlihat. Kondisi perpolitikan masih sangat cair dan apapun bisa saja terjadi sehingga pengelola media massa yang berpengalaman akan berusaha menjaga agar tidak salah langkah.
Kemunculan perasaan khawatir dan hati-hati ini sebenarnya adalah lumrah mengingat bagaimanapun, media massa merupakan kumpulan dari aktivis dan pekerja jurnalistik yang tidak akan mungkin dapat lepas dari subjektivitas. Meskipun mereka berpegang teguh pada kode etik jurnalistik, hal-hal yang bersifat force majeure bisa saja merubah idealisme mereka. Bukti konkrit dari dilemma jurnalistik ini terlihat dari postingan berita yang ada di situs resmi kominfo tentang netralitas media yang dipertanyakan karena bersikap tidak netral mendukung pihak-pihak tertentu dengan memberikan pemberitaan yang berlebih-lebihan pada pihak-pihak yang terafiliasi dengan mereka. Pemberitaan kominfo ini masih bertahan hingga sekarang dan secara jelas menampilkan stasiun televisi mana saja yang bersikap tidak netral. Akibatnya, image masyarakat terhadap media-media tersebut telah terbentuk yang pada akhirnya stasiun-stasiun televisi tersebut kemudian dianggap sebagai kendaraan politik dan pendukung satu kubu. Image ini tentu saja sulit untuk dihilangkan.
Dari apa yang terlihat secara samar, kita dapat menyimpulkan bahwa kekhawatiran ini kebanyakan berpusat pada bagaimana situasi dan dinamika politik mempengaruhi berita-berita yang mereka sajikan, atau bagaimana strategi kampanye para politikus dapat mempengaruhi independensi dan objektivitas mereka. Ketegangan dan kewaspadaan terhadap Pemilu 2023-2024 ini juga diperparah dengan diberlakukannya UU ITE tahun 2008 yang membatasi kebebasan dan power mereka untuk menyediakan berita yang frontal. Objektifitas dalam konteks ini menjadi polemik karena sejauh yang kita lihat, impelementasi UU ITE masih bersifat absurd dan terlihat seringkali memuaskan kepentingan segelintir kelompok elit.
Secara umum, fitur-fitur pemberitaan Pemilu semakin lama terlihat semakin dinamis. Ini karena secara bertahap, media-media massa mulai berlomba-lomba menyediakan informasi yang bersifat multimodal (multibentuk) yang sinkronik (terikat waktu), maupun diakronik (lintas waktu). Kita juga dapat melihat bahwa aktivitas media seputar Pemilu mengikuti alur tiga babak, yaitu pra-Pemilu, in-Pemilu dan pasca-Pemilu. Aktifitas-aktifitas ini juga terlihat berpola repetitif sehingga tidak salah jika sebagian masyarakat menyebutnya sebagai tradisi. Saya sendiri lebih suka menamainya sebagai tradisi wacana media tentang Pemilu karena inti dari tradisi ini adalah proses memproduksi, mereprodusksi dan memasarka informasi kepada masyarakat seputar Pemilu. Meskipun tradisi ini terus berkembang, terlepas dari hal-hal yang bersifat detail yang terus beradaptasi di dalamnya, kita masih dapat memprediksi tentang apa yang akan terjadi selama Pemilu 2023-2024.
Narasi-narasi yang beredar akhir-akhir ini terkesan memberi sinyal bahwa pemberitaan media massa selama Pemilu 2023-2024 akan tetap memperlihatkan nuansa rivalitas dikotomi “kami” dan “mereka.” Sebuah nuansa yang secara komprehensif digagas oleh Van Dijk dalam model sosiokognitifnya. Dalam konteks media massa di Indonesia, nuansa ini merupakan manifestasi dari sisa-sisa polaritas yang terjadi sejak Pemilu sebelumnya yang menarik banyak media massa mainstream untuk tidak bisa tidak, terpaksa mendukung salah satu dari dua kubu yang berkontestasi. Polaritas dalam dunia jurnalistik bukan merupakan hal yang aneh karena fenomena seperti ini banyak di jumpai di berbagai belahan bumi manapun (yang terkini terlihat dalam kasus dukungan terhadap disintegrasi Katalan dari negara Spanyol (lihat Soler dan Erdocia, 2020)). Pada intinya dalam fenomena yang kompetitif ini, media massa telah menjadi garda terdepan dari sebuah kubu untuk menarik pelatuk argumentasi.
Polarisasi media massa di Indonesia merupakan salah satu dari ekses negatif dari pertarungan para elit rezim. Para elit yang dominan pasti akan berusaha mencari cara untuk mempertahankan kekuasaan atau melegalkan tindakan dan pandangan politik mereka dengan menciptakan konsensus yang terlihat seakan-akan melegitimasi segala sepak terjang dan dominasi mereka. Mereka butuh media karena media merupakan sebuah alat yang dapat menjangkau audience yang sangat luas serta secara unik mampu memanajemeni pikiran melalui pindakan-tindakan memanipulasi sumber-sumber pengetahuan (referensi), kepercayaan-kepercayaan yang ada, ideologi, hingga norma-norma yang dianut para audience tersebut. Adanya kebutuhan elit akan kooperasi media ini yang secara simbiosis mutualisme diimbangi dengan adanya kebutuhan pengelola media massa pada akses-akses sumber kapital untuk memodali aktivitas jurnalistik mereka, menyebabkan sebagian media massa yang kurang idealis menjadi mudah untuk “dijinakkan.” Seperti yang di gambarkan oleh Van Dijk, “kejinakan” media massa pada elit rezim secara alami merupakan salah satu privilese dari kekuasaan.
Polarisasi media massa ini, dapat diprediksikan akan menyebabkan bahasa jurnalistik media massa bergerak seirama dengan arah ideologi mereka. Mengutip dari gagasan Van Dijk tentang bahasa media, bahasa media massa yang terpolarisasi di Indonesia akan cenderung menggunakan enam gaya bahasa persuasif untuk mengubah pikiran audience. Pertama, media massa akan mengeluarkan pemberitaan yang bergaya argumentatif dengan menampilkan fakta-fakta negatif yang diklaim tidak dapat disangkal oleh kubu lawan. Kedua, media massa akan mengeluarkan pemberitaan yang bergaya retoris hiperbolis yaitu pemberitaan secara berlebih-lebihan dari tindakan tercela kubu lawan dan secara seimbang melakukan pemberitaan secara bombastis tindakan positif dari kubu sendiri. Ketiga media massa akan mengeluarkan pemberitaan yang penuh dengan leksikon-leksikon jargonistik untuk mengimplikasikan evaluasi negatif dari kubu lawan dan evaluasi positif untuk kubu sendiri. Keempat media massa akan mengeluarkan pemberitaan yang bersifat naratif (semacam dongeng) untuk menceritakan pengalaman buruk selama berinteraksi dan hidup dalam domain kubu lawan. Kelima media massa akan mengeluarkan pemberitaan yang agresif dalam bentuk penulisan headline-headline negatif yang menimbilkan daya kejut untuk mendeskreditkan kubu lawan. Keenam media massa akan mengeluarkan pemberitaan-pemberitaan yang mengandalkan quoting, atau pengutipan dari saksi kredibel, pakar ahli, berita-berita internasional, untuk mendegradasi image dari kubu lawan.
Pemetaan gaya bahasa pemberitaan di atas mengerucut pada sebuah simpulan bahwa bahasa-bahasa persuasif yang polaris di prediksikan akan sangat massif dijumpai keberadaannya selama Pemilu 2003-2024. Jika masyarakat tidak dapat menyikapi fenomena ini dengan seksama, maka mereka akan diombang-ambingkan oleh bahasa-bahasa retorika yang cenderung memiliki daya hipnotis tersebut. Untuk menyikapi hal ini, pengetahuan terhadap pendapat para analis wacana kritis, seperti Fairclough (1995) cukup membantu memberikan bekal mereka dalam bersikap.
Fairclaugh (1995) menyatakan bahwa pada intinya, setiap kali sebuah diskursus beredar di masyarakat, dikursus tersebut pasti memiliki tiga komponen. Komponen tersebut adalah teks, praktik wacana, dan praktik sosiokultural. Dalam konteks Pemilu di Indonesia, teks yang dimaksud dapat dimaknai sebagai segala media yang dapat mentrasfer ide dari pembuat ide kepada audiencenya. Dengan demikian, teks-teks yang dimaksud dapat berbentuk berita di surat kabar, liputan di televisi, postingan-postingan internet, lagu-lagu, video-video pendek di YouTube dan Tik-tok, pesan berantai WhatsApp, serta teks-teks media lainnya. Teks ini harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki maksud sehingga tidak dapat dimaknai sebagai sebuah fenomena biasa dan netral karena di dalamnya pasti ada pesan yang harus dienkripsi (dicerna) oleh audience. Dengan demikian, masyarakat harus mulai belajar untuk dapat menetralisis daya hipnotis dari pesan-pesan tersebut agar mereka dapat bersikap bijak. Komponen kedua adalah praktik wacana yaitu proses pembuatan dan konsumsi wacana. Proses ini berjalan secara rumit dan dilakukan dengan perencanaan yang matang oleh pembuat teks (politikus dan jurnalis). Dengan demikian, masyarakat setidaknya diharapkan paham tentang siapa yang memproduksi wacana tersebut, siapa yang menjadi konsumen dari wacana tersebut, dan apa maksud wacana itu dibuat. Ketiga adalah praktik-praktik sosiokultural yang berhubungan dengan wacana, yaitu segala respon, ativitas, tindakan, kepercayaan dari masyarakat, yang timbul setelah wacana itu beredar dan mereka konsumsi. Masyarakat harus paham bahwa inti dari wacana adalah merubah pandangan, sikap dan prilaku mereka tentang sesuatu sehingga mengetahui secara detail tentang identitas dari wacana merupakan sebuah tindakan yang bijak karena dapat menjaga diri mereka untuk tidak menjadi korban politik pratis semasa Pemilu nanti.
Secara lebih spesifik, pemahaman yang bagus pada wacana media akan membantu masyarakat untuk memahami dan menganalisis berbagai narasi yang muncul dalam pemberitaan. Pengetahuan ini dapat membantu masyarakat membedakan antara fakta dan opini, serta memahami bagaimana berita dipresentasikan dan diorganisasikan untuk mempengaruhi pandangan publik. Selain itu, pengetahuan masyarakat pada wacana akan membantu mereka menentukan subjektifitas, yaitu mereka akan menjadi paham bagaimana berita dipengaruhi oleh pemikiran dan perasaan subjektif dari pembuat berita. Ini membantu masyarakat membuat keputusan yang terukur. Pengetahuan akan wacana ini juga dapat membuat masyarakat mendeteksi propaganda dan manipulasi informasi dalam pemberitaan. Mereka juga secara cepat dapat membuat penilaian tentang akuntabilitas media karena mereka menjadi sadar bahwa media massa yang sering mereka konsumsi telah mendapatkan pengaruh dari para politikus dan rezim-rezim yang ada. Seluruh hal positif yang mereka pahami akan membantu mereka untuk mempertahankan pandangan terbuka dan kritis terhadap berita-berita dan media massa dimana berita-berita itu dimuat.
Referensi
Fairclough, N. (1995). Critical Analysis of Media Discourse. In Media Discourse (Vol. 6, pp. 53–74). Arnold.
Soler, J., & Erdocia, I. (2020). Language Policy and the Status of Languages in Contemporary Catalonia: A public debate. European Journal of Language Policy, 12(2), 215–234. https://doi.org/10.3828/ejlp.2020.11
Van Dijk, T. A. (1993). Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse & Society, 4(2), 249–283. https://doi.org/10.1177/0957926593004002006