Ikhtisar Sejarah Bahasa Indonesia

Kata Indonesia pertama kali dilontarkan oleh George Samuel Earl, kebangsaan Inggris, dengan menyebut “Indunesia” untuk menamai gugusan pulau di Lautan Hindia. Namun, para ilmuwan Eropa lebih sering menyebut dengan “Melayunesia”. J.R. Logan, kebangsaan Inggris, dalam majalah “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” (Volume Iv, P. 254, 1850) menyebut gugusan pulau di Lautan Hindia dengan Indonesia. Kemudian, Adolf Bastian, kebangsaan Jerman, menggunakan kata Indonesia dalam bukunya Indonesia Order die Inseln des Malaysichen Archipel, untuk menamai pulau yang bertebaran di Lautan Hindia.

Sekarang, kata Indonesia dipakai sebagai sebuah negara yang berada di kawasan Asia Tenggara yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa.

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.

Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36)

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara melainkan hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. bukti-bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka 686 M (Bangka Barat), Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya saja karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 683 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara. Bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.

Informasi dari seorang ahli sejarah Tiongkok, I-Tsing, yang belajar agama Buddha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63, 159), Kou-luen (I-Tsing: 183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91, K’un-lun (Prentice, 1978: 19), yang berdampingan dengan Sansekerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan-peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka 1380 M, maupun hasil-hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

Bahasa Melayu menyebar kepelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah-daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).

Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara.

Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sumpah Pemuda 1928

Kami putra dan putri Indonesia mengaku
Bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia mengaku
Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
Bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Kongres Bahasa Indonesia

  1. Kongres Bahasa Indonesia I 25—28 Juni 1938 di Surakarta (Solo)
  2. Kongres Bahasa Indonesia II 28 Oktober—2 November 1954 di Medan
  3. Kongres Bahasa Indonesia III 28 Oktober—3 November 1978 di Jakarta
  4. Kongres Bahasa Indonesia IV 21—26 November 1983 di Jakarta
  5. Kongres Bahasa Indonesia V 27 Oktober—3 November 1988 di Jakarta
  6. Kongres Bahasa Indonesia VI 28 Oktober—2 November 1993 di Jakarta
  7. Kongres Bahasa Indonesia VII 26 Oktober—30 Oktober 1998 di Jakarta
  8. Kongres Bahasa Indonesia VIII 14 Oktober—17 Oktober 2003 di Jakarta

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: