LOMBA BLOG KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN TINGKAT NASIONAL 2012
Oleh: Iqbal Nurul Azhar
Beberapa negara secara tegas melarang penayangan kekerasan verbal di televisi. Di Amerika Serikat, Federal Communication Commission (FCC) dengan tegas melarang tujuh penggunaan kata kasar dalam siaran radio maupun televisi. Di Kanada, aturan ini juga diberlakukan. Sedikit lebih ketat dari Amerika Serikat, Kanada melalui salah satu pasal yang ada dalam Violence Code 1987, secara tegas melarang penayangan segala bentuk kekerasan baik verbal maupun fisik sebelum jam sembilan malam (Winarno, 2008:16-22). Dua contoh di atas secara utuh memberikan penguatan pada kita bahwa verbal (kata-kata) memang seharusnya diperlakukan secara khusus melalui aturan yang khusus pula.
Sayangnya di Indonesia, aturan yang mengontrol kekerasan verbal kondisinya memprihatinkan. Ini dapat dilihat pada aturan pemerintah tentang Lembaga Sensor Film (LSF) tahun 1994 pasal 19 yang terlihat tegas dapat memotong tampilan, tindakan kekerasan atau kekejaman yang mengarah pada sadisme, namun “tidak berdaya” untuk melakukan pemotongan tampilan yang menunjukkan kekerasan verbal.” Dengan adanya aturan ini, LSF ini tampaknya lebih tertarik pada keberadaan kekerasan fisik dan pornografi dalam produk-produk perfilman serta penyiaran daripada kekerasan verbal. Hal memprihatinkan inipun juga terdapat pada pasal 32 ayat 7 UU no 24 tahun 1997 tentang penyiaran. Pasal ini menunjukkan larangan pada kekerasan fisik dan pornografi pada kegiatan penyiaran. Setali tiga uang dengan aturan sebelumnya, pasal ini tidak “menggigit” terhadap kekerasan verbal.
Satu-satunya aturan yang penulis temukan yang mengatur kekerasan verbal adalah peraturan terbaru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor 02/P/KPI/03/2012. Aturan ini sebenarnya telah memasukkan kekerasan verbal dalam bab dan pasalnya yaitu pada bab XIII pasal 24 tentang pelarangan dan pembatasan kekerasan. Dalam bab dan pasal ini secara jelas dinyatakan bahwa “program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan. Uniknya, meskipun definisi kekerasan verbal telah jelas serta aturan tentang bagaimana tata cara penerapan dan pemberian sanksi bagi stasiun televisi yang memuat hal-hal di atas juga telah ada yaitu pada pasal Bab XXX pasal 27, program-program yang menayangkan kekerasan verbal utamanya pada perempuan masih tetap diperbolehkan tayang.
Di beberapa program televisi yang diobservasi penulis, didapat fakta bahwa perempuan masih tetap diposisikan sebagai pelengkap peran laki-laki serta pemanis acara. Ini dapat dilihat dari akting dan kemunculan mereka yang tidak sebanyak akting dan kemunculan laki-laki. Dalam Opera Van Java misalnya, pembuka acara adalah sinden yang bernyanyi untuk membuat acara menjadi semarak. Sinden ini hanya selingan saja karena yang berperan mengatur jalannya acara adalah laki-laki (kebanyakan Parto dan bintang tamu laki-laki). Demikian pula dialog pembuka, kebanyakan dibuka oleh laki-laki juga (Andre, Ajis, maupun Sule). Kemunculan Nunung sebagai artis perempuan adalah mengikuti artis laki-laki. Pola-pola seperti ini juga muncul di acara lain yang diobservasi peneliti.
Selain pola kemunculan perempuan, ditemukan pula pola lainnya yaitu pola peran dari artis perempuan. Yang menarik, peran artis perempuan dalam program yang diobservasi ternyata ditentukan oleh kualitas fisiknya. Jika artis perempuan yang bermain di acara tersebut berparas menarik (cantik), perannya biasanya adalah pemanis, objek dari rayuan artis laki-laki, subjek yang menjadi rebutan laki-laki, dan peran-peran manis lainnya. Namun jika artis perempuan tersebut berparas kurang menarik, maka perannya berubah menjadi objek lawakan, pemicu tawa, subjek yang diplesetkan, dihina dan bahkan dikasari baik secara fisik maupun verbal.
Perempuan masih tetap menjadi ‘objek’ dalam kacamata lelaki. Terbukti dari beberapa acara yang diobservasi penulis, ada beberapa karakter (perempuan) yang menempatkan perempuan sebagai sosok yang termarginalkan, inferior, banyak memiliki kekurangan, objek yang sensual, bahkan komoditas yang diperebutkan, seperti perempuan yang hanya dianggap sebagai subjek tempat memproduksi anak serta pelayan dari laki-laki.
Dilihat dari jenisnya, ekspresi kekerasan verbal pada perempuan bervariasi. Berdasarkan penuturnya, ekspresi kekerasan verbal pada perempuan diucapkan oleh tiga jenis penutur. Penutur pertama adalah laki-laki dewasa kepada perempuan dewasa, seperti contoh ekspresi “catat pin BB saya,” “pokoknya Jamilah montok.” Ini hal yang biasa dan banyak dijumpai faktanya dalam masyarakat. Penutur kedua adalah perempuan dewasa pada perempuan dewasa lainnya, seperti ekspresi “masyaallah, ibu kayak Saskia,” “ni, ni pacarnya Rafi Ahmad ya?” Ini unik karena biasanya perempuan memiliki empati yang tinggi dan jarang menggunakan kata-kata kasar untuk menghina perempuan lainnya. Penutur ketiga adalah anak laki-laki pada perempuan dewasa seperti ekspresi: “masalah buat lo!” Ini yang bermasalah, karena anak laki-laki tidak sepatutnya berkata kasar pada seseorang yang lebih tua, apalagi orang tersebut adalah perempuan.
Berdasarkan pembentukan katanya yang unik ekspresi kekerasan verbal ini terbagi menjadi dua yaitu (1) akronimisasi kata seperti “kamseupay lo, “komedo: komunitas Melani dodol,” (2) pemendekan kata seperti “kalau yang ini ABG, Atas Bawah Glondongan.” Ditemukan juga ekspresi kekerasan verbal ketiga yang terbentuk karena proses coinage seperti “Ah, lebay lo,” dan “Ne rempong!”
Berdasarkan satuan lingualnya, variasi ekspresi kekerasan verbal ini terbagi menjadi tiga. Ketiga satuan lingual yang menunjuk ekspresi kekerasan verbal tersebut berbentuk; (1) kata interjektif: seperti “setan!”, “pergi!”, “terserah!”, (2) frasa: seperti “muka gila,” “kerbau ijo,” (3) dan kalimat seperti “kamu itu lebih mirip syahrini dari pada syahrininya ya” “dari depan kayak Sean idol, dari belakang kayak sean mesin,” “otakmu kebalik ya?,” “ngapain ke diskotik, mau ngabisin nafas ya nek?”, dan “kalau mau jadi penyanyi dangdut, pergi dari sini!”
Berdasarkan perubahan semantiknya, ekpresi kekerasan verbal terbagi menjadi beberapa macam antara lain: (1) eufemisme (penghalusan makna) seperti “saya senang di bawa mpok Nori naek motor, soalnya kulit mpok Nori alus banget,” (2) disfemisme (pengasaran makna) seperti: “gak kayak Dewi Gita tapi kayak dewi kematian,” (3) asosiasi seperti “kalau ini sih curut lemari,” (4) simile seperti: “kalau dilihat cucok, soalnya badannya kayak silet,” (5) generalisasi seperti: “kemarin aku sama mpok Nori suap-suapan obor” (6) plesetan seperti “Aura kasih apa Aura Kesek?”
Berdasarkan sifatnya, ekpresi kekerasan verbal terbagi menjadi beberapa jenis yaitu (1) stigmatisasi (lebelisasi) seperti contoh “dasar lo perempuan pingit,” “kalau narimu gitu, kapan kita punya anak?” (2) menghina (fisik dan kemampuan), seperti contoh “yang lain itu mukanya belum jadi, yang itu giginya belum jadi, yang ini hidungnya belum jadi,” “itu pake suara mulut apa suara idung?” “kamu matanya sowek,” (3) emosi seperti contoh “Mau cari suami kayak apa? Kayak monyet?” dan (4) ekspresi rayuan seperti contoh: “kamu harus seperti angkot dong, masak angkot bisa dirapetin, hati kamu gak bisa dirapetin,” “minta donk, minta hati kamu untuk aku”
Ditemukannya variasi kekerasan verbal pada perempuan pada lima program televisi di atas mengimplikasikan tiga hal. Pertama, semakin mengukuhkan pernyataan penulis di bagian pendahuluan bahwasanya kekerasan verbal pada perempuan memang jamak ditemukan di Indonesia. Kedua, melengkapi temuan-temuan penelitian sebelumnya yang mengkaji kekerasan verbal dari sudut pandang ilmu komunikasi dan kesehatan serta memberikan informasi baru tentang jenis-jenis kekerasan verbal tersebut. Ketiga, menstimulasi diskusi lebih jauh dalam konteks sosio-semantik.
Diskusi lebih jauh tersebut dasar pijaknya terletak pada sebuah pertanyaan paradox; jika di Amerika dan di Kanada kekerasan verbal utamanya pada perempuan menjadi perhatian yang khusus dan diperlakukan khusus pula, mengapa di Indonesia hal ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius? Eksistensi kekerasan verbal dan pembiarannya untuk muncul di acara-acara televisi (kecuali untuk acara “Kakek Kakek Narsis” yang diprotes oleh redaksi remotv (lihat: http://remotivi.or.id)) seakan memberikan sugesti bahwa tidak ada yang salah dengan ekspresi-ekspresi tersebut asalkan berada dalam konteks hiburan. Ini adalah menarik mengingat di Amerika dan Kanada aturan-aturan tetap tegas diberlakukan meskipun ekspresi kekerasan verbal tersebut muncul dalam konteks hiburan. Dengan kata lain, artikel ini mempertanyakan aspek-aspek universalitas dan kekhususan ekspresi kekerasan verbal pada perempuan sehingga menyebabkan di Amerika dan Kanada ekspresi ini menjadi terasa mengganggu sedangkan di Indonesia tidak, padahal referen dari ekspresi kekerasan tersebut sama yaitu seperti yang didefinisikan oleh Effendy (dalam Winarno, 2008: 16-22). Dalam persimpangan yang sedikit membingungkan ini, isu tentang “sosio- linguistik universal” dan “linguistik partikular” serta hubungannya dengan aspek “neuro-psikologi,” mungkin layak untuk dipertimbangkan.
Sosiolinguistik yang bersifat universal berbicara tentang adanya relasi antara kondisi sosial masyarakat dengan bahasa yang digunakannya. Sosiolinguistik juga mendiskusikan tentang kesantunan berbahasa. Tidak hanya itu, bagaimana konsep sopan santun berbahasa dipahat dalam benak generasi muda dan diturunkan secara turun-temurun juga dibicarakan. Dalam konteks ini, sosiolinguistik berbicara tentang sesuatu yang universal karena di komunitas bahasa manapun, hal-hal di atas selalu ada. Yang mungkin belum tercakup oleh sosiolinguistik karena bersifat partikular adalah materialnya (jenis-jenis ekspresi/katanya yang dapat dikategorikan dalam sopan dan tidak), serta konteksnya.
Tiap bangsa memiliki konsep terkait dekotomi ekspresi verbal, yaitu yang favorit dan yang tidak favorit. Dikotomi ini terlihat jelas ketika digunakan untuk membahas kata-kata tabu, kata-kata makian, maupun ekspresi-ekspresi yang mengarah pada kekerasan verbal. Dikotomi ini sifatnya universal. Yang menjadikan dikotomi ini menarik adalah ketika dikotomi ini digunakan untuk memilah kata-kata mana yang bisa dikatakan favorit maupun yang tidak. Bisa jadi satu bangsa menganggap satu kata/ekspresi adalah kata/ekspresi yang tidak favorit (misalnya: matamu! lambemu), tapi pada bangsa lain menjadi favorit (your eyes, your lips). Inilah yang dikatakan sebagai konsep partikular.
Dalam konteks perbedaan reseptif antara bangsa Amerika, Kanada dan Indonesia terhadap ekspresi kekerasan verbal yang muncul di televisi, universalitas dan partikularitas ekspresi kekerasan verbal juga berlaku. Tiga negara tersebut sangat mengenal dikotomi sopan dan tidak sopan, serta ekspresi favorit maupun idak favorit. Akan tetapi respons ketiga negara tersebut terhadap ekspresi kekerasan verbal yang muncul ditelevisi agak sedikit berbeda.
Di Amerika dan Kanada, kata-kata tabu maupun ekspresi yang terkait kekerasan verbal diperlakukan khusus karena memang sejak di sekolah dasar, anak-anak telah dijelaskan tentang hal ini. Di sekolah dasar, anak-anak juga telah dijelaskan tentang kesetaraan gender dan kewajiban anak laki-laki untuk menghormati teman perempuannya. Ini sedikit berbeda dengan di Indonesia. Kata-kata tabu memang diajarkan sejak dini untuk tidak diucapkan, tapi ekspresi kekerasan verbal utamanya pada perempuan tidak terlalu banyak dirisaukan karena kata-kata jenis ini dianggap sama dengan kata-kata favorit lainnya. Di Indonesia, tingkat penghargaan terhadap perempuan masih kurang bila dibandingkan dengan tingkat penghargaan pada laki-laki. Sistem patriarki, perbedaan sistem pendidikan serta kondisi sosial bangsa Indonesia adalah penyebab perbedaan perlakuan terhadap kemunculan ekspresi kekerasan verbal yang ada di televisi Indonesia.
Sebuah contoh telah disebutkan pada bagian taksonomi kekerasan verbal pada perempuan di atas yaitu tentang seorang anak laki-laki yang menggunakan kata-kata kasar pada perempuan dewasa yang seumuran dengan ibunya yaitu ekspresi “masalah buat lo!” Secara semantik, satuan lingual ini sebenarnya memiliki makna yang favorit, namun karena diucapkan dengan menggunakan intonasi yang naik, maka satuan lingual tersebut menjadi makna yang tidak favorit dan terkesan tidak sopan karena diucapkan anak laki-laki pada perempuan dewasa. Di Kanada, ekspresi yang dikeluarkan anak kecil tersebut mungkin akan mendapat markah tidak favorit apapun itu konteksnya, mengingat Violence Code yang mereka miliki. Di Indonesia, kondisi ini muncul sebaliknya. Karena konteks ucapannya adalah acara hiburan di televisi, satuan lingual tersebut yang seharusnya adalah ekspresi tidak favorit pada perempuan menjadi ekspresi lucu yang mengundang tawa dan bisa dikategorikan sangat favorit. Ini menjadi dilematik jika ternyata ekspresi ini dilihat anak-anak di bawah umum yang kemampuan reseptifnya tinggi. Mereka akan mengimitasi ekspresi ini dan mengungkapkannya dalam percakapan sehari-hari. Kelak, mereka mungkin akan memberikan respon yang sama yaitu mengatakan “masalah buat lu!” Ketika ibu-ibu mereka menegur mereka karena nonton TV terus dan tidak belajar.
Dalam konsep De Saussure, linguistik adalah ilmu yang mengkaji sistem konvensi dari bahasa. Konvensi ini berupa persetujuan masyarakat bahasa untuk menjadikan kata-kata untuk memiliki makna (Rice & Waugh, 1992:5). Jadi bagaimana bangsa Indonesia menggunakan kata “curut” untuk mengacu pada referen tikus dan “curut” sebagai bentuk ekspresi kemarahan adalah bagian dari konvensi (arbritary). Konvensi ini terkadang bercampur aduk dengan kemampuan produktivitas manusia (Yule, 1985: 19) sehingga dapat menghasilkan ekspresi yang tidak menjelaskan kata benda dan tidak pula menjelaskan sebuah ekspresi kemarahan tetapi ekspresi yang lain yaitu hinaan seperti yang muncul di televisi “kalau ini sih curut lemari!” Jika ekspresi ini dilihat anak-anak di bawah umur, mereka bisa jadi meniru ekspresi ini dan menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Bisa jadi kelak, bersama kemampuan produktivitas bahasa mereka, mereka akan memberikan respon yang sama yaitu mengatakan “ibu kayak curut lemari deh,” ketika ibu-ibu mereka mengecek lemari pakaian anak-anak mereka untuk memastikan tidak ada rokok dan majalah dewasa di lemari tersebut.
Hal pelik inilah yang sebenarnya menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia terkait kekerasan verbal. Linguistik memang belum dapat memberikan solusi instan untuk mengatasi masalah ini, namun setidaknya, dari beberapa sisi yang diungkap di atas, celah-celah solusi yang bersifat filosofis dapat ditemukan. Hal yang mungkin perlu dipertimbangkan terhadap masalah ini adalah perlunya penyamaan konsep partikularitas ekspresi sopan/tidak sopan, favorit/tidak favorit. Konsep universalitas tentang dikotomi ekspresi tersebut tidak dapat diganggu gugat karena dimanapun konsep tersebut sama adanya. Yang tidak sama adalah partikularnya, yaitu penentuan ekspresi/kata manakah yang masuk dalam dikotomi tersebut beserta konteks-konteksnya. Adanya persamaan konsepsi ini akan menyebabkan adanya kesamaan aturan yang dipegang di Amerika, Kanada maupun Indonesia. Dengan demikian, konsep kekerasan verbal yang muncul di televisi dapat ditarik limitasinya ke dalam benang merah yang jelas, sehingga apapun konteksnya, baik itu dalam acara hiburan ataupun bukan, dengan niat untuk memaki atau bukan, ekspresi kekerasan verbal akan tetap menjadi ekspresi kekerasan verbal yang perlu diperlakukan secara khusus.
Di sinilah peran lembaga-lembaga seperti LSF, KPI, Kementerian informasi dan Badan Bahasa di uji. Lembaga-lembaga di atas dituntut untuk dapat memberikan regulasi yang ketat siaran-siaran televisi. Ekspresi kekerasan verbal harus dapat didefinisikan dengan jelas, tidak hanya pada leksikon-leksikon tabu saja, tapi juga pada beraneka konteks dimana kata-kata favorit dapat berubah makna menjadi ekspresi kekerasan verbal. Definisi ini juga harus tidak boleh fleksibel mengingat standar yang fleksibel terkadang menyebabkan beberapa pencari laba di televisi seringkali “bermain” di dalamnya. Jika definisi, bentuk-bentuk, maupun konteks-konteks kekerasan verbal telah jelas, maka langkah selanjutnya adalah memperjuangkan definisi, bentuk-bentuk, maupun konteks-konteks ekspresi kekerasan verbal untuk masuk pada peraturan terbaru KPI atau peraturan sejenis untuk diterapkan. Dengan dukungan aparat yang bersih dan tegas, niscaya, televisi Indonesia dapat bersih dari “sampah-sampah bahasa”.
Oleh karena ekspresi kekerasan verbal banyak ditemukan di program televisi, diharapkan pihak televisi yang program hiburannya penulis kaji yaitu RCTI, SCTV, Trans7, dan AnTV untuk bersikap lebih selektif dalam membuat program, jika perlu mengedit ekspresi-ekspresi yang mengandung kekerasan verbal pada perempuan terlebih dahulu sebelum ditayangkan. Bagi artis yang bermain di acara-acara yang dikaji oleh artikel ini untuk lebih berhati-hati memilih ekspresi-ekspresi yang diucapkan agar tidak terkesan menggunakan ekspresi yang tidak favorit yang dapat berdampak buruk tidak hanya pada dirinya, tapi juga pada generasi muda yang menonton acaranya. Bagi masyarakat agar bertindak bijak dengan mendampingi anak-anak untuk menjaga agar anak-anak tidak secara mentah-mentah mengimitasi ekspresi kekerasan verbal yang muncul di program televisi.
bgus bnget infonya,, tha.anks y