Oleh: Iqbal Nurul Azhar
Telah hampir satu tahun berlalu sejak kasus bahasa Cia-Cia bergulir. Namun tidak ada satu tindakan konkretpun yang diambil pemerintah untuk menuntaskan kasus ini. Seakan menguap begitu saja, kasus ini terlupakan tertindih di atara tumpukan kasus-kasus besar yang terjadi pada bangsa Indonesia.
Kasus ini berawal dari Simposium Pernaskahan Nusantara-IX tahun 2005. Saat itu, seorang Professor Korea bernama Chun Thai Yun meyakini, ada rahasia menarik di Bau-Bau khususnya keanekaragaman “linguistik” yang ada di daerah tersebut. Ketertarikan Chun ini, terus berlanjut hingga apa yang menjadi fokus ketertarikannnya, diceritakan kepada rekan-rekannya di Seoul National University.Di kampusnya tersebut, ia mempresentasikan ketertarikannya dan mendapat dukungan positif dari dua koleganya yaitu Professor Hu Yung Lee dan Dr. Lee Konam (Abdillah, –). Dengan dukungan penuh dari kampus maupun pemerintahnya, tiga profesor Korea ini, kemudian melakukan berbagai kunjungan, investigasi, dan akhirnya membuahkan sebuah rencana afiliasi konstruktif dengan pihak pemerintah Bau-Bau. Satu hal pokok yang ada dalam rencana afiliasi tersebut adalah adanya upaya mentransformasi bahasa Cia-Cia ke dalam alphabet “Hangeoul” Korea. Sebagai timbal baliknya, Bau-Bau maupun suku dan bahasa Cia-Cia akan di promosikan secara gencar di publik Korea sehingga wisatawan Korea tertarik dan berkunjung ke Bau-Bau. Upaya ini disambut positif oleh walikota Bau-Bau, Drs. Amirul Tamim. Dengan pertimbangan Bau-Bau akan mendapatkan keuntungan ekonomis jika mengadakan afiliasi dengan pemerintah Korea, Drs. Amirul Tamim melakukan perjanjian tertulis dengan pemerintah Korea. Selanjutnya, melalui yayasan HumMinjeongeum, Dr. Lee Konam merilis di berbagai harian terkemuka Korea tentang kabar gembira ini. Langkah-langkah afiliasi ini dianggap sebagai hal yang sangat cerdas hingga layak menduduki peringkat Headline banyak media massa, cetak maupun elektronik di Korea.
Berita di surat kabar inilah yang menjadikan perjanjian pemerintah Bau-Bau dengan pemerintah Korea mengenai bahasa Cia-Cia dikenal luas. Berita ini tidak hanya mendapat komentar beragam dari media di Korea dan Indonesia yang menjadi pelaku utama perjanjian, negara-negara lainpun yang turut mengetahui hal ini memberi respon beragam. Jurnalis AS, Tom Wright datang khusus ke Bau-Bau untuk mewawancarai walikota Amirul Tamim hanya sekedar mendapatkan berita tentang bahasa Cia-Cia. Negara Jepang sebagai negara yang merasa lebih superior dari Korea dan telah lama masuk ke Indonesia, juga menunjukkan rasa penasarannya dan mengirimkan beberapa wartawan untuk menanyakan mengapa pemerintah Bau-Bau mau bekerja sama dengan pemerintah Korea sedang dengan pemerintah Jepang tidak. Bahkan entah ada hubungannya dengan kasus bahasa Cia-Cia atau tidak, sedikitnya 16 orang dari Jerman, didampingi tujuh pendeta melakukan aksi sosial dengan mengambil Bau-Bau sebagai tempat aksi sosial tersebut (Tamam, 2009).
Ditandatanginya afiliasi antara pemerintah Bau-Bau dan Korea menimbulkan banyak kontroversi. Pihak yang mendukung afiliasi tersebut berdiri pada pijakan ekonomi dengan sebuah alasan logis bahwa afiliasi tersebut dapat mengundang investor maupun wisatawan Korea untuk datang ke Indonesia. Selain itu dengan berpijak pada aspek perbaikan mutu pendidikan, semangat yang besar dari Profesor Chun Thai Yun penggagas afiliasi untuk memasukkan aksara Hangeul dalam pengajaran bahasa lokal Cia-Cia dianggap dapat berperan meningkatkan mutu pendidikan. Logikanya, untuk mengajarkan huruf Hangeul dengan cepat dan tepat, professor Chun Thai Yun bersama timnya akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan metode pembelajaran inovatif yang dapat mencapai tujuan yang diharapkan dengan cepat dan tepat pula. Adanya metode pembelajaran inovatif ini diharapkan dapat berdampak positif pada dunia pendidikan di kota Bau-Bau karena teknologi-teknologi pendidikan baru yang dimiliki Korea serta tidak dimiliki Bau-Bau akan diterapkan dan diwariskan pada kota tersebut.
Pihak yang kontraafiliasi di lain pihak juga memiliki alasan yang kuat. Mereka menggunakan dasar kekhawatiran mereka bahwa apa yang sedang dikerjakan pakar-pakar bahasa dari Korea merupakan bentuk-bentuk penjajahan model baru. Kegiatan inipun juga dianggap sebagai kegiatan kontrakonservasi bahasa Cia-Cia, karena ketika pemerintah Bau-Bau memberikan kesempatan pada pakar-pakar pendidikan Korea untuk berkerja melaksanakan proyeknya, mereka diperkirakan tidak hanya akan mengajarkan aksara Hangeul, tapi juga bahasa Korea dan budayanya. Asumsi umum yang berlaku adalah tidak mungkin mengajarkan aksara yang dimiliki sebuah bahasa tanpa mengajarkan bahasa dari aksara tersebut, dan sangat sulit untuk mengajarkan sebuah bahasa tanpa menyertakan aspek-aspek budaya yang dimiliki penutur bahasa tersebut. Hal ini tentu saja sangat berbahaya karena bisa jadi masyarakat Bau-Bau akan meninggalkan bahasa Cia-Cia dan berganti menggunakan bahasa Korea. Di samping itu, dengan adanya pengajaran aksara Korea ini, dikhawatirkan budaya-budaya Korea yang bisa jadi tidak cocok dengan budaya suku Cia-Cia dan budaya Indonesia pada umumnya akan masuk dan mengikis budaya lokal masyarakat Bau-Bau utamanya suku Cia-Cia. Kelak budaya Cia-Cia akan terpinggirkan dan akhirnya punah.
Ada enam hal mengapa mengajarkan aksara Hangeul dianggap sebagai langkah kurang bijak yang dapat mempercepat kepunahan bahasa Cia-Cia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Ketujuh hal tersebut dipaparkan dalam enam paragraf berurutan dibawah ini.
Hal pertama berhubungan dengan Undang-undang Kebahasaan yaitu UU No. 24 tahun 2009. Pada Pasal 42 ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib melakukan pengembangkan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah ini sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dijelaskan tata caranya pada ayat 2 yaitu dilakukan dengan cara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan. Pada kasus Cia-Cia, terlihat jelas bahwa pemerintah Bau-Bau melakukan pelanggaran terhadap kedua ayat pada pasal 34 ini. Pemerintah Bau-Bau jelas secara sengaja tidak melakukan perlindungan terhadap bahasa Cia-Cia yaitu dengan membiarkan bahasa dan aksara Korea diajarkan pada suku Cia-Cia (pelanggaran pasal 1). Selain itu, pemerintah Bau-Bau melakukan kejasama ini tanpa sepengetahuan dan koordinasi dengan lembaga kebahasaan, dalam hal ini adalah Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional atau Balai Bahasa setempat (pelanggaran pasal 2), dan ini adalah jelas sebuah pelanggaran pelanggaran konstitusi yang dapat berakibat adanya tuntutan hukum bagi pemerintah daerah Bau-Bau.
Hal kedua berhubungan dengan politik bahasa. Dalam perspektif politik bahasa, mengijinkan tawaran pemerintah Korea untuk “mengkoreakan” bahasa Cia-Cia dengan cara mengajarkan aksara Hangeul kepada suku Cia-Cia seakan membuka pintu lebar-lebar kepada bangsa lain untuk berbuat yang serupa. Pemerintah Jepang yang sangat menggebu-gebu menunggu kesempatan serupa, pastinya akan menggunakan kasus Cia-Cia untuk merongrong pemerintah Republik Indonesia agar diijinkan melakukan hal serupa. Jika pemerintah Jepang tidak diijinkan, berarti pemerintah Indonesia pilih kasih, dan ini dapat berdampak negatif pada hubungan bilateral dua negara. Bila diijinkan, maka akan ada banyak bangsa lain yang akan menawarkan hal serupa. Sangat ironis jika Indonesia yang selama ini dikenal kaya akan bahasa lokal kemudian berubah statusnya menjadi kaya karena menampung bahasa dan sistem tulisan negara-negara lain. Bantuan ekonomi dan promosi besar-besaran yang dilakukan pemerintah Koreapun sebagai timbal balik dari pengajaran bahasa Hangeul juga dapat berakibat negatif pada bahasa dan budaya Cia-Cia. Ketika banyak wisatawan maupun pemegang modal Korea datang ke Bau-Bau, sedangkan masyarakat Bau-Bau tidak siap, maka akan menyebabkan apa yang disebut cultural shock, laguage shock, dan mind shock (shock budaya, bahasa, dan pikiran) yang apabila tidak hati-hati dapat berdampat negatif pada pudarnya penggunaan bahasa dan budaya Cia-Cia karena proses asimilasi budaya yang ekstrem.
Hal ketiga berhubungan dengan budaya. Seperti yang telah disebutkan di atas, mengajarkan aksara Hangeul tidak mungkin bisa tanpa mengajarkan bahasa Korea. Mengajarkan bahasa Korea (yang telah baku) berarti pula mengajarkan tata bahasa Korea dan aspek-aspek linguistik lainnya. Jika hal-hal ini terjadi, interferensi bahasa Korea terhadap bahasa Cia-Cia akan sangat mungkin terjadi. Selain itu, mengajarkan bahasa Korea tidak mungkin pula dilakukan tanpa mengajarkan budayanya. Posisi budaya Korea yang lebih kuat (karena budaya bangsa dan bukan suku) akan menghegemoni budaya Cia-Cia, dan pada akhirnya budaya Cia-Cia akan hilang.
Hal keempat berhubungan dengan aspek pendidikan. Jika proses pembelajaran di Cia-Cia dilakukan dengan menggunakan aksara Hangeul, dan tiap siswa Cia-Cia lebih fasih menggunakan huruf Hangeul daripada huruf latin, maka hal ini tentu saja tidak baik bagi lulusan sekolah Cia-Cia, utamanya lulusan yang akan melanjutkan ke sekolah yang berada di luar daerah Cia-Cia. Bisa jadi, siswa dari Cia-Cia ini akan tertinggal dari siswa daerah lain karena kekurangmahirannya dalam menulis dengan huruf latin. Hal ini tentu saja ini dapat memperburuk kualitas pendidikan rakyat Cia-Cia
Hal kelima berhubungan dengan kemurnian bahasa Cia-Cia. Sistem aksara Hangeul bisa jadi berbeda dengan sistem bahasa lisan bahasa Cia-Cia. Untuk mencocokkan dua sistem berbeda ini dapat dilakukan dua cara, yaitu: (1) memodifikasi aksara Korea sehingga cocok engan bahasa Cia-Cia, atau (2) memodifikasi bahasa Cia-Cia sehingga cocok dengan aksara Korea. Apapun pilihannya, salah satu dari sistem ini harus mengalah dan mengalami modifikasi, sehingga output dari program ini adalah bahasa Cia-Cia yang ditulis dengan Aksara Hangeul yang sudah tidak murni lagi.
Hal keenam berhubungan dengan penelitian Linguistik. Penggunaan huruf Hangeul dapat menyulitkan proses kodifikasi dan perekaman bahasa yang dilakukan oleh linguis, etnolinguis, dialektologis nusantara. Kesulitan ini muncul karena untuk mempelajari bahasa Cia-Cia, para linguis nusantara harus melewati dua tahapan sulit yaitu mempelajari tulisan terlebih Hangeul dahulu baru kemudian mempelajari bahasa Cia-Cia itu sendiri. Ketika Linguis nusantara dihadapkan pada data-data tulis yaitu data-data bahasa Cia-Cia yang ditulis dengan menggunakan aksara Hangeul, linguis Nusantara tidak bisa tidak harus menguasai bahasa Korea dan aksara Hangeul untuk dapat memahami data-data tersebut. Ini jelas memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Solusi yang ditawarkan pada artikel ini adalah opsi ketiga yaitu berada di tengah antara menghentikan atau melanjutkan kerjasama. Konkretnya, solusi ini menghendaki adanya kelanjutan kerjasama antara pemerintah Bau-Bau dengan pihak Korea yang diimbangi dengan upaya sistematis konservasi bahasa Cia-Cia. Kerjasama antara pemerintah Bau-Bau dengan pemerintah Korea dapat terus dipertahankan karena hal ini adalah kesalahan yang tak mungkin dapat diperbaiki secara cepat. Tindakan yang bisa dilakukan pemerintah Bau-Bau adalah tindakan meminimalisir aspek-aspek negatif yang diprediksikan akan terjadi ketika proses kerjasama tersebut terjadi. Adapun tahapan langkah-langkah yang dapat diambil untuk meminimalisirkan aspek-aspek negatif yang mungkin terjadi selama proses pengajaran tulisan Hangeul ini adalah:
- Pembentukan tim konservasi bahasa Cia-Cia oleh pemerintah Bau-Bau dengan menggandeng Balai Bahasa terdekat atau Pusat Bahasa Republik Indonesia sebagai rekan kerja. Fungsi Balai Bahasa atau Pusat Bahasa di sini adalah sebagai konsultan (planner dan evaluator) sekaligus juga bila dibutuhkan dapat berperan sebagai pelaksana (actor) upaya konservasi. Tim ini bertanggungjawab untuk memikirkan, merumuskan dan mengambil langkah-langkah strategis pemertahanan bahasa Cia-Cia tanpa harus memutuskan kerja sama dengan pemerintah Korea.
- Setelah tim terbentuk, tim ini harus segera menyusun rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang untuk melakukan tindakan konkret yang berhubungan dengan konservasi bahasa
- Tim ini harus dapat menggenggam dukungan dari pemerintah daerah dan rakyat Bau-bau, karena tanpa dukungan yang besar, masalah Cia-Cia tidak akan terselesaikan.
- Adapun aksi-aksi yang dapat dilakukan oleh tim ini dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah adalah (1) memastikan bahwa pemerintah daerah menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA) yang menyatakan bahwa (a) pengajaran bahasa Hangeul hanya dilakukan pada matapelajaran muatan lokal bahasa Cia-Cia saja, (b) untuk mata pelajaran lainnya wajib disampaikan dengan bahasa pengantar lisan bahasa Indonesia atau Cia-Cia, dengan sistem tulis adalah sistem latin, (2) memastikan bahwa tuturan bahasa Cia-Cia apapun yang ditulis dalam bahasa Hangeul harus didampingi oleh tulisan dengan sistem penulisan aksara latin. Ini untuk memastikan bahwa siswa Cia-Cia kenal juga pada huruf latin.
- Tim harus dapat mendelegasikan beberapa orang (subtim) untuk dapat ikut berpartisipasi dalam proses pengajaran aksara Hangeul. Subtim ini tidak hanya berfungsi sebagai monitorer proses pengajaran, namun juga berfungsi petugas magang program kerjasama pengajaran aksara Hangeul tersebut. Dengan terlibat dalam proses pengajaran aksara Hangeul, subtim ini pastinya akan belajar aksara Hangeul dan bahasa Korea. Kelak pengetahuan (berupa metode pengajaran Hangeul yang praktis) yang subtim ini dapatkan selama proses kerjasama dengan pemerintah Korea dapat digunakan untuk mengembangkan bahasa Cia-Cia dengan menggunakan sistem tulis latin
- Setelah masa berlaku kerjasama habis, tim konservasi harus dapat mendesak pemerintah Bau-Bau untuk menyatakan diri tidak melajutkan kontrak kerjasama.
- Kerja tim ini masih belum berakhir meskipun kerjasama pemerintah Bau-Bau dan Korea telah berakhir. Tim konsevasi harus dapat melakukan langkah-langkah konservasi lanjut karena meskipun kerjasama pemerintah Bau-Bau telah selesai, status bahasa Cia-Cia yang bukan bahasa resmi menjadikan bahasa Cia-Cia masih rentan punah. Adapun langkah-langkah lanjut yang harus dilakukan terbagi dalam empat fase (lihat Azhar, 2009) yaitu: (1) Standarisasi Bahasa Cia-Cia yaitu melakukan kodifikasi atau pembakuan bahasa Cia-Cia dibidang ejaan, istilah, tatabahasa dan leksikon sehingga kerancuan yang terjadi dalam masyarakat tentang bagaimana seharusnya menuliskan kata dalam bahasa Cia-Cia dengan menggunakan aksara latin tidak terjadi. (2) Renaisansi buku berbahasa Cia-Cia yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada kaum intelektual, sastrawan, pendidik, budayawan Cia-Cia untuk menulis buku sastra berbahasa Cia-Cia seperti kumpulan syair, dongeng dan pantun berbahasa Cia-Cia dengan menggunakan huruf Latin. (3) Promosi sastra dan budaya Cia-Cia melalui berbagai media seperti surat kabar dan televisi. Forum-forum resmi seperti seminar, lokakarya dan konferensi tentang sastra Cia-Cia harus diagendakan secara rutin tiap tahun. (4) Konservasi Sastra Cia-Cia dengan cara melakukan kegiatan inventarisasi, penelitian di bidang sastra dan bahasa, dan diskusi-diskusi tentang Cia-Cia.
- Ketika kebugaran (fitness) dan sintasan (survival) bahasa Cia-Cia telah didapat, maka tim ini dapat dibubarkan. Selama masa kerjanya, tim konservasi harus dapat meyakinkan pemerintah pusat untuk mengeluarkan kebijakan dan penegasan pada pemerintah daerah yang ada di Indonesia bahwa kerjasama dengan pemerintah asing semacam kerjasama pemerintah Bau-Bau dengan pemerintah Korea adalah salah dan melanggar Undang-Undang, dan kesalahan selanjutnya tidak akan ditolelir.
Semoga, kasus bahasa Cia-Cia akan menjadi satu-satunya kasus terakhir yang berhubungan dengan bahasa-bahasa ibu di Nusantara. (Ina)
ulasan yang sangat menarik.
saya sepakat dengan saudara pada beberapa bagian dalam artikel ini, misalnya tentang politik bahasa (bahasa menjadi pintu masuk untuk merambah ke arena kultural, sosial , ekonomi dan yang lainnya). kekhawatiran anda bahwa suatu saat bahasa Cia-Cia akan terpinggirkan dan bahkan bisa punah juga sangat beralasan. namun penting juga untuk melihat kerjasama tersebut dalam cara pandang orang Cia-Cia. selama ini masyarakat Cia-Cia menempati posisi sub ordinat dalam peta sosial masyarakat Baubau. nah, melalui kerjasama ini perlahan-lahan masyarakat Cia-Cia menemukan kepercayaan dirinya. dengan semakin dikenalnya Cia-Cia oleh masyarakat luar juga berdampak pada upaya mereka untuk kembali menggiatkan tradisi lokal seperti tarian, cerita rakyat dan lainnya). perlu diingat pula bahwa ketika kedepan orang Korea semakin masif datang ke Baubau khususnya ke masyarakat Cia-Cia, gejala itu tidak bisa hanya dipandang sebagai proses hegemoni kebudayaan Korea atas kebudayaan Cia-Cia, sebab tidak tertutup kemungkinan yang terjadi malah interaksi kebudayaan yang akan saling memperkaya kebudayaan masing-masing, sebab setiap kebudayaan punya mekanisme untuk merawat dan memodofikasi dirinya sesuai dengan konteks yang dijumpainya.
salam
huruf alfabet, huruf arab bukan mili orang cia-cia tapi ketika digunakan oleh orang cia-cia kenapa tidak dipermasalahkan, bahasa inggris, belanda, jerman, arab, prancis digunakan disekolah-sekolah kenapa tidak dipermasalahkan…dalam semua hal saya tidak sependapat dengan artikel diatas karena penuh dengan politik semata, toh kami orang cia-cia tidak pernah meninggalkan tradisi aslinya dan ini saya lihat dalam kehidupan kami yang tinggal di Ambon ratusan tahun kami tetap mempertahankan tradisi cia-cia tanpa terpengaruh dengan alkulturasi budaya setempat,…penggunaan huruf korean buat kami tidak masalaah selama tujuannya untuk mendidik, no problem….dan jika kamu bukan orang cia-cia tolong jangan biarkan kami menjadi orang bodoh seperti dulu…kami juga ingin maju….dan orang cia-cia lebih pintar ketimbang orang lain karena sejak dulu kami mampu mempertahankan tradisi dan budaya kami tanpa terpengaruh budaya barat…..ini awal kami untuk maju……maju…..dan terus maju….itu yang semua orang buton inginkan sejak dulu you know……..!!!
itu beda karena hangeul ini menjadi bahasa tulis daerah cia-cia sehari-hari mereka juga menulis dengan bahasa tulis hangeul. nah sedangkan bahasa inggris, belanda, jerman, arab, dan prancis itu hanya bahasa samping’an saja dan tidak ada jug bahasa inggris, belanda,dll di tulis bahasa sehari-hari kan? iyaa betul tujuaannya memang mendidik bahkan memperkuat kerjasama namun hal yng pling ditakutkan oleh pemerinth indonesia. perpecahan negara kesatuan dan akan menimbulkan kecemburuan etnis. yup i know. i ever visit in buton for my thesis. and we hope you will try writing with indonesia. but remember all of us still love buton and hope buton be better without other country ^^
yah sebenarnya apa yg dalam artikel memang ada betulnya juga,,, tapi menurut saya apa yg di khawatirkan itu akan minim terjadi,, banyak contoh yg bisa kita lihat di indonesia bukan cuma pada bahasa cia-cia, pertanyaan dasar di sini bagaiman ketika bahasa inggris , jepang, dan yang lainya di masukan dalam kurikulum pembelacaran secara formal, dampak apa yg bisa kita lihat, apakah bahasa indonesia kehilangan wujud aslinya, tentu jawabanya tidak, apakah bangsa indonesia kehilangan budaya aslinya itupun ga mungkin… tetapi yg terjadi pertukaran budaya di mana keduanya bisa saling memperkaya,, begitu pulah dengan bahasa cia-cia ketika bahasa korea di benturkan dengan bahasa cia-cia, saya yakin bahasa tersebut akan saling memperkaya baik dari segi kebudayaan ataupun bidang2 lainnya, dan merupakan kebanggaan buat orang cia-cia di seluruh nusantara,, terbukti di manapun orng cia-cia berada mereka tetap menggunakan bahasa cia-cia, dan budayanyapun asli dari cia-cia,,,,,,,, maju terus cia-cia, q bangga jadi orang cia-cia…
ada suatu hal yang tidak disinggung dalam artikel di atas, bahwasannya dia tidak mempermasalahkan bahwa bahasa cia-cia itu ditulis dengan huruf hangeoul asalkan ada pendamping dari tim konservasi bahasa yang pada intinya hanya sekedar bisa mengadaptasikan bahasa cia-cia dalam tulisan latin yang dipakai sebagai alphabet indonesia,,
yang perlu anda ketahui kesalahan terbesar di sini adalah ditulisnya bahasa cia-cia dalam alphabet korea dan itu dibenarkan asal tidak mengganggu penggunaan bahasa cia-cia yang bisa dituliskan pula dalam latin Indonesia,,
bahasa cia-cia yang dituliskan dalam aksara hangeoul adalah kesalahan budaya terbesar yang pernah dibuat oleh pemerintah kota Bau-Bau, tanpa ada hubungan sejarah apapun dia berani menandatangani MOU dengan pihak asing,, bahasa cia-cia secara sejarah sudah memiliki aksaranya sendiri, jika ingin bertukar budaya maka saling mempelajari budaya saja, bukan memaksakan budayamu di masukan ke dalam budaya orang lain seperti yang dilakukan bangsa korea ini,
lihat saja jepang, australia, jerman mereka hanya dipelajari budayanya agar ketika kita ke negara mereka kita tidak melanggar nilai-nilai budaya kita dan mengadaptasikan nilai-nilai kita dengan mereka. belajar bahasa korea sah-sah saja, tapi menggunakan aksara korea sebagai aksara bahasa cia-cia, ini adalah pemusnahan bahsa cia-cia itu sendiri secara perlahan, mungkin secara penlisanan tidak masalah, tapi bagaimana masalah sejarah cia-cia itu berasal, kita kehilangan sejarah, karena bahasa cia-cia memiliki aksaranya sendiri huruf aksara arab gundul yang sudah dimodifikasi sesuai fonen asli cia-cia, ada banyak karya sastra lama dari zaman kerajaan kesultanan buton yang memuat cerita-cerita rakyat yang ditulis dalam aksara arab gundul,, hanya saja saya menyayangkan saudara-saudara saya sesama suku cia-cia terlalu gampang tergoda materi karena kurangnya penegtahuan sejarah yang mereka miliki, ketika anda mengenal sejarahmu maka kamu pasti tidak setuju,
saudara-saudaraku kita harus percaya bahwa kita suku yang besar, jadi untuk apa kita harus dibesarkan oleh orang lain, kita mampu membesarkan diri sendiri, kalaupun kita tidak dikenal dunia internasional, itu tidak masalah, tapi jangan sampai sejarah nenek moyang kita tidak bisa dibaca anak cucu kita karena kesalahan kita saat ini tidak mempelajari sejarah dan membuat sejarah sendiri. ingatlah teman dari mana kita berasal, itu adalah ilmu murni cia-cia, mereka selalu melihat ke belakang untuk mengetahui masalah apa sebenarnya yang kita hadapi saat ini, saat kita sakit kita diingatkan akan kesalahan masa lampau yang membuat hadirnya penyakit tersebut, itu ilmu nenek moyang kita, tapi kalau kita membuat sejarah kita tanpa mengingat mereka,, apa yang akan kamu wariskan ke anak-anak dan cucumu,, bahasa cia-cia dengan aksara hangeoul, berarti kamu menerima bahwa kamu memang suku kecil yang hanya bisa besar oleh karena menumpang pada keberhasilan budaya orang lain yang tidak memiliki kaitan sejarah, yang tidak mengetahui seperti apa nilai-nilai budaya sejarah murni,, kalau kamu cia-cia saya harap kamu mengerti saaudaraku
ada suatu hal yang tidak disinggung dalam artikel di atas, bahwasannya dia tidak mempermasalahkan bahwa bahasa cia-cia itu ditulis dengan huruf hangeoul asalkan ada pendamping dari tim konservasi bahasa yang pada intinya hanya sekedar bisa mengadaptasikan bahasa cia-cia dalam tulisan latin yang dipakai sebagai alphabet indonesia,,
yang perlu anda ketahui kesalahan terbesar di sini adalah ditulisnya bahasa cia-cia dalam alphabet korea dan itu dibenarkan asal tidak mengganggu penggunaan bahasa cia-cia yang bisa dituliskan pula dalam latin Indonesia,,
bahasa cia-cia yang dituliskan dalam aksara hangeoul adalah kesalahan budaya terbesar yang pernah dibuat oleh pemerintah kota Bau-Bau, tanpa ada hubungan sejarah apapun dia berani menandatangani MOU dengan pihak asing,, bahasa cia-cia secara sejarah sudah memiliki aksaranya sendiri, jika ingin bertukar budaya maka saling mempelajari budaya saja, bukan memaksakan budayamu di masukan ke dalam budaya orang lain seperti yang dilakukan bangsa korea ini,
lihat saja jepang, australia, jerman mereka hanya dipelajari budayanya agar ketika kita ke negara mereka kita tidak melanggar nilai-nilai budaya kita dan mengadaptasikan nilai-nilai kita dengan mereka. belajar bahasa korea sah-sah saja, tapi menggunakan aksara korea sebagai aksara bahasa cia-cia, ini adalah pemusnahan bahsa cia-cia itu sendiri secara perlahan, mungkin secara penlisanan tidak masalah, tapi bagaimana masalah sejarah cia-cia itu berasal, kita kehilangan sejarah, karena bahasa cia-cia memiliki aksaranya sendiri huruf aksara arab gundul yang sudah dimodifikasi sesuai fonen asli cia-cia, ada banyak karya sastra lama dari zaman kerajaan kesultanan buton yang memuat cerita-cerita rakyat yang ditulis dalam aksara arab gundul,, hanya saja saya menyayangkan saudara-saudara saya sesama suku cia-cia terlalu gampang tergoda materi karena kurangnya penegtahuan sejarah yang mereka miliki, ketika anda mengenal sejarahmu maka kamu pasti tidak setuju,
saudara-saudaraku kita harus percaya bahwa kita suku yang besar, jadi untuk apa kita harus dibesarkan oleh orang lain, kita mampu membesarkan diri sendiri, kalaupun kita tidak dikenal dunia internasional, itu tidak masalah, tapi jangan sampai sejarah nenek moyang kita tidak bisa dibaca anak cucu kita karena kesalahan kita saat ini tidak mempelajari sejarah dan membuat sejarah sendiri. ingatlah teman dari mana kita berasal, itu adalah ilmu murni cia-cia, mereka selalu melihat ke belakang untuk mengetahui masalah apa sebenarnya yang kita hadapi saat ini, saat kita sakit kita diingatkan akan kesalahan masa lampau yang membuat hadirnya penyakit tersebut, itu ilmu nenek moyang kita, tapi kalau kita membuat sejarah kita tanpa mengingat mereka,, apa yang akan kamu wariskan ke anak-anak dan cucumu,, bahasa cia-cia dengan aksara hangeoul, berarti kamu menerima bahwa kamu memang suku kecil yang hanya bisa besar oleh karena menumpang pada keberhasilan budaya orang lain yang tidak memiliki kaitan sejarah, yang tidak mengetahui seperti apa nilai-nilai budaya sejarah murni,, kalau kamu cia-cia saya harap kamu mengerti saaudaraku
banyak komentarmu sutiono, trus komentarmu sebagian mengklaim tanpa dasar yang jelas, seperti pengakuan adaya alpabet cia-cia, pada dasarnya alpabet cia-cia belum ada, sedangkan yang anda maksud adalah alpabet suku wolio, kalau mau tau sejarah jelasnya silahkan ke gunung sejuk kalau tidak salah di sana ada dokumen sejarah suku cia-cia.
dari uraian informasi di atas.. menurut saya telah melanggar sumpah pemuda pada tanggal 28 0ktober 1928, jadi klw dah melanggar sumpah pemuda berarti juga telah melanggar pancasila dan konstitusi demikian.!!!
timbul pertanyaan;
1. ada kesalahan apa dalam agenda program tersebut hingga membuat anda resah dan gelisa..?
2. apakah ada persetujuan negara dalam hal ini presiden atau menteri terkait yang direstui presiden dalam proses agenda tersebut di atas..?
memang benar suku cia-cia mengalami keterbelakangan dalam hal penulisan, tapi kenapa harus menggunakan huruf hanggul yang notabene merupakan huruf luar yang merupakan produk dari bangsa yang bahkan belum pernah terdengar relasinya dengan suku ini selama berabad-abad yang lampau, kenapa harus sekarang? sebetulnya hal ini merupakan salah satu bukti ketidak pedulian bangsa kita terhadap hal-hal kecil, yang bikin lebih kaget lagi kenapa selama berabad-abad tidak ada sebuah bentuk tulisan dalam bahasa cia-cia? apa yang terjadi dengan para leluhur suku ini sampai2 tidak mengeluarkan hurufnya sendiri? berdasarkan analisa kasar saya ada 3 kemungkinan : 1. terpencilnya wilayah sehingga akses informasi terbatas termasuk aksara 2. cara hidup orang-orang cia-cia sendiri yang sejarahnya bekerja sebagai prajurit kerajaan lain, pola hidup seperti ini menyebabkan bahasa akan sulit untuk dibuat dalam bentuk tertulis karena memang masih belum dibutuhkan 3. belum terbentuknya kerajaan pada jaman dahulu di suku cia-cia sehingga tidak ada hukum literatur yang jelas, hal ini mungkin adalah kemungkinan penyebab mengapa bahasa ini belum tertulis, namun yang pasti hal ini sama sekali harus diwaspadai, mungkin tulisan sama sekali bukan hal penting bagi bangsa kita yang bisa dibilang sangat bodoh dalam mempertahankan budayanya sendiri, kenapa? karena bangsa kita sangat meremehkan yang namanya berbahasa, padahal salah satu alasan kenapa kita menjadi satu adalah adanya bahasa indonesia (saya pers*t*n dengan yang mengatakan huruf hanggul cocok untuk bahasa cia-cia blah-blah-blah) kita bisa melihat dari kasus bahasa tagalog milik bangsa filipina, karena penjajahan oleh bangsa spanyol menyebabkan mereka lupa menggunakan tulisan lokal mereka mereka memilih mengadaptasi huruf latin untuk dibentuk sesuai bahasa tradisional mereka tagalog. ini salah satu cara agar bahasa mereka tetap bertahan, dan ini merupakan suatu cara yang bagus. saya jadi teringat alasan kenapa orang-orang thailand memilih untuk berbahasa thailand kepada turis sekalipun bisa berbahasa inggris, alasannya adalah identitas dan kebanggaan mereka terhadap budaya mereka sendiri. 2 negara tetangga sudah memberi contoh yang sangat bagus, tapi mengapa kita masih bisa dijajah secara halus (atau kasar karena sudah berani mendikte bahwa bangsa kita terlampau bodoh untuk bisa mengajar 1 suku untuk menuliskan bahasanya sendiri), saya mau tanya kepada siapapun orang cia-cia yang membaca tulisan ini, apa mau mereka diinjak harga dirinya oleh bangsa korea gara gara tidak bisa menulis bahasa mereka sendiri? apa mau mereka dianggap sebagai suku yang terlampau bodoh dan primitif? saya jujur sangat menghormati dan mengagumi orang-orang sulawesi dan sekitarnya yang berani dan punya harga diri tinggi tapi melihat hal ini saya sangat merasa malu dan emosi (menangis) meski saya sendiri hanya orang jawa yang notabene cuma orang luar menurut suku kalian. maaf setelah ini mungkin saya hanya bisa mengangguk-angguk dan berkata iya saja jika ada yang bilang kalau orang-orang sulawesi dan sekitarnya bodoh dan mudah diadudomba oleh ornag luar..
@memang jawa biasa, saya salut dengan komentar Anda ini, saya termasuk orang cia-cia, sebenarnya saya lebih memilih berbahasa tanpa aksara dibanding harus berbahasa tetapi ‘nyicil’ pake aksara orang asing karena ini menyangkut harga diri dan martabat suku bukan persoalan nalar ilmiah milik para peneliti bahasa yang sewenang-wenang menjastifikasi sebuah objek masalah sebagai sesuatu yang harus dipermasalahkan yang pada hakekatnya tidak bermasalah tetapi ‘dipermasalahkan’ sementara orang cia-cia tetap damai dengan bahasanya dan tetap berkomunikasi aktif dengan bahasanya tanpa aksara. namun, setelah kedatangan aksara korea ini yang juga bagian dari koreanisasi, membawa angiin baru dalam dunia budaya dan adat istiadat di daerah suku cia-cia dimana pergeseran budaya lokal terjadi di saat penempatan hari H upacara/pesta adat yang ditentukan oleh pihak pemkot yang mengambil alihfungsi dari tokoh adat sebagai penentu hari H pesta adat. kalau saya melihat dari sisi ekonomisnya, terlepas dari persoalan budaya, pihak koera juga tidak hanya mengambil keuntungan dalam keberhasilannya menjadikan hangul sebagai aksara cia-cia tetapi asumsi saya mengatakan bahwa ada kepentingan yang lebih dari sekadar mensosialisasikan aksaranya, yaitu membangun kerja sama dalam kepentingan ekonomi, dan yang akan berperan disini adalan pihak pemkot dan investor asing. ini artinya bahwa, sosialisasi aksara korea adlah sebagai jembatan untuk membangun kerja sama. dalam aanalisa Rolanda barthes bahwa segala hal yang bersimbol terdapat ‘mitos’ yang bertuujuan untuk membentuk masyarakat, dan diperkuat oleh Michael faucoult bahwa terbentuknya suatu masyarakat atau berevolusinya budaya tidak lepas dari nalar kuasa yang dibangun oleh penguasa untuk melanggenkan kekuasaanya.
@carhum, jikalau memang wolio memiliki aksara yang konon katanya adalah turunan aksara timur tengah maka sudah seharusnya pihak pemkot mengesahkan aksara tersebut sebagai aksara resmi wolio dan mencoba untuk dipakai dalam bahasa cia-cia yang tidak beda jauh dengan bahsa wolio secara ‘pronounce’-nya dan ‘sound’-nya. dan bukan menggadaikan bahasa cia-cia sebagai kelinci percobaan korea,
sangat senang dengan komentar di atas