Cinta adalah rembulan yang bersinar terang bersama dengan tiadanya siang. Cinta datang kepadaku ketika hatiku berpaling. Kucoba menyingkirkannya dengan dalih sejuta alasan. Namun ibarat hujan, ia hadir ketika banjir, dan ia hilang ketika kemarau menjelang. Atas namaku cinta berkata dengan lantang: “Kau takkan mungkin dapat berpaling sedang nalurimu berusaha memelukku. Kau takkan mungkin singkirkan aku sedang kau masih tergila-gila membaca kitab-kitab peradaban.“
Aku tak pernah berusaha menganggapnya ada, tapi ia selalu datang dalam bentuk nafas malam yang terluka. Menghiba, meronta dan mengharubirukan kesunyian istana hatiku hingga akhirnya pesona cintakupun terbakar.
Akhirnya aku terbelenggu rindu. Dibuatnya aku terdampar pada seorang wanita yang tak pernah sekalipun kuyakini bisa mengobati dahaga cintaku yang tak pernah berhenti. Ia berikan aku kasih dari lautan garam yang membuat kerongkongan rinduku tercekat kehausan. Ia hiasi ruang hatiku dengan menawarkan kedamaian yang semula kuragu akan inti dari kedamaian itu. Ia berikan laifnya dirinya hingga aku merasa kasihan. Perasaan itulah yang pada akhirnya menjadi titik lemahku. Aku dikalahkan telak olehnya dan nyaris gila. Aku tak bisa lepas, aku tak bisa bebas. Aku berada dalam terungku cinta. Aku telah sepenuhnya buta hingga aku mampu memastikan takdir dan mensucikan sejarah kleopatra. Menjadikan novel romeo-juliet sebagai kamus hidup yang aku bawa kemana-mana. Menjadikan kisah laila dan qais sang majnun menjadi inspiratorku. Aku yakin bahwa dialah bagian rusukku yang hilang yang selama ini aku nanti dambakan.
Namun tak semuanya sejalan dengan anganku. Banyak sahabat yang kemudian berpaling meludahkan kutuknya padaku. Mereka menamparkan berbagai fakta pada mukaku bahwa ia, bidadariku, tak sebaik yang kukira. Tapi sayang, mataku telah silau, silau karena semara. Aku berkata setengah tertawa untuk menyakinkan diriku bahwa pilihanku tepat. Terbakar dalam hujan disaat ini mustahil bagiku. Banjir dalam kemarau hanya ada dalam lelucon waktu.
Dalam kepongahanku aku lupa akan sesuatu. Aku lupa bahwa aku tetap tidak tahu lukisan impianku terhampar dimana. Yang aku tahu langkah pengembaraanku telah stagnan pada sosok wanita. Hanya sesosok dia. Bodohnya aku!
Sunnatullah menentukan jalan. Apa yang kupikir mustahil, ternyata terjadi. Dalam tempo satu tahun, nasib telah menggilasku dalam intrik pengkhianatan. Wanita yang selama ini pundaknya kujadikan pijakan bersandar, menghantamku dengan dua aib gila yang takkan pernah bisa aku maafkan. Bodoh! Aku tertipu. Aku tak tahu lagi hendak kemana air muka ini kuselindungkan. Tinta cinta ini telah terlanjur menjadi darah dan memercik ke sekujur tubuhku. Aku mengutuk pada dirinya, aku mengutuk pada diriku, aku mengutuk pada semua yang bisa kukutuk. Bukan karena lautan impianku jadi kering karena kemarau yang gersang, tapi karena adanya dua lobang pada horizon cintaku yang telah kau buat dengan pengkhianatanmu. Air harapanku meluap semuanya kesana. Keji! Sangat keji! Dalam sesakku baru aku sadari, cinta telah menipuku