Telah digariskan sejak Adam tercipta, bahwa manusia memiliki dua potensi yang sebenarnya jauh berlawanan dalam sifatnya. Pertama adalah potensi untuk mencinta, apapun yang mereka sebut yang tercinta akan mereka pertahankan dengan segenap raga dan jiwa mereka, tidak peduli itu adalah buruk dalam garisan norma, agama, bahkan mungkin nurani mereka, asalkan dapat mereka miliki selamanya, maka keburukan itu dapat menjadi bianglala gemerlap, indah, seindah serpihan cahaya bulan pada waktu purnama yang tidak dapat ditadah, namun dapat mengalun pada kalbu manusia melalui perantara malam gulitanya. Tetapi di lain pihak ketika potensi mencmtai ini ada pada seorang manusia yang sadar dan mau menyadari siapa dirinya, mengetahui tentang cinta, bayangan dan definisi sebenarnya, ia pasti akan dengan seksama membuat proteksi kuat yang terwujud dalam imannya.
Manusia tersebut akan sadar bahwa cinta itu sebenarnya adalah nafsu yang telah dilemahkan, bagaimana tidak dilemahkan, jikalau kita melihat berapa banyak orang yang hancur akibat cmta, bagaimana kita bisa melihat perzinahan yang mengatas namakan cinta terjadi tanpa adanya penghalang. Orang-orang yang mati bunuh diri akibat disia-siakan cinta, atau akibat dan tertolaknya cinta terhadap sesuatu hal mereka menjadi trauma dan tidak mau lagi mengerjakan sesuatu apabila tidak dengan terpaksa. Lihat…! Semuanya terjadi atas nama cinta. Seorang jejaka akan dengan bohongnya mengatakan bahwa dia mencintai pasangannnya, lawan jenisnya, ataupun hal lain yang diidam-idamkannya, padahal sebenarnya yang dicintainya adalah dirinya sendiri, nafsu birahi memiliki dan menguasai yang terpendam dalam segenap pori-porinya, dan kapan saja mungkin bisa meledak apabila ada kesempatan. Sedang nyata dia berusaha menutuinya dengan tangan-tangan kotor dan setan lewat mulut manisnya, atau ekpresi wajah biasanya untuk menyelindungkan muka mesumnya. Tidak…..! tidak ada satupun perasaan di dunia mi yang murni cinta, karena telah jelas sekali bahwa sekali dia mencinta, nafsulah yang mengontrol perasaannya, kecuali apabila kemurnian cinta itu ditujukan pada pencipta, hanya pencipta semata.
Sedang kasih sayang, dalam pengertian sebenarnya adalah egoisme yang terpendam. Pada taraf melihat dan meraba tentang paradigma cinta inilah, orang yang benar-benar sadar tentang kasih sayang ini akan berusaha memijakkan hatinya pada fakta bahwa berapa banyak manusia yang hilang jati dirinya karena kasih sayang. Seorang yang menyayangi serta mengasihani, maka prasaan itu akan ia wujudkannya dalam dua hal, pertama ia akan berusaha untuk memiliki apa yang dia sayangi dan pada saat dia telah memiliki apa yang ingin dimilikinya, diakui atau tidak, ía akan takut kehilangan sesuatu itu. Untuk makin jelasnya marilah kita lihat fenomena seorang ibu yang sangat mengasih sayangi anaknya, maka ia akan dengan sangat berusaha melampiaskan egonya untuk dapat terus memiliki anaknya selamanya, sehingga pada suatu waktu sang anak meninggalkannya baik meninggalkan secara mutlak lewat berpulangnya dirinya pada penciptanya, atau memang direnggut oleb sang waktu, yang bisa dilakukan sang ibu hanyalah menangis dan mengutuk nasibnya, demikian juga sebaliknya yaitu pada saat sang ibu meninggalkan anaknya. Sedang aplikasi yang kedua dari potensi menyayang adalah berusaha untuk mengliancurkan. Tidak wajar bukan? Tetapi hal mi dapat dimaklumi karena andaikata kita berpikir dengan seksama mana ada manusia yang akan dengan rela atau gembira menerima kenyataan bahwa apa yang disayanginya ternyata tidak bisa dimilikinya, tentu yang tampak wujud sifat frustasi bukan? Yang mungkin bisa saja diwujudkan lewat dendam dan bersikap untuk menghancurkan apa yang semula ingin dimilikinya sehingga tidak seorangpun yang dapat pula memiliki selain dirinya, sikap mi jelas sekali terkontaminasi oleh potensi manusia yang kedua yaitu potensi membenci terhadap sesuatu yang tidak disenanginya. Potensi yang kedua ini dapat rnewarnai potensi yang pertama karena sebenarya keduanya memiliki sifat yang sama yaitu timbul oleh suatu sebab yang nantinya diproses melalui panca indra dan seluruh aktifitas akal manusia dan diwujudkan lewat sikap simpati ataupun antipati. Memang, mungkin bahwa perwujudan perasaan ego mi semuanya dapat dinunimalisir oleh hukum agama, pranata sosial, undang-undang yang ada dalam masyarakat, namun yang jelas perasaan dan aplikasinya mi akan terus ada selama manusia masih ada, akan terus diwujudkan selama akal dan fisik manusia masih berwujud jelas.
Sedangkan bagi orang yang mengerti akan definisi dua perasaan tadi, dia akan berusaha untuk memanfaat menjinakkan keduanya yaitu cinta dan kasih sayang, sehingga dapat berguna bagi dirinya dan bukan malah sebaliknya yaitu cinta dan kasth sayanglah yang memanfaatkan dirinya. Sekali orang telah hanyut terbawa dan dimanfaatkan oleh cmta, terlena akan hangat dan nikmatnya cmta, maka ia akan tercandu, dan terjerat selamanya, bagaikan serangga kecil yang tertarik akan kilaunya jaring laba-laba, sedang dia tidak sadar bahwa pada saat dia mendekat dan terjerat pada jaring itu, dia tidak mungkin akan bisa menikmati hidupnya lebih lania lagi. Cinta adalah obat yang mujarab bagi yang merasakannya, tetapi di lain pihak, akan dapat membahayakan apabila suatu saat seseorang berhenti untuk mengkonsumsinya. Sekali keluar aturan pemakaian obat cinta, sengsaralah akhirannya.
Seseorang yang paham akan dua perasaan tadi, akan membungkus keduanya dengan dengan bungkus akal, iman dan kenyataan serta meneteskankan secara tepat pada seluruh aspek kehidupan, apabila dia membutuhkannya yang tenth saja disesuaikan dengan porsinya, sehingga kecil sekali dirinya, hatinya terkontaminasi oleh cinta yang berat sebelah. Dan adalah tidak wajar andaikata seorang manusia tidak mampu menyeimbangkan kecenderungannya untuk mencinta pada lawan jenisnya dan mencinta pada penciptanya.
Sekarang tinggal kitalah yang menentukan sikap, mau menjadi orang yang paham, atau dipahamkan oleh fakta dan ketaatan, ataukah sebaliknya, kita dipahami sebagai sebagai seorang pencinta gila yang tidak terarah warna hidup dan jalan yang ditempuhnya. Namun yang jelas, apapun pilthan kita, toh akhirnya manusia itu harus sadar bahwa sebenarnya manusia itu sendiri sangat butuh dengan cinta. Karena cintalah yang dapat mewarnai hidup kita menjadi jauh lebih berwarna.
Namun sebelum kita beranjak dan pemikiran tentang paradigma cinta mi, dan berpijak pada fakta yang nyata, bahwa sekarang kita sedang berada dalam realita dan bukan hanya sebatas berada dalam angan dan imajinasi yang telah di ganiskan dalam buku mi, alangkah baiknya andaikata kita berusaha menilai tentang cmta itu sendiri lewat puisi-puisi yang terlahir dan merahnya tinta cinta. Cermati, dan temukanlah hakikat cinta yang mungkin lupa kita kita sadani bersama.