KAJIAN STILISTIKA PERBANDINGAN STRATEGI ADU MUKA IKLAN “SI NOL” DAN “SI SATU”

Oleh Iqbal Nurul Azhar

Telah dipublikasikan dalam Jurnal Lexicon Volume V Nomor 10, tahun 2011 ISBN 13-234-9806

A. Pendahuluan

Dalam proses komunikasi, seorang komunikan (penulis atau pembicara) menggunakan berbagai strategi agar pesan, ide, atau perasaan (makna) yang ingin disampaikan bisa ditangkap dengan benar oleh pembaca/pendengar. Mulai dari pemilihan leksikon, penyusunan struktur kalimat, penggunaan gaya bahasa, semuanya diperhitungkan dengan cermat sehingga efek komunikatif yang diharapkan betul-betul tercapai. Upaya yang dilakukan oleh komunikan tersebut termanifestasi dalam bentuk penanda-penanda stilistika yang tampak dan bisa diamati oleh para analis style (gaya) bahasa. Semua bentuk komunikasi baik itu verbal maupun tulis memiliki gaya bahasa atau style yang ditunjukkan melalui penanda-penanda stilistika di dalamnya, termasuk juga bentuk komunikasi via iklan yang akan kita diskusikan dalam paper ini

Dalam kehidupan sehari-hari, iklan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Hampir setiap saat kita dapat melihat beraneka ragam bentuk iklan. Di pinggir-pinggir jalan dalam bentuk sapanduk, baliho atau billboard raksasa, di radio, koran, tabloit, majalah, lebih-lebih di televisi. Di media massa yang disebutkan terakhir yaitu televisi, iklan seakan menjadi ’udara’ dari program-program yang dimiliki stasiun-stasiun televisi. Tanpa adanya iklan, stasiun-stasiun televisi tersebut akan mati tidak dapat bernafas. Begitu dekatnya iklan dengan manusia, iklan seolah-olah telah menjajah setiap ruang dan waktu. Beberapa pakar komunikasi bahkan mengatakan, manusiapun telah turut menjadi bagian dari skenario-skenario iklan tersebut.

Terlepas dari rasa suka atau tidak, iklan sangat bermanfaat bagi manusia. Bagi produsen produk atau jasa, iklan berfungsi mengenalkan hasil produksi maupun jasanya kepada konsumen yang menjadi mitra tutur dari iklan. Bagi konsumen, iklan memberikan informasi tentang berbagai variasi produk sehingga mereka dapat menentukan mana produk atau jasa yang dibutuhkannya, mana produk atau jasa yang akan dibelinya dan mana produk atau jasa yang memiliki kualitas yang lebih baik di antara produk-produk atau jasa-jasa sejenis.

Dalam proses penyampaian informasi lewat iklanlah, banyak hal menarik yang dapat dikaji, utamanya dalam kaitannya terhadap style atau gaya bahasa yang digunakan dalam bentuk penuturan informasi. Gaya bahasa inilah yang selanjutnya dikaji dalam paper ini.

Untuk membatasi ruang lingkup masalah, maka objek kajian paper ini adalah dua iklan dari dua operator telepon seluler yaitu PT. Indosat dan PT XLindo. PT. Indosat mengeluarkan iklan dengan label ”Si Nol,” sedang  PT. XLindo mengeluarkan iklan dengan label ”Si Satu.” Kedua iklan ini berkompetisi untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya dengan menawarkan tarif telepon yang murah. Gaya bahasa kompetitif dan agresif sangat terasa keberadaannya.

Untuk menganalisis dua iklan tersebut, pendekatan pertama yang digunakan adalah pendekatan teori kesopanan yang dikemukakan oleh Lakof (1973) dengan menggunakan skala pilihan dan skala formalitas sebagai tolak ukurnya. Pendekatan kedua adalah teori kesopanan yang dikemukakan oleh Leech (1983) dengan menggunakan skala untung-rugi dan ketidak-langsungan sebagai alat ukurnya. Pembahasan aspek-aspek semiotik baik itu lingual maupun nonlingual (meskipun tidak banyak) turut pula disertakan menyatu dalam pembahasan dua pendekatan di atas. Dengan menggunakan pendekatan ini, kita dapat menganalisis gaya bahasa manakah di antara dua iklan tersebut yang memiliki nilai lebih baik.

B. Perbandingan Gaya Bahasa Iklan ”Si Nol” dan ”Si Satu” dalam Perspektif  Lakoff

Gaya bahasa yang digunakan dalam iklan tidak lepas dari pengaruh pembuatnya. Siapa pembuat iklan, setinggi apa pendidikannya, seberapa besar pengalamannya dalam dunia iklan, dan seberapa cerdas kemampuan retorikanya berpengaruh pada hasil akhir dari gaya bahasa iklan. Pembuat iklan memanfaatkan segenap potensi yang dimiliknya untuk menghasilkan yang terbaik. Di antara potensi yang telah disebutkan, kecerdasan retorika memiliki porsi yang paling menentukan. Dengan kecerdasan ini, pembuat iklan dapat memilih bentuk tuturan yang memiliki daya ilokusi yang diharapkan dapat mempengaruhi mitra tuturnya (Leech, 1983).

Dua iklan yang diperbandingkan gaya bahasanya dalam paper ini diproduksi oleh dua perusahaan operator telekomunikasi yang berbeda, dan tentu saja dibuat oleh dua tim advertising yang berbeda pula. Dengan menggunakan strategi yang khas ala perusahaan operator masing-masing, dua iklan tersebut diluncurkan dalam kurun waktu yang tidak terpaut jauh. PT Indosat terlebih dahulu meluncurkan iklan berlabel ”Si Nol” dengan jargon ”Ada Yang Lebih Murah?” untuk menarik minat pelanggangnya. Iklan ini ramai menghiasi media massa baik itu media elektronik maupun cetak, dan dianggap cukup sukses menambah jumlah pelanggan operator tersebut.  Seakan tidak mau kalah PT XLindo meluncurkan iklan sejenis yang kemudian diberi label ”Si Satu.” Dengan mengusung jargon ”Tong Kosong Nyaring Bunyinya, Hati-hati Janji Si Nol,” iklan PT XLindo memberikan counter attack(serangan penangkis) terhadap iklan PT Indosat. Serangan penangkis ini memiliki fungsi ganda, yaitu selain untuk mempertahankan pelanggannya agar tidak pindah ke PT Indosat, serangan ini juga digunakan untuk menarik hati dari calon pengguna layanan komunikasi untuk memilih PT XLindo. Perang antariklanpun terjadi.

Gambar 1. Iklan produk Mentari dari PT. Indosat

Gambar 1 di atas menerangkan bahwa katu ”Mentari” mempunyai sebuah kelebihan untuk masalah tarif yaitu paket freetalk 5000, artinya jika pada hari tersebut sudah menggunakan pulsa sebesar Rp 5000,- maka pelanggan akan mendapatkan gratis telpon sebesar Rp 5000, sehingga freetalk ini yang disebut sebagai tarif ”cuma Rp 0,-.” Pertanyaan ”Ada yang lebih murah?” ataupun perintah ”ayo hitung lagi” merupakan penanda style dari iklan 1 ini. Dengan mengunakan pertanyaan, atau perintah menghitung lagi tersebut, pembuat iklan berusaha untuk memberikan ”pemicu” perhatian mitra tutur dengan memberikan pertanyan ”ada yang lebih murah” sebelum kemudian ditutup dengan perintah ”Ayo Itung Lagi.” Gaya retorika seperti ini dalam paper ini disebut sebagai gaya bahasa ”picu sentak ” yaitu memicu perhatian masyarakat dengan pertanyaan dan kemudian menyentak alam sadar mereka untuk meyakini murahnya biaya telpon ”Si Nol” dengan sebuah kalimat perintah halus. Pertanyaan dan perintah yang muncul pada gambar 1 bersifat melengkapi dan keduanya dapat dianalisis dengan menggunakan teori kesopanan.

Lakoff (1973) memaparkan beberapa skala kesantunan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesantunan tutur kata, gaya bahasa dan retorika dari seseorang. Ia mengungkapkan setidaknya ada dua skala yang dapat digunakan dalam menilai tingkat kesopanan sebuah  tutur kata, gaya bahasa dan retorika dari seseorang, yaitu; skala formalitas dan skala pilihan. Menurut Lakoff (1973), dalam skala formalitas, tuturan, gaya bahasa, atau retorika seseorang tidak boleh terkesan memaksa mitra tutur. Dalam hal ini, pembuat tuturan tidak boleh terkesan memaksa mitra tutur, dan karenanya, tuturan yang terkesan memaksa dianggap tidak sopan. Sebaliknya, tuturan yang terkesan tidak memaksa mitra tutur dianggap santun oleh mitra tutur.

Pada gambar 1, kalimat tanya ”Ada Yang Lebih Murah” tidak melanggar skala formalitas. Kalimat ”Ada Yang Lebih Murah?” ditujukan untuk membuat mitra tutur memperhatikan iklan kemudian menanyakan pada diri mereka ”apa yang lebih murah?” ”Lebih karena apa?” Ketika mereka mulai tertarik dan berusaha mencari jawaban dari dua pertanyaan tersebut, mereka akan menjumpai bahwa yang lebih murah adalah kartu perdana ponsel merk ”Mentari.” Alasan lebih murah adalah hasil kalkulasi biaya telpon dengan menggunakan kartu ”Mentari” yang ternyata hanya 0;- rupiah. Dari pertanyaan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pembuat iklan telah cukup menggunakan bahasa santun.

Demikian juga perintah ”Coba Hitung Lagi” yang meskipun berbentuk imperatif, tapi nada imperatif yang disampaikan penutur, tidak memaksa mitra tutur untuk memilih produk yang ditawarkan dalam iklan. Mitra tutur hanya ”dipaksa” untuk menghitung biaya pemakaian kartu perdana ”Mentari” tapi  tidak dipaksa untuk membelinya.

Dengan menggunakan teori skala pilihan, bahasa iklan pada gambar 1 telah memenuhi standar kesopanan. Terbukti tidak ada nada paksaan dalam iklan untuk memilih produk yang ditawarkan, sehingga meskipun mitra tutur membenarkan bahwa produk tersebut adalah yang paling murah, mitra tutur masih tetap diberi kebebasan untuk memilih produk lain yang disukanya.

Pernyataan bintang iklan pada gambar 1 yang memberikan saran “Ayo it ung lagi!” ternyata mendapat respon yang ”baik” dari bintang iklan  gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Iklan Produk 2 dari PT Excelcom

Iklan 2 mengawali kata-katanya dengan mengutip peribahasa ”Tong Kosong Nyaring Bunyinya” yang kemudian dilanjutkan dengan kalimat peringatan untuk berhati hati pada janji Si Nol. Gaya retorika ini agak berbeda dengan iklan 1 dan pada paper ini disebut sebagai gaya retorika  ”kutip-pesan” yaitu mengutip sebuah peribahasa Nusantara sebelum kemudian memberikan pesan untuk berhati-hati pada sesuatu.

Pada gambar 2 terlihat jelas nilai emosional yang ditonjolkan antara lain dengan mengeluarkan beberapa pernyataan sebagai berikut:

  1. Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Kalimat atau pernyataan ini merupakan tanda (semiotik) lingual yang berfungsi memojokkan “rivalnya” yang mungkin terlalu sering menampilkan iklan-iklannya di media masa dan televisi. Kata ”kosong” pada ”tong kosong nyaring bunyinya” ditujukan pada Iklan 1 yang mengusung label ”Si Nol.”
  2. Hati Hati Janji Si Nol. Dari pernyataan ini terlihat siapa “rival”  dari iklan ini. Figur wanita yang sedang duduk di atas tong sampah yang terbuka menunjukkan superioritas yaitu berusaha menunjukkan bahwa saya (kartu XL) menang dari (kartu Mentari). Gambar tong sampah yang penutupnya bertuliskan Rp 0 hanya utk 3 mnt tanda semiotik mengacu pada kegiatan merendahkan ”Rival” dari iklan ini yaitu iklan pada  gambar iklan nomor 1. Dengan melihat tanda semiotik ini, seakan-akan memberi informasi pada kita bahwa menurut Iklan 2, iklan 1 layak untuk dimasukkan ke dalam tong sampah.

Dengan menggunakan teori dua skala kesopanan yang disampaikan Lakoff, baik itu skala formalitas maupun skala pilihan, iklan gambar 2 inipun memenuhi dua skala tersebut. Tidak ada satu kalimatpun yang terkesan memaksa mitra tutur untuk menggunakan produk, tidak ada satu kalimatpun dari iklan yang tidak memberikan kesempatan mitra tutur untuk memilih yang dia mau.

C. Perbandingan Gaya Bahasa Iklan ”Si Nol” dan ”Si Satu” Dalam Perspektif Leech

Meskipun berdasarkan skala kesopanan Lakoff, kedua iklan telah memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai iklan yang ”berbahasa sopan,” namun, dengan menggunakan pendekatan lain, kita akan dapat melihat bahwa dua iklan di atas memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal menunjukkan gaya kesopanan mereka. Dengan tetap menggunakan skala kesopanan, kita masih tetap dapat menganalisis perbedaan kedua iklan. Bedanya, pada bagian ini, skala kesopanan yang kita gunakan adalah dua skala kesopanan dari Leech (1983) yaitu skala untung rugi dan skala ketidaklangsungan.

Leech menjelaskan bahwa skala untung rugi mengacu pada besar kecilnya keuntungan atau kerugian yang diperoleh mitra tutur sebagai akibat dari tuturan yang digunakan oleh penutur. Dengan menggunakan kalkulasi iklan pada gambar 2 yang menggunakan sudut pandang ”persaingan bisnis” maka kita dapat melihat bahwa produk iklan pada gambar 1 banyak memiliki kekurangan (lebih mahal) daripada produk iklan gambar 2. Dengan kata lain produk iklan 2 lebih menguntungkan mitra tutur dari pada produk iklan 1. Namun, karena kalkulasi ini berdasarkan sudut pandang ”persaingan bisnis” maka kita tidak dapat menggunakan hal ini sebagai tolak ukur fakta sebenarnya. Di bawah ini ada perhitungan sederhana untuk menghitung untung-rugi dari pemakaian kedua kartu ponsel secara objektif dan netral.

Perhitungan ini dimaksudkan untuk melihat secara objektif biaya penggunaan kartu ponsel dengan nilai pulsa 5000. Dengan menggunakan perhitungan ala gambar 2, jika ada pulsa 5000 maka ”Si Satu, dapat digunakan selama 29 menit sedangkan Si Nol” hanya bisa digunakan selama 6 menit. Namun apakah benar demikian? Secara matematis, untuk Si Nol”, jika punya pulsa 5000 maka sebenarnya perhitungan yang dilakukan adalah berdasarkan fitur Si Nol” yaitu terdapat sebah program yang disebut ”hebat Berlima.” Program hebat berlima ini perhitungannya adalah berikut, jika digunakan untuk telpon ke 4 nomor yang sudah didaftarkan program hebat berlima, maka tarif teleponnya menjadi Rp 50,- per 30 detik. Sehingga jika pulsa 5000, maka dapat digunakan untuk 50 Menit. Nah, itu belum lagi ditambah jika penggunaan pulsa 5000 tersebut mendapatkan freetalk 5000, sehingga ditambah lagi waktu percakapan selama 50 menit, maka total percakapan yang dapat dilakukan adalah 100 Menit. Lalu, kenapa di tabel pada papan tulis yang ada pada iklan ”Si Satu” tersebut terdapat hasil pehitungan hanya 6  menit? Ini terjadi karena pembuat Iklan ”Si Satu” mengunakan hitungan tarif Rp 1500,-/ menit. Pembuat Iklan ”Si Nol” sangat pintar menyembunyikan maksud iklan sebenarnya bahwa ternyata tarif ”nol” tersebut  hanya berlaku ketika menelpon 4 nomor yang sudah didaftarkan pada program hebat berlima

Dengan menggunakan gaya bahasa menyembunyikan maksud ”Si Nol” yang agak sedikit ”licik” ini, maka tabel di papan tulis yang ada pada iklan ”Si Satu,” seharusnya bertuliskan: Jika ada pulsa 5000 maka si Rp 1,- dapat digunakan selama 29 menit sedangkan si Rp 0,- dapat digunakan selama 100 menit (dengan catatan untuk menelpon 4 nomor yang telah didaftarkan pada program paket hebat berlima). Dengan menggunakan penghitungan terhadap untung rugi pemakaian kartu ponsel di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa iklan iklan ”Si Satu” memberikan keuntungan lebih kecil dari pada iklan ”Si Nol” (apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku).  Dengan demikian, gaya bahasa gambar iklan 1 lebih santun daripada gaya bahasa pada gambar iklan 2.

Pada aspek kedua yaitu skala ketidaklangsungan yang disampaikan oleh Leech, kita dapat melihat bahwa gaya bahasa pada iklan 2 ternyata lebih santun daripada gaya bahasa pada iklan 1. Penilaian ini didasarkan pada langsung atau tidaknya maksud dari gaya bahasa yang muncul. Semakin langsung maksud dan tujuan, semakin tidak santun gaya bahasa tersebut bagi mitra tutur. Semakin tidak langsung maksud gaya bahasa penutur, semakin santunlah gaya bahasa penutur.

 Dengan menggunakan pertanyaan ”ada yang lebih murah (dari saya)?” pembuat iklan seakan berusaha menunjukkan ekspresi ganda, yaitu sebagai sebuah pertanyaan murni untuk menanyakan apakah ada produk yang lebih murah dari produk penutur dan sebuah pernyataan untuk membanggakan diri bahwa tidak ada produk lain yang lebih murah dari penutur. Ini jelas berbeda dengan iklan 2 yang menggunakan kalimat ”Hati-hati dengan janji si nol.” Ekspresi ini memiliki kesan samar karena meskipun tujuanya jelas untuk mengajak mitra tutur agar berhati-hati dan tidak terbujuk ajakan ”Si Nol” dan meninggalkan produk pada gambar iklan 1, namun penggunaan frasa ”Si Nol” bermakna kabur dan asosiatif. ”Si Nol” bukan hanya dapat mengacu pada angka nol yang berarti jelek atau buruk, namun juga dapat mengacu pada pulsa nol yang ditawarkan pada gambar iklan 1. Penutur yang belum pernah mendengar dan melihat iklan ”Si Nol” pastinya akan kesulitan memahami iklan ini. Selain ia harus dapat menginterpretasi makna kata-kata pada iklan 2, ia harus juga dapat menemukan referen ”Si Nol” yang ada pada iklan tersebut. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa iklan 2 memiliki bahasa yang lebih santun pada skala ketidaklangsungan dari pada iklan 1.

D.  Strategi Adu Muka Iklan “Si Nol” dan “Si Satu”

Menurut Brown dan Levinson (1987:59), semua penutur atau pengguna bahasa memiliki muka positif, yaitu citra diri yang berupa keinginan agar dihargai dan disenangi orang lain serta muka negatif yaitu citra diri yang berupa keinginan untuk melakukan sesuatu secara bebas tanpa dikendalikan oleh orang lain. Tuturan atau penggunaan bahasa seseorang secara intrinsik berpotensi mengancam muka penutur maupun mitra tutur, atau pengguna bahasa maupun penerima pesan. Tindak yang demikian disebut tindakan mengancam muka (TMM).

Brown dan Levinson dengan menggunakan pendekatan TMM membagi penutur ke dalam dua kategori yang berseberangan yaitu kategori pertama dan kategori kedua. Kategori pertama antar lain adalah:

  1. tindak yang mengakibatkan mitra tutur menyetujui atau menolak melalukan sesuatu, seperti memerintah, meminta, memberi nasehat, memberi saran, mengingatkan, mengancam, memperingatkan dan menantang
  2. tindakan yang mengungkapkan upaya penutur melakukan sesuatu terhadap mitra tutur dan memaksa mitra tutur untuk menerima atau menolak tindakan tersebut, seperti menawarkan dan berjanji.
  3. tindak yang mengungkapkan keinginan penutur untuk melakukan sesuatu terhadap mitra tutur atau apa yang dimiliki oleh mitra tutur seperti memberi ucapan selamat, mengagumi, membenci dan marah.

Sedang kategori kedua adalah:

  1. tindak yang memperlihatkan bahwa penutur memberi penilaian negatif terhadap mitra tutur, seperti mengungkapkan sikap tidak setuju, mengkritik, menghina, dan menuduh
  2. tindak yang memperlihatkan sikap tidak peduli penutur terhadap muka positif mitra tutur seperti mengungkapkan emosi, membicarakan hal yang tabu, mengungkapkan berita buruk, memenggal pembicaraan dan menyapa dengan sapaan yang buruk

Dengan menggunakan dua kategori di atas serta dengan melihat pada gambar iklan 1 dan iklan 2, posisi kedua iklan tersebut berada dalam dua posisi berbeda dan bertentangan. Iklan pertama berada pada kategori pertama kelompok 1. Penutur mengakibatkan mitra tutur menyetujui atau menolak melakukan sesuatu, yaitu dengan cara meyakinkan pembaca iklan bahwa tidak ada biaya operator yang lebih murah selain menggunakan kartu telpon iklan tersebut. Berbeda dengan gambar iklan 1, iklan 2 masuk pada kategori 2 kelompok 2. Tindakan yang memperlihatkan bahwa penutur memberi penilaian negatif terhadap mitra tutur yaitu dengan mengungkapkan sikap tidak setuju dengan menyatakan masih ada operator yang lebih murah serta dengan menghina sang rival dengan menggunakan pribahasa tong kosong nyaring bunyinya.

Bahasa pada iklan 2 adalah gaya bahasa reaktif, berapi-api dan memiliki nuansa makna amarah. Perasaan ini ditunjukkan melalui beberapa kalimatnya yang jelas menyerang pernyataan yang diajukan iklan 1 sebelumnya. Pertemuan (atau tepatnya perseteruan) dua gaya bahasa dalam daua iklan berbeda inilah yang kemudian dijadikan judul paper ini yaitu “adu muka” dua iklan yaitu iklan pada gambar 1 dan gambar 2.

E. Simpulan

Dari paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ke dua iklan yaitu iklan pada gambar 1 dan gambar 2 memiliki persamaan dan perbedan dalam kualitas gaya bahasa yang mengarah pada aspek kesopanan. Dengan menggunakan skala kesopanan Lakoff, kedua iklan memiliki derajat yang sama tingkat kesopanannya. Dengan menggunakan Skala yang diajukan Leech ditemukan ternyata kedua iklan memiliki perbedaan.

Dalam perspektif Brown dan Levinson, kedua iklan berada dalam posisi berbeda, yaitu iklan 1 sebagai anggota kategori pertama yaitu pihak yang mukanya diancam, sedang iklan 2, berada dalam posisi pengancam.

Adanya kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan motivasi pembuat iklan untuk lebih kreatif dan menjaga kualitas gaya bahasa iklan mereka sehingga empat skala kesopanan baik itu yang disebutkan oleh Lakoff maupun Leech dapat terpenuhi.

Referensi

Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman

Lakoff, Robin. 1973. The Logic of Politeness: or, Minding Your p’s and q’s dalam papers from the Ninth Regional Meeting of The Chicago Linguistics Society. Chicago: Chicago Linguistics Society.

Brown, Penelope dan Levinson, C. Stephen. 1987. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: