KETIKA BAHASA MADURA TIDAK LAGI BERSAHABAT DENGAN KERTAS DAN TINTA (Sebuah Kajian Ethnolinguistics Ditinjau Dari Sudut Pandang Sosiolingistics)

Oleh: Iqbal Nurul Azhar

Artikel Ini Telah Terbit di Buku Bahasa dan Sastra Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif , ISBN No. 978-979-1262-25-5. Diterbitkan atas kerjasama the Faculty of Language  and Art, Yogyakarta State University dan Tiara Wacana publisher. 2008

Abstact: Madurese language, one of the Indonesian ethnic languages, is functioned well by its users. This language is used by Madurese people as their means of communication in all aspects of life. However, there is an interesting phenomenon in Madurese people’s interactions related to their language-written-form choice that needs to be studied. This is true that as they interact with their Madurese friends they use Madurese language, yet when this interaction shifted to the written one, the usage of Madurese language does not arise anymore. This is an interesting sign that there is somewhat different language use between spoken and written form and likely this phenomenon will become a threat to the existence of Madure language in the future.

Key words: Madurese Language, Code Shifting

1. PENDAHULUAN
Pada judul artikel ini, kertas dan tinta yang dimaksud adalah alat yang digunakan untuk menulis. Bersahabat di sini didefinisikan sebagai frekuensi penggunaan Bahasa Madura. Dikatakan bersahabat apabila frekuensi penggunaan bahasa Madura dalam tulisan adalah sering. Dan dikatakan tidak bersahabat apabila frekuensi penggunaan bahasa Madura jarang atau bahkan mungkin tidak pernah. Tulisan ini mencoba mengupas sebuah terminologi yang biasa muncul dalam sosiolingistik yaitu “code shifting” atau “alih bahasa” dan menghubungkanya dengan realita yang berhubungan dengan pengunaan bahasa daerah di Madura,  daerah yang mayoritas penduduknya menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa komunikasi sehari-hari .

Madura dengan empat kabupatennya yaitu Bangkalan, Sampang Pamekasan dan Sumenep  tidak hanya didiami orang Madura saja,  tapi daerah ini didiami juga oleh orang Jawa, Sunda, Sumatera, Cina, dan Arab. Namun, meskipun struktur masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis, mayoritas dari populasi pulau ini adalah penutur asli bahasa Madura yaitu orang Madura dan bahasa komunikasi merekapun bahasa Madura.

Pemerintah menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional yang wajib digunakan oleh segenap suku bangsa di Indonesia, sehingga Madura sebagai bagian dari suku bangsa di Indonesia juga menggunakan bahasa tersebut. Akibatnya orang Madura menjadi bilingual, yaitu mereka mampu menguasai dua bahasa dengan baik. Bahkan ada sebagian daerah yang penduduknya multilingual karena mereka tidak hanya mahir bahasa Madura dan bahasa Indonesia, mereka juga mahir bahasa Jawa atau bahkan bahasa Kalimantan.

Berdasarkan kemampuan mereka yang bilingual atau multilingual ini, kita mungkin dapat bertanya, kira-kira apa yang terjadi andaikata masyarakat ini kemudian berada dalam sebuah situasi bilingual atau multilingual, sebuah situasi yang memberikan mereka kebebasan untuk memilih bahasa apa yang mereka gunakan? Bahasa apakah yang akan mereka pakai dalam konteks ini? Dan apabila pertanyaan ini kemudian dihubungkan dengan konteks komunikasi modern, yaitu sebuah konteks dimana komunikasi antar orang Madura dengan munggunakan piranti elektronika seperti handphone telah menjadi trend, fenomea linguistik apakah yang mungkin muncul dalam konteks tersebut? Bahasa apakah yang mereka pakai dalam komunikasi via handphone? Bahasa manakah yang mereka pilih dalam menulis pesan SMS? Ini beberapa pertanyaan yang sangat menarik untuk dikaji.

Penulis memiliki banyak teman yang berasal dari suku yang sama dan telah bergaul dengan mereka selama bertahun lamanya. Setelah sekian lama bergaul dengan mereka, penulis menjumpai sebuah fenomena menarik dalam interaksi kami yang berhubungan dengan pemilihan bahasa yang akan dipakai dalam tulisan. Dalam komunikasi sehari-hari, kami memang menggunakan bahasa Madura, namun ketika komunikasi ini beranjak menuju komunikasi tulis, katakanlah komunikasi dalam bentuk surat atau SMS, maka bahasa Madura tidak di pakai lagi. Ini menjadi sebuah tanda tanya besar dalam benak penulis. Dan pertanyaan yang pertama kali muncul adalah apakah absennya bahasa Madura dalam tulisan ini hanya terjadi pada interaksi kami saja, ataukah fenomena ini telah menjadi sebuah budaya dan dilakukan oleh hampir oleh seluruh orang Madura? Jika memang benar fenomena ini adalah budaya, maka kekhawatiran para tokoh Madura bahwa suatu saat bahasa Madura akan punah telah mulai terbukti adanya. Bahasa Madura telah mulai punah dalam tataran komunikasi tulisan.

Untuk menjawab pertanyaan inilah artikel ini ditulis. Artikel ini pada intinya berusaha menjawab tiga pertanyaan mendasar yang berhubungan dengan absennya bahasa Madura dalam tulisan, yaitu: a. Faktor-faktor yang melatar belakangi alih bahasa orang Madura dalam komunikasi via tulisan, b. Dampak alih bahasa terhadap bahasa Madura, dan c. Peranan bahasa Madura terhadap perkembangan bahasa Indonesia.

2. PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang melatar belakangi alih bahasa dalam bahasa tulis orang  Madura
Beberapa penelitian dalam bidang sosiolinguistik mengusulkan setidak-tidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi kelahiran alih bahasa. Gil menyebutnya sebagai tiga faktor dominan. Ketiga faktor tersebut antara lain, status bahasa, demografi and institusi. (Gil dalam Setiawan 2001:175). Sedang dalam konteks bahasa Madura, penulis mengajukan setidak-tidaknya ada lima faktor yang mungkin mempengaruhi kemunculan alih bahasa dalam tulisan. Faktor tersebut antara lain, demography, status bahasa, karakteristik bahasa madura, diglossia  dan yang terakhir trend.

A.1  Demografi
Faktor demografi menjadi faktor pertama yang dibahas dalam artikel ini. Pada bagian pendahuluan, penulis menyebutkan bahwa pulau Madura tidak hanya dihuni oleh etnis Madura saja, namun juga oleh etnis-etnis yang lain seperti Jawa, Sunda, Arab, Cina, dan Sumatera. Keberagaman etnis inilah yang kemudian membentuk demografi Madura seperti yang kita lihat dewasa ini. Etnis-etnis tersebut saling berbagi peran dan bersatu membentuk masyarakat yang harmonis.

Meskipun etnis di luar etnis Madura, katakanlah etnis Jawa, hanyalah etnis minoritas, dan komunitas merekapun tidak terlalu luas, namun etnis ini berperan penting dalam aktivitas keseharian masyarakat Madura. Banyak diantara orang Jawa memiliki peranan sosial cukup penting. Mereka ada yang menjadi pegawai PEMDA, guru, dosen, dokter, kuli bangunan, bahkan pedagang kaki lima. Mereka harus dapat bertahan hidup di tempat yang baru tersebut, dan mereka mulai melakukan pertahanan hidup ini dalam bentuk melakukan interaksi dengan penduduk lokal. Pendatang ini memiliki kekurangan, dan kekurangan ini adalah mereka tidak mengerti bahasa Madura. Untungnya mereka menguasai bahasa lain yang mampu menutupi kekurangan mereka yaitu bahasa Indonesia. Bahasa inilah yang menjembatani komunikasi penduduk pendatang dengan penduduk lokal. Orang Madura sangat menghargai warga pendatang ini dan merekapun menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi. Bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana komunikasi yang dimengerti oleh dua etnis yang berbeda ini. Demikian juga dalam bahasa tulis. Kedua belah bihak tanpa ada kata sepakat lebih memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam tulis. Menggunakan bahasa Madura untuk menulis surat atau mengirimkan SMS pada orang yang berasal dari etnis Jawa, boleh dikatakan hampir mustahil dilakukan oleh orang Madura, demikian juga sebaliknya.

A.2 Status Bahasa
Faktor ke dua yaitu status, mengacu pada definisi Appel dan Muysken yang menyatakan bahwa alih bahasa terjadi karena status bahasa itu sendiri. Status ini mereka namakan sebagai  ”minority language”  atau bahasa minoritas (Gil dalam Setiawan 2001:175). Trudgill di lain pihak meyakini bahwa bahasa minoritas yang kekuatannya kecil dan peranannya tidaklah terlalu vital dalam mendukung pelaksanaan tata masyarakat sebuah negara tidak akan pernah menjadi bahasa resmi. (Trudgill dalam Setiawan 2001:175). Dan ketika bahasa ini tidak menjadi bahasa resmi, maka keberlangsungan hidup termasuk di dalamnya keberlangsungan pemakaiannya sangat sukar untuk dipertahankan. Dengan kata lain, pemakaian bahasa  ini akan semakin menyempit dan alih bahasapun tidak akan mungkin dapat dihindarkan. (Setiawan 2001:176). Hal ini sejalan dengan apa yang sedang terjadi pada bahasa Madura yang pemakaiannya mulai menyempit, dan mencakup hanya pemakaian lisan saja. Meskipun bahasa Madura digunakan secara luas oleh masyarakat Madura, namun karena bahasa ini bukanlah bahasa resmi, maka bahasa ini akan tetap menjadi bahasa minoritas. Sebagai bahasa yang tidak resmi, pemakaian bahasa Madura selalu menjadi pilihan kedua dalam berbagai kegiatan formal. Termasuk di dalamnya dalam  penyelenggaraan kegiatan pendidikan di sekolah.

Tidak digunakannya bahasa Madura di sekolah menjadi inti dari permasalahan absennya bahasa Madura dalam tulisan. Kemampuan menulis adalah produk dunia pendidikan. Kemampuan ini didapatkan dari serangkaian proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Berhubung proses pembelajaran ini resmi, maka bahasa pengantarnyapun adalah bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia. Karena bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia, maka materi yang siswa baca dan siswa tulis adalah materi yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Kegiatan mendengar, berbicara, membaca dan menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia ini dilakukan selama bertahun lamanya sehingga akhirnya proses panjang ini menjadi sebuah kebiasaan. Ketika mereka diminta berbicara, maka mereka akan berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ketika mereka diminta untuk memilih bacaan, mereka akan memilih bacaan yang berbahasa Indonesia. Dan ketika mereka diminta menulispun, mereka akan menuliskan kalimat berbahasa Indonesia dengan menggunakan huruf alfabet dan tidak menggunakan sistem ha na ca ra ka, sebuah sistem tulisan yang dipakai orang Madura kuno. Kebiasaan ini membentuk pola tersendiri dalam masyarakat, dan sepertinya sangat jarang dijumpai ada orang yang lebih memilih menulis sesuatu dengan menggunakan bahasa Madura daripada bahasa Indonesia. Andaikata ada orang seperti ini, yaitu menulis dengan menggunakan bahasa Madura, maka dapat dipastikan bahwa kegiatan ini dilatar belakangi oleh tujuan tertentu, semisal mengerjakan tugas muatan lokal bahasa daerah yang didapat dari sekolah, menuliskan kata sambutan dalam acara budaya Madura, membuat spanduk yang intinya menarik masyarakat Madura melakukan sesuatu, dan sekedar promosi produk barang.

Keengganan masyarakat Madura untuk menulis sesuatu dengan menggunakan bahasa Madura, dan minimnya tulisan-tulisan berbahasa Bahasa Madura yang beredar di masyarakat ternyata menimbulkan masalah baru. Masalah ini berhubungan dengan kemampuan mereka untuk memahami teks yang ditulis dengan menggunakan bahasa Madura. Mereka  lama tidak bersinggungan dengan tulisan berbahasa Madura dan apabila suatu ketika mereka berhadapan dengan teks seperti itu, mereka akan butuh waktu untuk memahami sebuah teks tersebut. Sebuah kalimat na’ kana’ rowa raja akan sulit dipahami maknanya oleh masyarakat Madura karena mereka tidak terbiasa membaca tulisan seperti ini. Selain itu, kata raja yang ada dalam teks ini juga bermakna ambigu karena merepresentasikan dua makna yang berbeda, tergantung cara pelafalan kata tersebut.  Raja dalam kalimat ini bisa dibaca  /r ? d j ? h/ yang artinya besar dan     /r ? d j ?/ yang artinya raja. Kesulitan ini diperparah dengan adanya kekurangjelasan pola penulisan bahasa Madura. Pola yang dimaksud disini adalah tata cara penulisan kata dalam bahasa Madura yang disepakati dan dikenal luas oleh seluruh Masyarakat Madura. Permasalahan inilah yang kemudian membuat masyarakat Madura enggan menulis sesuatu dengan menggunakan bahasa Madura, dan sebagai konsekuensinya, bahasa Madura secara lambat laun absen dalam tulisan. Permasalahan ini bisa diibaratkan sebagai lingkaran setan yang tidak berujung dan tidak berpangkal.

A.3  Karakter Bahasa Madura
Faktor ketiga berhubungan dengan karakter bahasa Madura itu sendiri. Kata-kata dalam Bahasa Madura memiliki karakter khusus yang berbeda dibandingkan bahasa lain. Karakter ini terletak pada banyaknya konsonan dan suara letup pada tiap katanya. Kata Beddha’ (bedak), adalah contoh nyata karakter khusus ini. Selain itu, banyaknya kata yang memiliki suku kata lebih dari dua menyebabkan masyarakat kadang menjadi bingung untuk menuliskannya. Kata  kamma’ah (mana) dalam kalimat  Dha’ kamma’ah? (Anda mau kemana) adalah contoh bahwa menuliskan kata dalam bahasa Madura tidaklah semudah menuliskan kata dalam bahasa Indonesia. Apabila penulisan kata ini dilakukan dalam bentuk SMS, dan format tulisannya mengikuti kebiasaan yaitu kalimat atau kata-kata dalam SMS dipotong jadi pendek, Tidak hanya si penerima yang jelas akan butuh waktu lama untuk memahami kalimat di SMS tersebut, sang pengirimpun pastinya akan berpikir keras untuk mengirimkan tulisan yang dapat dipahami dengan mudah oleh penerima. Sebuah kalimat Tng bdhn rassna sake’ yang mengikuti pola SMS yaitu dipotong menjadi pendek beberapa kata di dalamnya dan dikirimkan lewat SMS akan benar-benar membingungkan bagi pembacanya. Arti kalimat ini sebenarnya adalah ”badanku terasa sakit”, kata bdhn apabila dituliskan lengkap adalah badhan yang artinya badan. Namun, karena kurang terbiasanya orang Madura terhadap tulisan Madura, bisa jadi kata bdhn kemudian dibaca menjadi budhun yang artinya bisul. Untuk memecahkan kesulitan penulisan ini utamanya dalam SMS, maka orang Madura mengambil sebuah solusi yaitu dengan mengalihkan bahasanya tulisannya ke Bahasa Indonesia yang lebih mudah dipahami. Alih bahasapun terjadi.

A.4 Diglossia.
Digglosia, sebuah fenomena yang biasa muncul dalam kajian sosiolinguitik dapat dijumpai keberadaannya di Madura. Diglosia ini mengacu pada perbedaan penggunaan bahasa yang disuaikan dengan konteks waktu, tempat, dan lawan bicara. Bahasa Madura memiliki tiga tingkatan. Tingkat pertama disebut Enja’-Iya yaitu bahasa Madura kasar yang biasa dipakai ketika orang Madura berkomunikasi sehari-hari dengan lawan bicara yang seusia atau lebih muda. Enggi-Enten, sebagai bahasa Madura tingkat sedang dipakai ketika orang Madura berkomunikasi dengan orang yang lebih tua namun status sosialnya setara, dengan orang yang baru dikenal, atau kadang dengan teman yang tidak terlalu akrab.  Yang terakhir adalah Enggi-Bunten, bahasa Madura halus yang biasa digunakan kepada lawan bicara yang jauh lebih tua, atau kepada seseorang yang sangat dihormati. Orang Madura harus mematuhi aturan penggunaan bahasa ini jika tidak ingin dikatakan sebagai seseorang yang kurang berpendidikan, dan tidak tahu sopan santun

Sayangnya, pengetahuan orang Madura utamanya generasi muda yang biasa tinggal di pusat kota tentang penggunaan bahasa Enggi Bunten mulai berkurang. Yang lebih ironis lagi, ada banyak generasi muda Madura hanya paham bahasa kasar saja. Banyak hal sebenarnya dapat menjelaskan mengapa hal memprihatinkan ini terjadi, namun secara umum faktor dominan yang berperan dalam degradasi pengetahuan bahasa halus ini adalah karena proses pengajaran bahasa Madura dalam keluarga dan di sekolah yang dijalankan dalam bentuk muatan lokal bahasa daerah dinilai kurang berhasil. Minimnya pengetahuan tentang bahasa halus ini menyebabkan banyak orang menjadi enggan untuk menggunakan bahasa Madura. Ketika seorang pemuda terpaksa harus berbicara dengan seseorang yang dihormati dalam masyarakat, dan pemuda ini menyadari bahwa bahasa yang harus ia pakai ketika berbicara dengan orang ini adalah bahasa halus, padahal ia tidak terlalu yakin dengan kemampuan bahasa halusnya, maka daripada dianggap tidak sopan dan kurang berpendidikan karena menggunakan bahasa Madura yang kurang baik, pemuda inipun memilih menggunakan bahasa Indonesia.

Hal yang sama terjadi juga dalam tulisan. Menulis memerlukan ketrampilan yang kompleks. Selain sang penulis harus pandai mencari ide tentang apa yang akan disampaikannya dalam tulisan tersebut, ia juga harus mampu mencari diksi yang tepat agar ide dan pikiran yang hendak disampaikan dapat ditangkap dengan mudah oleh pembacanya. Proses mencari ide dan mencari diksi yang pas ini bagi sebagian orang sudah sangat sulit dilakukan. Jika  proses ini kemudian harus ditambah dengan kegiatan menganalisa tulisan apakah benar atau tidak, atau ditambah dengan kegiatan harus mencari bahasa halus yang tepat dan sopan, pastilah akan sangat berat dan melelahkan. Ketika orang Madura menulis bahasa Madura dengan menggunakan bahasa halus, maka dia harus melalui proses melelahkan ini. Tidak banyak orang mau direpotkan dengan urusan yang panjang dan melelahkan ini, dan untuk lebih mudahnya akhirnya mereka kembali memakai cara lama yaitu mereka tuliskan ide mereka dalam bahasa Indonesia.

A.5 Trend
Yang dimaksud dengan trend disini adalah fenomena aktual yang ada dalam masyarakat. Ketika era komunikasi digital berkembang dengan pesat, tidak ada batasan jarak antara orang Madura dengan orang yang berada di daerah lain. Orang Madura dapat dengan mudahnya mengakses jutaan informasi hanya melalui tabung kecil yang disebut televisi, dan internet-komputer. Pusat tren bangsa Indonesia adalah Jakarta. Budaya masyarakat Jakarta inilah yang kemudian dijadikan patokan kebanyakan orang Madura dalam berbuat dan bersikap. Termasuk juga budaya berbicara dan menulis. Program-program yang ditampilkan di TV hamper seluruhnya berbahasa Indonesia. Bahasa yang ada di TV inilah yang dijadikan contoh oleh masyarakat Madura. Memang, tidak semua masyarakat Madura kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, namun secara tidak langsung, program diTV tersebut telah memberikan gambaran bahwa bahasa Indonesia-betawi dan Inggrislah yang menjadi bahasa trend saat. Menggunakan bahasa selain itu dianggap sebagai kolot, tidak modern dan tidak trendy. Demikian juga dalam tulisan. Menggunakan bahasa Madura dalam tulisan kini dianggap sebagai perbuatan merepotkan, aneh, kurang modern, dan tidak berpendidikan. Faktor trend inilah yang membuat kebanyakan pemuda Madura mengikhlaskan bahasa Madura tulis untuk tidak dihidupkan dan kemudian dimusiumkan.

B. Dampak Alih Bahasa Madura Dalam Tulisan Terhadap Keberadaan Bahasa Madura Ke Depan
Alih bahasa yang terjadi dalam masyarakat Madura merupakan sebuah fenomena linguistik yang biasa terjadi. Di masyarakat manapun di seluruh dunia terutama masyarakat majemuk yang terbentuk dari  berbagai macam suku bangsa pasti akan mengalami fenomena ini. Alih bahasa ini muncul dan dilakukan oleh satu masyarakat karena adanya sebuah kebutuhan terhadap cara jitu untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang lain yang berbahasa beda. Selama alih bahasa ini terjadi secara temporer dan tidak permanen, maka keberadaan bahasa domain (bahasa yang dialih bahasakan) akan tetap terjaga. Namun, andaikata alih bahasa ini dilakukan secara terus menerus atau bahkan permanen, ini akan dapat berimbas negatif dan mengancam bahasa domain. Ketika alih bahasa Madura ke bahasa Indonesia dilakukan secara terus menerus, kondisi ini jelas akan membawa dampak negatif pada bahasa Madura. Orang Madura yang terbiasa berbahasa Indonesia pastinya akan merasa tidak nyaman ketika dipaksa untuk kembali berbahasa Madura. Kebiasaan tidak menggunakan bahasa Madura ini apabila kemudian diwariskan pada anak cucu, akan menyebabkan anak cucu tersebut tidak memiliki kemampuan berbahasa Madura, padahal darah mereka adalah darah Madura. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, eksistensi bahasa Madura ke depannya akan terancam

Ancaman terhadap eksistensi bahasa Madura telah mulai terlihat dalam fenomena alih bahasa Madura tulis ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Madura telah mulai hilang dalam tulisan. Hal ini didukung oleh fakta-fakta menarik yang penulis temukan di lapangan. Fakta-fakta tersebut adalah:

  1. Dari hasil pengamatan penulis terhadap tulisan pada 65 spanduk yang bertebaran di Kabupaten Bangkalan, bisa dihitung dengan jari jumlah spanduk yang menggunakan bahasa Madura. Hanya 2 spanduk yang menggunakan bahasa tersebut. Sisanya, yaitu 63 buah, menggunakan bahasa Indonesia. Padahal spanduk-spanduk tersebut ditujukan untuk orang Madura.
  2. Diantara 50 siswa di sebuah sekolah di Kabupaten Bangkalan yang penulis wawancarai untuk memastikan apakah mereka menulis SMS dengan menggunakan bahasa Madura ataukah tidak, ternyata dijumpai tidak satupun diantara mereka yang memiliki komitmen untuk selalu menulis SMS dengan menggunakan bahasa Madura. Lebih dari separuh atau sekitar 43 orang menyatakan belum pernah SMS dengan menggunakan bahasa Madura. Sisanya mereka menyatakan pernah SMS dengan menggunakan bahasa Madura dan itupun hanya satu atau dua kali saja.
  3. Penulis juga menjumpai diantara tulisan yang terdapat di belakang 29 bak truk yang melewati jalan telang Bangkalan, hanya 2 buah truk yang bertuliskan bahasa Madura, itupun hanya sebuah frase bahasa Madura yaitu te ngate, (hati-hati), dan Ale’ sayang (adek sayang). Padahal plat nomor kendaraan tersebut M, plat nomor Madura.
  4. Diantara papan nama toko yang bertebaran di kecamatan Bangkalan, tidak ada satupun papan nama itu bertuliskan nama-nama dalam bahasa Madura.
  5. Diantara 250-an nama teman seangkatan penulis waktu SMA, hanya ada dua nama yang berbau bahasa Madura, yaitu Rimbi Ari Raja (Lahir di hari raya) dan Tera Athena (Terang hatinya). (Bandingkan dengan daerah Jawa, yang kebanyakan nama penduduknya diambil dari bahasa Jawa seperti Suryo, Putro, Noto, dan Eka)
  6. Diantara koran lokal (kebanyakan milik PEMDA) yang ada di Madura, tidak satupun yang menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa utama untuk menyampaikan informasi. Radar Madura, koran dengan oplah terbesar dan merupakan bagian dari koran lokalpun hanya mencantumkan peribahasa Madura saja untuk dikaji. Belum pernah dijumpai koran ini menuliskan beritanya dalam bahasa Madura.

Jika semua fakta ini hanya didiamkan saja, maka suatu saat Bahasa Madura akan benar-benar punah. Pertama memang tulisan Madura hilang dari masyarakat, suatu saat bahasa Madura lisanpun akan hilang.

Untuk mempertahankan bahasa Madura dari kepunahan, hanya ada satu cara yaitu berusaha menggalakkan kembali kegiatan menulis dengan menggunakan bahasa Madura. Apabila kegiatan ini dilaksanakan, hal ini akan memberikan efek domino positif terhadap perkembangan bahasa Madura. Memang pertamanya akan sangat sulit untuk membuat masyarakat Madura menulis sesuatu dengan bahasa Madura. Mereka akan sering buka kamus untuk memastikan apakah tulisan mereka benar ataukah tidak. Mereka juga akan sering banyak bertanya kepada para orang tua apakah bahasa tulisan mereka sudah cukup halus ataukah tidak. Tapi segi baiknya, dengan melaksanakan hal ini mereka akan kembali belajar. Mereka akan mencari buku-buku berbahasa Madura untuk mencari contoh tulisan yang bagus. Ketika mereka menemukannya, mereka akan mencontoh tulisan itu. Lama kemudian mereka akan memproduksi tulisan mereka sendiri. Ketika kegiatan tulis menulis berbahasa Madura menjadi budaya, akan banyak sekali dijumpai karangan-karangan dalam bahasa Madura. Ketika buku-buku dan tulisan berbahasa Madura banyak beredar dipasaran, maka akan selamatlah bahasa Madura dari kepunahan.

C. Peranan Bahasa  Madura Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia
Permasalahannya adalah bagaimana jika suatu ketika bahasa Madura yang selama ini digunakan luas oleh Masyarakat Madura punah? Adakah imbasnya kepunahan bahasa Madura ini terhadap bahasa Indonesia?

Berbicara tentang imbas kepunahan bahasa Madura terhadap bahasa Indonesia tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang peranan bahasa Madura  terhadap bahasa Indonesia. Ada dua peranan besar yang dimainkan bahasa Madura terhadap keberadaan bahasa Indonesia, dan apabila peranan ini hilang karena bahasa Madura punah, maka kerugian yang sangat besarlah yang menimpa bangsa dan bahasa Indonesia. Peranan tersebut adalah: 1. bahasa Madura merupakan komponen penyumbang kosakata terhadap bahasa Indonesia, 2. eksistensi bahasa Madura adalah pelindung bahasa Indonesia dari serangan bahasa asing

C1. Bahasa Madura Merupakan Komponen Penyumbang Kosakata Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sendiri lahir pada zaman dimana bahasa ini dipergunakan sebagai bahasa perdagangan antar bangsa, atau yang biasa dikenal sebagai ”Lingua Franca”. Bahasa yang berinduk rumpun bahasa melayu yang berasal dari Tanah Riau ini, telah disahkan secara nasional oleh kita sebagai Bahasa Pemersatu dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Bahasa ini telah lama menjadi kebanggan bangsa kita.

Namun sayangnya bahasa Indonesia memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan yang paling utama terletak pada perbendaharaan katanya yang sedikit. Karena sedikitnya perbendaharaan kata inilah maka bahasa Indonesia meminjam banyak kata dari bahasa lain. Semakin lama pinjaman ini semakin banyak dan jumlahnya bahkan nyaris sama dengan jumlah kosakata asli bahasa Indonesia. Sejalan dengan waktu, akhirnya bahasa Indonesia “terjajah” oleh bahasa asing tersebut.

Tak bisa dipungkiri juga, seringnya kita mempergunakan bahasa asing malah menggeser nilai identitas keindonesiaan, dan bahkan nilai kesatuan kita. Padahal, nilai kesatuan ini sangat mahal harganya.     Salah satu jalan untuk mengembalikan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Persatuan adalah dengan cara memberi kesempatan kepada keragaman dan kekayaan bahasa daerah di tanah air untuk menambah perbendaharaan kata bahasa indonesia. Jika ada kata yang tidak dikenal atau tidak ada istilah bahasa Indonesianya, sudah selayaknyalah kita merujuk kepada perbendaharaan kata bahasa daerah, bukan kepada bahasa asing. Bahasa Madura yang kaya akan istilah lokal bisa diandalkan untuk urusan ini. Seperti contoh kata tandem yang berarti pasangan dalam bahasa Inggris, jika bangsa Indonesia kesulitan menemukan padanan katanya, maka bangsa Indonesia bisa mengambil kata kante’ dalam bahasa Madura. Demikian juga kata teenager atau youngster, yang artinya anak belasan tahun, bisa digantikan dengan kata dhat ngodadhan yang memiliki arti sama.

Dengan partisipasi dari bahasa Madura inilah justru akan timbul rasa turut ikut mendukung dan mewakili kekayaan dan ketinggian bahasa indonesia, serta terutama juga akan timbul rasa sama-sama memiliki bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Inilah yang bisa menjadi salah satu solusi mempersatu bangsa kita.

C.2 Keberadaan Bahasa Madura Adalah Pelindung Bahasa Indonesia Dari Serangan Bahasa Asing
Selain sebagai sumber kosakata bahasa Indonesia, bahasa Madura memiliki peranan lain yaitu sebagai baju pelindung bahasa Indonesia dari serangan bahasa asing. Baju pelindung dalam hal ini didefinisikan sebagai watak masyarakat Madura dalam menjaga dan melindungi apa-apa yang dimilikinya. Jika bahasa Madura mampu bertahan hidup, semata-mata itu karena watak peggunanya yang bertanggungjawab dan berkepribadian baik. Jika masyarakat Madura memiliki watak yang baik, maka mereka tidak akan pernah rela kehilangan bahasa yang telah mereka punyai dan mereka gunakan yaitu bahasa Madura.

Jika masyarakat Madura hanya berdiam diri saja dan tidak mau perduli terhadap keberlangsungan bahasa Ibu mereka, maka bahasa Madura akan berada diambang kemusnahan. Dan jika bahasa ini benar-benar punah, maka bangsa Indonesia dan juga bahasa Indonesia akan rugi besar. Logikanya, jika bahasa Madura punah maka ini jelas menunjukan betapa tidak bertanggungjawabnya masyarakat Madura terhadap budaya lokal dan lingkungan mereka sendiri. Kepribadian buruk ini apabila dipertahankan dan tidak diambil tindakan akan berimbas pada bahasa Indonesia. Memang, apabila bahasa Madura punah masih akan ada bahasa Indonesia yang akan menggantikan bahasa Madura tersebut. Namun apakah ada jaminan bahasa Indonesia inipun tidak akan punah, sedang kita semua paham bahwa orang Madura dikenal tidak mampu menjaga bahasanya dan membiarkan bahasa mereka sendiri punah? Apakah akan ada jaminan bahwa orang Madura akan tetap mempertahankan bahasa Indonesia dari serangan gencar bahasa internasional seperti bahasa Inggris dan China, sedangkan pengalaman telah menjelaskan bahwa masyarakat Madura tidak mengambil satu tindakanpun ketika bahasa mereka sedang diserang oleh bahasa Indonesia?

Mempertahankan keberlangsungan hidup bahasa Madura  secara tidak langsung telah mengajarkan kepada masyarakat Madura untuk bertanggungjawab terhadap kondisi sosial masyarakat mereka sendiri. Jika mereka mampu melakukan ini, maka mereka akan mampu pula mempertahankan bahasa Indonesia.

C. PENUTUP
Sebuah temuan mengejutkan yang didapat dari hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi menjelaskan bahwa sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedang puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini juga terancam punah (www. tempointeractive.com). Pada tahun 2005, berdasarkan penelitian Pusat Bahasa Depdiknas RI, bahasa daerah di Indonesia berjumlah 731 bahasa. Pada 2007 tinggal 726 bahasa, karena 5 bahasa diantaranya mati (www.elbud.or.id.htm). Kematian bahasa ini disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah kurang bertanggungjawabnya pengguna bahasa tersebut untuk melestarikan dan mengembangkan bahasanya. Mencermati dan mengkaji fenomena perubahan bahasa daerah adalah salah satu cara untuk melestarikan danmengembangkan bahasa daerah. Dengan pengkajian ini, ancaman terhadap keberadaan bahasa tersebut akan dapat diketahui sedini mungkin sehingga dapat diambil langkah antisipatif sebelum ancaman tersebut menghancurkan bahasa tersebut. Tulisan ini telah memaparkan satu ancaman bagi bahasa Madura yang berhubungan absennya bahasa Madura dalam tulisan, yang kemudian ditambahkan dengan penyebab-penyebabnya mengapa bahasa ini absen dalam tulisan. Ancaman ini apabila tidak segera ditanggulangi akan berdampak buruk bagi bahasa Madura di masa yang akan datang. Rekomendasi yang ditawarkan tulisan ini cukup  sederhana. Mulailah membudayakan menulis dengan menggunakan bahasa Madura, jika tidak ingin bahasa Madura termasuk dalam salah satu bahasa yang telah punah tersebut.

REFERENCES

Setiawan, Slamet.  2001. First Language Maintenance: Evidence of Bahasa Indonesia in Auckland that is unlikely to succeed. Jurnal Bahasa Verba, Vol. 2  No. 37, 173-181
www. elbud.or.id.htm. Memperbicangkan Nasib Bahasa Madura. Diakses Kamis,  11 September 2008
www. tempointeractive.com. 10 Bahasa Daerah Punah, 700 Lainnya Terancam Diakses Jumat, 12 September 2008

  10 comments for “KETIKA BAHASA MADURA TIDAK LAGI BERSAHABAT DENGAN KERTAS DAN TINTA (Sebuah Kajian Ethnolinguistics Ditinjau Dari Sudut Pandang Sosiolingistics)

  1. November 5, 2010 pukul 3:24 am

    Maaf, sy pnsrn sbnrny sm asl penulis ini. krn di biodata penulis blm sy temukn jwbn itu.

    secara pribadi saya berpndngn bhw sebuah penghargaan memang patut diberikan pada mrk yng memiliki kepedulian trhdp bahasa lokal, dlm hl ini bhs madura, termsk penulis ini. Untuk sebagian org kepunhn bahasa (endangered language) buknlh sebuah maslh serius yg perlu diperhtikn. Akan ttp gejala itu menjd tnggung jwb besr bg sebgian orng krn mengingt dlm bahs (Madura) terkndung nilai-nilai kearifan lokal yng trkdng trjd penyusutn makna, lebh2 perubhn makna jika diterjmehkn k bhs lain, contohny bhs Indonesia dn bhs Inggris.

    Tanggung jwb pemeliharaan bhs Madura tentu melibtkn semua phk, termsuk komunitas lokal itu sendiri tentuny. Pengamatan sy pribadi, penglihn bahs Madura ke bhs Indonesia mslny, umumny trjd dlm berbagai dinamika. Taruklh dlm perspektif ekonomi, kalangan masyrkt yg scr finansial lbh terjmin, kecendrngn intensitas pnggunaan bhs Indo frekwensiny lbh tinggi dr pd mrk yg pndptanny msi dibwh standar pemenuhn kebuthn perhari. Tidak hny pd rekn bisnis, akan ttp bhs Indo tersebt sjk dini ditnmkn dlam keluarg. Bgt pula bg mereka status sosialny, kalng PNS mislny, dianggap mmliki tmpt tertntu di msyrkt. Bhs Indonesia mnjd alat komuniksi dlm keluarg dmn, sehemt sy, justru dikeluarglh tembok terakhir keberlngsungn bhs Madura akan trs berlnjt dtngh2 persaingn bhs besar internatsionl, Inggris, China dan Perancis.

    Di UC (University of Canberra, Australia), berdsrkn informsi dr kolega sy, terdpt penelitian bhs Madura yg ptut dipertimbngkn. dlm pnelitian tsb dijelaskn mengp sering terjadi pengulangn dlm bhs Madura, mislkn ‘nak-kana`, `in-maenan’, ‘ka`-berka`’, dst.

    Ditengh-tengh persaingn global, bhs Inggris mislny, tetp mjd bgian penting untk ttp dipeljri. Hny sj jika bhs trsbt kmudian menenggalamkn bhs lokal, mesti bhs Ibu (madura) itu jg perlu dipikirkn kberadaanny. penggunaan bhs Madura, lisan maupun tulis, yng terus dibiasakan, brkli akan jd cr bgmn keberadaan bhs Madura akn terselamatkn dr kepunahan.

    • November 6, 2010 pukul 9:48 pm

      Penulis artikel yang anda maksud adalah pemilik blog ini. Informasi tentang penulis ada pada halaman “Pemilik Laman” atau “Sekilas Pemilik Blog” dari blog ini. Di halaman tersebut dijelaskan pula alamat email pemilik blog yang bisa anda hubungi bila anda memiliki uneg-uneg terhadap tulisan-tulisan yang ada pada blog ini. Jika masih penasaran, anda dapat berkunjung ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Unijoyo, atau Pusat Bahasa Unijoyo (penulis menjadi staf pengajar di dua tempat tersebut). Jika anda masih penasaran anda dapat mengirimkan SMS ke nomor berikut ini: 08179660546

      Artikel yang berhubungan dengan adanya fenomena repetisi dalam bahasa Madura sangat menarik untuk dimiliki. Jika anda memiliki artikel tersebut, mohon kiranya untuk berbagi. Saya juga masih mencari tentang artikel yang berhubungan dengan penjelasan pertanyaan: mengapa bahasa Madura tidak mengenal kata ganti orang ketiga tunggal seperti pronomina “ia” atau “dia”serta fenomena geminasi yaitu pendobelan dua konsonan dalam sebuah kata seperti kata ‘tello‘, kanna‘, bennya; dst..

      Terimakasih atas komentarnya, sepertinya kita punya visi dan misi yang sama tentang Madura dan bahasa Madura….:) semoga sukses selalu

  2. November 23, 2010 pukul 4:09 am

    Untuk artikel yang terkait dengan fenomena repetisi bahasa madura, saya juga belum punya. Sampai saat ini belum menghubungi temanku lagi yang di Canberra itu. Terima kasih Anda juga telah bersedia menyediakan nomor yang bisa dihubungi.

    Mengingat posisi bahasa Madura ditengah gencarnya bahasa besar dunia (Inggris, Cina, termasuk Perancis) menjadi bahasa yang kemungkinan punahnya bisa tinggi, saya berfikir untuk mengajukan bagaimana jika bahasa Madura segera dijadikan bahasa resmi, selain bahasa Indonesia, dalam dunia kerja, khususnya di Madura sendiri, terutama di dinas-dinas kepemerintahan. Hal kecil misalnya penggunaan bahasa Madura untuk “suctomer focus”.

  3. November 23, 2010 pukul 4:12 am

    Maaf untuk kekeliuran penulisan “suctomer focus”. Maksudnya adalah “customer focus”.

  4. Mei 31, 2011 pukul 1:46 pm

    Boleh minta email pribadi gag? Karena diam-diam saya juga sering baca tulisan di situs ini. 🙂
    Sakalangkong.

  5. Branda
    Februari 21, 2012 pukul 9:59 am

    assalamualaikum
    sy sngat membutuhkan skali bahasan tentang bahasa madura,
    apakah a banyk tulisn tntang itu di block sampen?

  6. Juli 30, 2012 pukul 4:56 pm

    Saya tertarik dengan tulisan ttg bahasa Madura. Saya juga bingung dengan penulisan dalam bahasa Madura. Sangat berbeda dengan yg saya dapat dulu di sekolah.

  7. Juni 9, 2013 pukul 6:51 pm

    Ditambah dengan “gengsinitas” (ini bahasa saya) bahwa, saudara-saudara di Madura tampaknya terlalu gegabah dan mengikuti serta berkiblat dengan budaya luar. Hingga “nasionalitas” kepada tanah kelahirannya makin hari makin tidak terminati, benar apa yang Anda kemukakan kalau bahasa Madura akan punah. Saya tambahkan kepunahan itu juga pada budayanya.

    Hal itu sebenarnya sudah masuk tinggat “akut” dan segera perlu tindakan penyelamatan yang cerdas dan kongkrit. Tapi, yah, gerakan-gerakan kepemudaan, baik itu organisasi parpol, agama dan sosial tampaknya adem ayem dengan fenomena ini. Biarpun dari jauh, aku merasakan hal itu dari dialog dan diskusi dengan teman-teman yang berada di Madura. Tidak menjadi sebuah kemustahilan bahwa, bahasa dan budaya Madura nantinya tinggal sebuah dongeng dan legenda. Menyedihkan tretan..

  8. November 30, 2013 pukul 2:59 am

    Typically I dont read this kind of stuff, but this was genuinely interesting!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: