Ada Yang Pamer Ada Yang Lumer
Pejabat mahir berbahasa asing tentu bukan hal yang salah. Bahkan kemahiran itu sudah pasti merupakan kelebihan. Tapi kemahiran itu kini menimbulkan kegelisahan. Apalagi kemahiran itu lantas dicampuraduk dengan bahasa Indonesia dalam forum nasional. Contoh mencampuradukkan bahasa itu ditunjukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Salah satu bahasa campur-campur SBY yang populer adalah I don’t care. Ucapan itu disampaikan SBY dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang Indonesia (Kadin) pada awal tahun lalu. Saat itu SBY menceritakan kritikan yang menyebut pemerintahan yang dipimpinnnya gagal. Akibat kegagalan itu, popularitas SBY menurun. “I don’t care with my popularity. Saya hanya “care” pemerintah bisa bekerja penuh dan bisa memberikan kesejahteraan rakyat,” kata SBY kala itu.
Selain Pak Presiden, bahasa campur-campur pun sering diucapkan para pejabat. Menteri-menteri di jajaran ekonomi biasanya sering menjawab pertanyaan wartawan dengan bahasa Inggris. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom, misalnya, sering cas cis cus dan mencampur bahasa Indonesia dan Inggris saat menjelaskan persoalan.Kebiasaan para pejabat mencampurkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia itu kini membuat gerah pakar bahasa Indonesia. Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) mengeluhkan kebiasaan tersebut saat menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk melaporkan rencana penyelenggaraan Konferensi Internasional HISKI. Yayah B. Lumintaintang, pakar bahasa dari HISKI menyatakan kebiasaan pejabat itu telah melanggar UUD tentang fungsi bahasa nasional. Dalam UUD 45, disebutkan bahasa resmi dan bahasa nasional adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian para pejabat harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam situasi resmi. Mengapa pejabat suka menyelipkan bahasa asing walau sedang berbincang dalam forum nasional?
Ahli bahasa Harimurti Kridalaksana mempunyai dugaan, pertama, untuk menunjukkan ia menguasai bahasa asing. Kedua, kemungkinan menganggap Bahasa Indonesia kurang bergengsi. Kebiasaan para pejabat menyelipkan bahasa asing dinilai sangat mengganggu perkembangan bahasa Indonesia.
Pencampuran itu akan menghilangkan jati diri sebagai suatu bangsa dan negara. Aksi campur mencampur itu dikhawatirkan akan melenyapkan bahasa Indonesia yang merupakan jati diri nasional. Saat ini saja minat generasi muda untuk mempelajari bahasa Indonesia menurun. “Secara langsung maupun tidak langsung, pemakaian bahasa asing pejabat dengan minat generasi muda mempelajari Bahasa Indonesia memang ada kaitan,” kata Harimurti. Untuk itu, agar bahasa Indonesia tidak terpinggirkan, para pejabat harus bersikap bijaksana. Pejabat harus sadar ia merupakan contoh bagi masyarakatnya. Karena itu, ia harus selalu menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Selebihnya baru bahasa asing. Sikap mengutamakan bahasa Indonesia bukan berarti kemudian melarang penggunaan bahasa asing. Sebenarnya, jika memang diperlukan, penggunaan bahasa asing tidak menyalahi pemakaian bahasa. Namun, pemakaian bahasa asing ini harus disesuaikan dengan tempat dan situasi. Dalam forum resmi nasional, sudah pasti, bahasa Indonesia wajib digunakan. Sementara dalam forum internasional, bahasa asing sudah semestinya dipakai dengan baik dan benar.
Namun sayangnya, dalam forum internasional sejumlah pejabat justru mati kutu saat harus beringgrisria. Hal ini pernah dialami oleh mantan Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja. Gara-gara bahasa Inggris Andung yang berantakan, forum diskusi dengan jajaran Infoys di India menjadi kaku. SBY pun sempat marah karena malu. Selain Andung, peristiwa memalukan juga dialami Menteri Pariwisata Jero Wacik. Dalam acara Tourism & Communications Conference di Bali, Jero Wacik menunjukkan bahasa Inggrisnya sangat parah. Saat salah satu peserta konferensi bertanya dalam bahasa Inggris, Jero Wacik hanya membalasnya dengan tersenyum-senyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Moderator diskusi acara itu bahkan sampai berkali-kali menanyakan kepada Si Menteri apakah mengerti pertanyaan yang disampaikan. Begitu juga saat beberapa penyaji menyampaikan lelucon dalam bahasa Inggris, sang menteri pun hanya mengangguk-anggukkan kepala, padahal peserta lain tertawa terbahak-bahak.
Duuh, Putri Indonesia!
Tiga bulan penuh dijalani kursus bahasa Inggris itu. Pengajarnya seorang penutur asli alias bule dari sebuah lembaga kursus ternama. Seminggu ia wajib kursus tiga kali dengan lama waktu dua jam. Dengan bekal kursus itu, Nadine Candrawinata mantap pergi ke Los Angeles mewakili Indonesia di ajang Miss Universe. Putri Indonesia itu optimis akan bisa menyamai pendahulunya, Artika Sari Devi, yang bisa masuk 15 besar.
Namun, lain harapan lain pula kenyataan. Saat jalan menuju malam final 23 Juli masih panjang, Nadine justru sudah babak belur dihajar kritikan. Gara-garanya adalah wawancara untuk situs resmi Miss Universe. Gadis kelahiran Hannover, Jerman, 8 Mei 1984, menjawab wawancara dengan gelagapan. Bahasa Inggris yang sudah tentu merupakan modal utama untuk ajang internasional itu tidak dikuasai Nadine. Kursus yang dijalani selama tiga bulan seperti lalu bersama angin.
Dalam sesi wawancara itu, bahasa Inggris Nadine terlihat jelas berlepotan. Sering kali, Nadine ber-oh dan eh untuk memperbaiki ucapannya. Selain gagap, tata bahasa Inggris Nadine pun tak beraturan. Bahkan yang paling parah, si cantik yang usai penobatan putri Indonesia mengutip pernyataan filsuf Descartes yang menyatakan saya berpikir maka saya ada, menyebut Indonesia sebagai sebuah kota bukan negara. “Indonesia is a beautiful city, you should go there to visit by yourself because we have a lot of beautiful beaches and the spectacular mountain and dramatic of history and so the people,” kata Nadine saat ditanya apa yang ia inginkan orang lain untuk tahu mengenai Indonesia.
Wawancara itu pun membuat heboh publik di tanah air. Media massa, milis-milis, serta perbincangan dari mulut ke mulut riuh menggunjingkan bahasa Inggris Nadine. Kakak si kembar Marchel dan Mischa ini pun dicap tidak layak mewakili Indonesia. Nadine dinilai telah memalukan bangsa ini karena nekat berbahasa Inggris yang tidak dikuasainya. Semestinya bila tidak menguasai bahasa internasional itu, lebih baik ia tetap menggunakan bahasa Indonesia.
Sejumlah peserta Miss Universe seperti dari Cina misalnya tetap memakai bahasa nasionalnya. Humas Yayasan Putri Indonesia (YPI) Mega Angkasa mengatakan tidak tahu bila dalam sesi wawancara itu diperbolehkan memakai bahasa nasional. Nadine bukannya gengsi untuk menggunakan bahasa Indonesia. Menurut Mega, ia telah menyiapkan bahasa Indonesia untuk perkenalan di panggung dan malam grand final pada 23 Juli mendatang. Mengenai bahasa Inggris Putri Indonesia 2005 yang amburadul diduga terjadi karena ia masih gugup dan jetlag. Menurut Mega, wawancara itu dilakukan saat gadis berdarah Jerman itu baru tiba dan selesai di-make up. Artika yang merupakan senior Nadine juga membuat pembelaan yang sama.
Namun, bila melihat jadwal kegiatan Miss Universe, wawancara itu dijadwalkan pada 11 Juli. Sementara Nadine telah meninggalkan Indonesia pada 5 Juli. Jadi dengan rentang waktu itu, kurang tepat jika jetlag dijadikan alasan Nadine. Kecerdasan Nadine yang merupakan salah satu syarat untuk memenangkan Putri Indonesia pun dipersoalkan. Ada tiga syarat Putri Indonesia yaitu 3B yang meliputi beauty (kecantikan), brain (kecerdasan), dan behaviour (tingkah laku). Nadine dinilai tidak memenuhi kriteria brain. Jawaban si cantik beribu Jerman itu dalam sesi wawancara menunjukkan ia tidak cerdas.
Dalam wawancara itu, peserta Miss Universe diharuskan menjawab sejumlah pertanyaan, seperti kegiatannya di waktu luang, tokoh idola, impian sepuluh tahun ke depan, penilaian teman terhadap dirinya, dan menjelaskan tentang Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab secara cerdas oleh Nadine. Soal tokoh idolanya, maksud Nadine menyebut Mother Theresa sebagai idolanya. Tapi jawaban Nadine terbalik menjadi Ibu Theresa-lah yang mengidolakan dia. Dan alasan Nadine mengidolakan Mother Theresa terasa dangkal. Ia mengidolakan Mother Theresa karena ia rendah hati, cantik, dan mempunyai kepribadian yang mengagumkan.
YPI tentu saja membantah Nadine menang hanya karena kecantikannya. Nadine memang lebih tinggi dibandingkan dua finalis Putri Indonesia lainnya yakni Lindi Cintia Praba (20) wakil Yogyakarta dan Valerina Daniel. Namun, mahasiswa London School itu menang karena mampu menjawab pertanyaan pamungkas malam final itu dengan cemerlang. Saat itu tiga finalis ditanyakan pendapatnya tentang pepatah lama yang menyatakan, sahabat sejati seperti bayangan. Ia akan bersamamu ke mana pun kamu pergi. Apakah Anda setuju? Lindi dan Valerina setuju dengan pepatah itu. Sementara Nadine tidak. Menurut Nadine, sahabat sejati tidak bisa disamakan dengan bayangan karena bayangan ada saat cahaya mengenainya. Sementara sahabat itu dapat datang dan pergi, namun tetap ada tanpa harus ada cahaya atau tidak. “Jadi itu yang membuat kita tercengang sehingga dia dinobatkan menjadi Putri Indonesia 2005,” kata Mega.
Meski wawancara dengan situs Miss Universe amburadul, YPI tetap optimis Nadine akan mampu menunjukkan prestasi. Apalagi Nadine banyak difavoritkan. Terakhir pada Minggu 16 Juli, nama Nadine bahkan melejit ke posisi nomor satu dalam polling yang dibuat sebuah situs tentang Miss Universe. Putri Indonesia itu mendapatkan suara 14 persen. Nama Nadine nangkring di posisi satu mengalahkan Miss Dominica Republic dengan selisih suara satu persen. YPI yakin wawancara berlepotan Nadine tidak akan mempengaruhi penilaian. Wawancara yang sesungguhnya dan mempengaruhi penilaian baru akan digelar pada 20 Juli mendatang. Nadine sendiri berjanji akan melakukan “pembalasan” atas wawancara itu. “Kita tetap meminta agar seluruh bangsa Indonesia mendukung dengan doa,” pinta Mega.
Merana Bukan Hanya Ulah Pejabat
Namanya konferensi internasional bahasa Indonesia. Pesertanya berasal dari sejumlah negara dari seluruh penjuru dunia. Ada Amerika, Inggris, Jepang, Australia sampai Aljazair. Semua tamu manca negara itu dengan antusias menyimak presentasi tentang bahasa Indonesia di Hotel Marbela, Anyer beberapa waktu lalu. Peserta konferensi lantas menyampaikan keinginannya untuk membuka kursus bahasa Indonesia di negaranya masing-masing. Bagi para peserta itu, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang patut dipertimbangkan di masa depan. Namun bagaimana bahasa Indonesia apakah akan mampu menjadi bahasa dunia semua tergantung bangsa ini sendiri. “Hanya orang Indonesia yang mampu menduniakan bahasa Indonesia sendiri,” kata salah seorang profesor bahasa dari Aljazair dalam konferensi itu.
Berdasar dari pengalaman dalam konferensi itu, Pusat Bahasa Indonesia sangat kecewa dengan perkembangan bahasa nasional di tanah air. Di negerinya sendiri, bahasa Indonesia seperti disia-siakan karena dinilai kurang bergengsi. Negeri ini lebih mengistimewaskan bahasa asing dibandingkan dengan bahasanya sendiri. Sejumlah pejabat misalnya suka menyelipkan kalimat asing dalam bahasa Indonesia. Padahal kalimat asing itu merupakan kalimat yang sangat biasa dan sudah ada terjemahannya dalam bahasa nasional. Prihatin dengan perkembangan bahasa Indonesia, minggu lalu pakar bahasa Indonesia mengritik para pejabat yang suka mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Para pejabat termasuk Presiden SBY dinilai telah melanggar UUD yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hobi pejabat menyelipkan bahasa asing dikhawatirkan makin meminggirkan bahasa Indonesia.
Namun kritikan itu justru membuat heran Juru Bicara Presiden Dinopatti Djalal. Tidak semestinya kebiasaan presiden memakai bahasa asing dikritik. Menurutnya, penggunaan bahasa asing justru menunjukkan intelektualitas seseorang. “Jargon-jargon para pemimpin dunia sering dilakukan dalam bahasa asing,” tandas Dino. SBY, tandas Dino, tetap memperhatikan pengembangan bahasa Indonesia. Dalam pidatonya, SBY selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Untuk mengatasi polemik penggunaan bahasa nasional dan bahasa asing, saat ini Depdiknas masih menggodok Rancangan Undang Undang (RUU) Bahasa. Berapa pasal dalam RUU itu antara lain mengatur pejabat menggunakan bahasa Indonesia dalam forum resmi nasional, penamaan merek produk serta sanksi bagi yang melanggarnya. “Masih dalam pembahasan dan penggodokan Depdiknas, bagaimana hasilnya nanati kita juga belum tahu,” kata Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugondo. Ditargetkan RUU ini sudah dilimpahkan ke DPR pada akhir 2007. Dengan demikian pada 2008 RUU ini sudah bisa disosialisasikan kepada masyarakat.
Sementara ahli bahasa Muhadjir tidak setuju kesalahan atas perkembangan bahasa Indonesia hanya dibebankan pada pejabat. Media massa juga berperan besar dalam meminggirkan bahasa nasional ini. “Lihat saja misalnya beberapa televisi. Mereka menggunakan dua bahasa sekaligus. Bahkan dalam tajuk atau judul acara sekalipun,” kritik Muhadjir. Media semestinya bisa bersikap bijaksana dengan mempertahankan bahasa nasional dan tidak menampilkan bahasa campur-campur. Bagi media massa yang melanggar, Muhajir menyarankan Pusat Pembinaan Bahasa agar memberikan teguran keras.
Perbandingan Ideal 60:40
Bahasa Indonesia dan bahasa asing bisa hidup berdampingan di negeri ini tanpa harus saling meminggirkan. Untuk pemakaiannya agar bahasa nasional tak terpinggirkan ada rumus 60:40. Untuk bahasa Indonesia 60 persen dan porsi bahasa asing 40 persen. Demikian pendapat profesor teori linguistik dan Bahasa Indonesia dan Kepala Pusat Leksikologi dan Leksikografi di Universitas Indonesia Harimurti Kridalaksana. Berikut petikan wawancara detikcom dengan Harimurti Kridalaksana:
Kalangan peneliti dan pemerhati bahasa dan sastra Indonesia yang tergabung dalam Hiski mengritik kebiasaan pejabat memakai bahasa asing dalam berpidato dalam forum resmi nasional. Menurut anda apakah memang penggunaan bahasa asing para pejabat itu akhir-akhir ini sudah sangat mengganggu? Tentu saja sangat mengganggu. Ada dua sebab. Pertama, pejabat yang menggunakan bahasa asing itu ingin menunjukkan bahwa ia menguasai bahasa asing. Kedua, kemungkinan menganggap Bahasa Indonesia kurang bergengsi. Padahal, seharusnya sebagai orang yang menguasai otoritas harus lebih bijaksana dalam menyampaikan pesan. Sebaiknya memang menggunakan Bahasa Indonesia yang mudah dipahami dan dimengerti.
Menurut Hiski, para pejabat yang memakai bahasa asing telah menyalahi fungsi pemakaian bahasa dan memberikan model yang tidak baik bagi pengembangan Bahasa Indonesia. Anda setuju dengan penilaian ini? Ya. Memang tidak baik. Saya kira ini masalah sikap bahasa. Seharusnya pejabat lebih menghargai Bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing. Dalam ranah publik, bahasa nasional harus lebih diperhatikan. Dari sisi etik sosial dan etik pemerintahan, seharusnya lebih memperhatikan penggunaan Bahasa Indonesia. Sebagai pejabat tentu saja harus memberi contoh yang baik pada masyarakat.
Benarkah saat ini minat generasi muda mempelajari bahasa dan satra Indonesia menurun? Apakah penurunan ini ada kaitannya dengan maraknya pemakaian bahasa asing para pejabat? Secara langsung maupun tidak langsung, terkait atau tidak terkait, antara pemakaian bahasa asing pejabat dengan minat generasi muda mempelajari Bahasa Indonesia memang ada. Penggunaan bahasa asing yang lebih sering daripada penggunaan Bahasa Indonesia memunculkan masalah kehilangan jatidiri sebagai suatu bangsa atau negara.
Lalu solusinya sebaiknya bagaimana agar Bahasa Indonesia tidak terpinggirkan oleh bahasa asing?Selalu menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Selebihnya baru bahasa asing. Seperti kita lihat di baliho “Selamat Datang” misalnya, kata “Welcome” atau bahasa asing lain sebaiknya setelah kata “Selamat Datang”. Namun, tidak berarti kita mengesampingkan bahasa asing. Bahasa asing memang tetap harus dipelajari. Penggunaannya yang harus sesuai dengan tempat, situasi, dan audien. Dengan demikian penggunaan bahasa, entah itu bahasa asing maupun Bahasa Indonesia telah sesuai dan tepat.
Saat ini Depdiknas sedang menggodok RUU bahasa. Sejumlah pasal menyatakan melarang pemakaian bahasa asing di tempat publik antara lain para pejabat harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia. Anda setuju dengan pasal ini? Harus diingat bahwa penggunaan Bahasa Indonesia harus menempatkan Bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya. Bukan berarti kita anti bahasa asing. Untuk pejabat dalam menyampaikan pidato atau acara-acara resmi sebaiknya memang menggunakan Bahasa Indonesia. Kata-kata asing sebaiknya dicarikan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Kecuali jika memang kata itu sulit dicarikan padanannya dalam Bahasa Indonesia.
Ada pasal juga yang mewajibkan merek produk harus memakai Bahasa Indonesia, anda setuju?Harus diperhatikan adalah menempatkan bahasa setempat sebagai bahasa utama. Sehubungan dengan produk, sebaiknya memang selalu menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Dalam sebuah brosur atau keterangan obat misalnya, Bahasa Indonesia harus digunakan terlebih dahulu. Selebihnya boleh digunakan bahasa asing.
Ada anggota DPR yang mengusulkan agar Bahasa Inggris dijadikan bahasa kedua di negeri ini. Bagaimana tanggapan anda?Pendapat seperti ini tidak benar. Menjadikan bahasa asing sebagai bahasa kedua atau ketiga, dan sebagainya. Bahasa pertama kita atau sering disebut bahasa ibu tentu saja bahasa daerah kita masing-masing. Bahasa Indonesia kemudian baru disebut sebagai bahasa kedua. Tidak harus bahasa ini sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua. Namun, yang harus tetap diperhatikan adalah bahasa asing harus tetap dipelajari tanpa mengesampingkan bahasa nasional kita.
Bagaimana solusinya agar pemakaian bahasa asing dan Bahasa Indonesia bisa saling mendukung? Paling tidak pengembangan Bahasa Indonesia juga tidak menghalangi peningkatan penguasaan bahasa asing? Dalam setiap bahasa persentase penggunaan kata sekitar 40% untuk kata-kata asing dan 60% kata-kata bahasa setempat. Masyarakat sebagai pengguna bahasa tidak harus menutup diri dengan penggunaan atau terserapnya kosa kata bahasa asing. Proses ini tidak akan menghalangi perkembangan Bahasa Indonesia. Malah justru akan saling melengkapi dan memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia. Proses-proses perkembangan bahasa seperti ini juga tidak menghalangi penguasaan bahasa asing pemakai Bahasa Indonesia.
Disadap dari :http://www.detiknews.com